Neswa.id-“Maria!!!, hati-hati. Berdiri saja di samping supir, lebih aman” teriak Sari, teman satu perjuangan di asrama dan kampus. Tanpa pikir panjang, saya langsung mencoba keluar dari sesaknya penumpang menuju tepat di samping sopir. Tempat ini seakan jadi favorite bagi para mahasiswi Asia, termasuk Thailand dan Malaysia, jika bis sudah penuh sesak. Bayangkan saja, rata-rata bis di Kairo dapat mengangkut sekitar seratus bahkan lebih penumpang. Sangat dipaksakan. Saking banyaknya, bis dapat berjalan dengan kemiringan yang tidak seimbang. Jika belok, rasanya kami seperti mau tumpah ke pinggir jalan.
Delapan Puluh Coret, Dua Empat Jim, Enam Lima Kuning dan Enam Lima Putih, adalah nama-nama bis favorit kami. Nama yang unik bukan? Di bis inilah kami harus extra waspada dan hati-hati. Bukan hanya terhadap para pencopet, tapi juga para pelaku kriminal lainnya yang hobi menyalurkan hasrat seksualnya dengan sengaja memegang, menyerempet bahkan mendempet para wanita yang kebetulan terdesak di dalam kerumunan penumpang bis. Sama sekali tidak beradab. Parahnya lagi, mereka suka membidik mahasiswi Asia, karena mereka pikir wanita Asia tidak akan berani berteriak bahkan mendamprat para penjahat itu.
“Eh da, bita’mali eh? Haraaam ya ‘Am!!. Yahrab baytak!!!”.”Hey, sedang apa kamu??? Haraaam…!!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang sangat lantang di belakang. Dan saya tau, itu adalah suara senior saya, Hana. Dia teriak sekencang-kencangnya, mengeluarkan kata-kata kasar. Seketika, penumpang lain ikut beramai-ramai membela Hana. “Dasar laki-laki Mesir kurang ajar!!!”, maki dia dengan kesal. Bahkan saking kesalnya dia ngomel dengan bahasa Indonesia. Entahlah, dia hanya ingin melampiaskan perasaan geramnya. Laki-laki itu dengan tanpa berdosa, hanya menjawab “Fi eh?” “Ada apa, ada apa?”. Hana kembali geram, dan langsung berteriak “Inzil, wenta musy mu’addab kholish”. “Turun kamu, dasar laki-laki ga beradab”. Semua pun tau, bahwa laki-laki itu telah melakukan perbuatan memalukan. Sontak, seluruh penumpang membela Hana, dan laki-laki itu, dengan wajahnya yang pura-pura bodoh, turun dan tersenyum. “Sialan!!!”, batinku.
Bukan hanya sekali, kejadian ini terjadi berkali-kali. Hampir di setiap naik bis saya harus waspada, memilih tempat pinggir, atau lebih baik bersanding dengan kondektur bis atau sopir. Posisi ini lumayan aman, dibanding jika saya harus berada di tengah kepadatan penumpang, yang jika ingin bernafaspun seolah-olah saya harus mengeluarkan kepala keluar jendela bis. Sangat menantang. Sebagai antisipasi, di setiap kami ingin bepergian dan harus menggunakan transportasi bis, kami selalu siapkan jarum. Satu-satunya senjata yang sangat efektif untuk membalas para penjahat itu.
Suatu kali, saya hampir menjadi korban. Tiba-tiba saya di desak oleh laki-laki Mesir. Tanpa basa-basi, seketika saya mencabut jarum yang telah terkait di kerudung saya. Dengan penuh keganasan, saya balas laki-laki itu dengan satu tusukan maut dari sang jarum. Aduhai, betapa senangnya saya dapat membalas dan melakukan ‘self defense’ dengan cukup baik. Puas.
Cukup menegangkan hidup di Mesir. Negara yang terlihat aman, namun suatu ketika dapat berubah menjadi ganas. Kultur arab yang keras nampak begitu kentara. Entah, mungkin banyak disebabkan juga oleh faktor lingkungan dan makanan. Cuaca panas ketika musim panas selalu dijadikan tameng bahwa temperatur panas sangat berdampak terhadap prilaku masyarakat Arab. Jika saja, global warming sudah mengancam di seluruh bagian dunia, akankah semua manusia di bumi ini akan berlaku keras seperti orang Arab?
Kami sering menyebutnya keturunan Fir’aun jika mendapati mereka yang bertingkah layaknya penjahat. Namun, tak sedikit pula warga Mesir yang sangat ramah dan baik. Dermawan, bersahaja, dan alim. Kami menyebutnya sebagai keturunan Nabi Musa. Orang Arab tidak selalu kasar, emosional dan pemarah. Siapa saya bisa menilai orang dari ‘luar’nya saja.
Jika Ramadlan tiba, inilah hari yang paling membahagiakan bagi mereka untuk ber-shadaqah. Tidak tanggung-tanggung mereka akan membagi-bagikan uang kepada siapa saja yang sedang berlalu-lalang di jalan, masjid, dan pertokoan. Pecahan dua puluh sampai lima puluh pound bertebaran disana-sini. Biasanya, mereka juga mengirimkan banyak sekali bantuan kepada pelajar asing yang ada di Kairo. Terkadang berbentuk pecahan uang, atau sembako.
Ya, setiap negara punya wajah yang berbeda-beda. Stereotip yang kerapkali muncul belum tentu bicara yang sebenarnya. Baik Indonesia dan Mesir hanya mampu dipahami sesuai pengalaman pribadi orang-orang yang secara langsung bersinggungan dengan penduduk dan kultur setempat yang sifatnya tidaklah rigid. (IM)
Leave a Reply