,

Memoar Perjalanan: Menjadi Indonesia

/
/

Memoar Perjalanan: Menjadi Indonesia

Neswa.id-Eh da ya ‘amm, keda bass khomsiin geneh?”.

“Apa-apaan ini, cuma kaos begini saja lima puluh pound?”.

Saya berceloteh. Rupanya ketrampilan tawar-menawar saya mulai kambuh di pasar ini. Pasar yang terletak di ujung jalan. Namanya Khan Khalili, pasar traditional berumur hampir seribu tahun, yang menjual berbagai macam pernak-pernik khas Timur Tengah, khususnya Mesir.

Syahdan, jalan ini merupakan saksi sejarah. Sejarah yang mengakar sejak ratusan tahun lalu. Saya terhanyut oleh pancaran berjuta kisah yang seolah-olah diceritakan dengan apik oleh jalan ini, syari’ mu’iz lidinillah. Syari’ dalam bahasa Arab berarti jalan, sedangkan mu’iz lidinillah merupakan nama panglima besar, Khalifah IV Dinasti Fatimiyyah yang pernah berjaya di Kairo pada abad 8-9 Masehi. Jalan ini merupakan jalan tertua di Kairo. Sebelum bernama Kairo, kota ini disebut dengan al-Fusthat. Oleh dinasti inilah kota al-Fusthat diganti dengan Kairo atau al-Qahirah yang berarti kemenangan.

Terlihat sungguh apik. Jalan ini mempunyai lebar tak lebih dari empat meter. Arsitektur serta ornamen klasik menghiasi hampir di setiap sudut jalan. Jalanan berbatu, sempit dan dipenuhi dengan penjaja rempah semakin menguatkan nuansa bazar atau lebih dikenal dengan sebutan souq khas Timur Tengah.  

Abad lima belas, souq ini menjadi pusat perdagangan internasional dengan ragam komoditas, termasuk bebatuan unik dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Tak heran, pada abad ini juga berbagai ekspresi dalam ornament arsitektur Islam mencapai puncaknya, tepatnya ketika Mamluk berhasil merebut kekuasaan dari penguasa sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah.

Batu-batu beragam sengaja didatangkan langsung dari Romawi dan Byzantium. Awalnya, ciri khas yang mendominasi adalah model arsitektur periode dinasti Nurriyah dan Ayyubiyah. Kemudian mendapat pengaruh baru dari gaya arsitektur Suriah-Mesopotamia pada abad 13 M, tepatnya ketika Mesir menjadi tempat berlindung bagi pengrajin dan ahli seni dari Mosul, Baghdad dan Damaskus paska invasi Mongol. Meskipun telah mengalami berbagai renovasi, namun keaslian bangunan ini masih sangat kental.

Khan Khalili terletak di seberang masjid Al-Azhar, dan masjid Al-Husein cucu nabi Muhammad. Lokasi ini memang penting. Saking pentingnya ia mempunyai julukan sebagai Bayn al-Qasrain. Kawasan yang menjadi tumpu dan pusat segala aktivitas ekonomi sekaligus keagamaan yang menghubungkan antara syari’ Mu’iz (qasaba) dan sekitarnya.

 “Hanya perempuan yang kurang normal yang tidak suka menawar barang”. Gumam saya dengan sangat dongkol.

Bahkan mereka pun rela mati digantung jika menemukan harga yang jauh lebih murah dari harga yang mereka tawar sebelumnya. Puluhan bahkan ratusan kata-kata mulai beradu antara saya dan si pedagang. Keringat bercucuran. Tak ada tawa, juga senyum. Semua mendadak seperti adegan film action. Mata saya mulai tajam setajam silet, mulut saya berbusa-busa, tenggorokan saya pun mulai kering.

Harga kaos imut bergambar unta Arab dipatok dengan harga 50 Le, atau setara dengan seratus dua puluh ribu rupiah. Padahal kainnya tipis. Mana ada yang rela dengan harga kaos tersebut, bahkan turis bule pun mungkin akan merasa dibodohi dengan harga yang tidak masuk akal ini.

Tiba-tiba berceletuklah ia. Si pedagang itu.

“Enti min Andunisi, shoh? Malaysi musy ta’mal keda”.

“Kamu dari Indonesia kan? Orang Malaysia tidak akan menawar begini”.

Hek, saya pun terpana. Bagaimana pedagang ini tau kalo saya dari Indonesia, padahal wajah saya bisa lah jika dimiripkan dengan wajah bule asing dari Amerika Latin atau Korea (?). Hidung saya dibuat kembang kempis. Wajah saya seketika bercahaya. Bangga. Bagaimana dia tau, kalo saya dari Indonesia, yang sebagian orang Mesir pun kadang tidak tau apakah memang benar ada negara yang bernama Indonesia? Mereka lebih familiar dengan negara tetangga dari pada Indonesia. Mengenaskan.

Hanya berselang sekian detik, saya kembali merasa diinjak-injak. Dengan santainya si pedagang ini bilang

“Yah, begitulah kebanyakan perilaku turis atau pelajar Indonesia. Mereka suka menawar barang hingga babak-belur. Tidak seperti pelajar Malaysia”.

Tak cukup sampai disitu, dia kembali bertanya,

“Oia, katanya wanita Indonesia murah-murah ya? Tidak perlu memikirkan mahar yang tinggi untuk meminang perempuan Indonesia? Maukah kamu mengenalkan teman wanitamu kepada saya?”.

Polos dan innocent. Bagai disambar petir di siang hari. Diam. Saya membisu, kemudian berpaling dan pergi. Tanpa meninggalkan sepenggal kata. Kalau toh saya berdebat, buat apa? Mungkin memang pengalaman mereka bercerita tentang kenyataan itu. 

Pelajar Malaysia di Kairo cukup banyak, bersaing dengan jumlah pelajar Indonesia. Bedanya, secara finansial mereka sepenuhnya di sokong oleh negara. Mereka memiliki asrama mahasiswa besar, mewah dan megah. Jelas, mereka sudah tidak berpikir lagi tentang bagaimana hidup di negeri para Nabi ini dengan beasiswa yang hanya sekitar seratus delapan puluh ribu rupiah per bulan bagi yang tinggal di asrama Al-Azhar, atau sekitar empat ratus ribu rupiah bagi yang tinggal di luar asrama kala itu.

Aih, betapa mengerikan wajah perempuan Indonesia di mata orang Mesir. Lucu sekaligus geram. Dua rasa yang saling beradu jadi satu, seperti es buah, campur-campur, tapi pedas (?)

Memang, terdapat tradisi yang kuat dalam masyarakat Mesir. Seorang pemuda yang ingin menikah harus terlebih dahulu menyiapkan modal yang tidak sedikit, tak pandang bulu apakah calon mempelai wanita dari keluarga kaya atau tidak. Ada nilai sosial yang telah mengakar bahwa pria yang ingin melamar harus terlebih dahulu menyiapkan rumah layak huni dan membayar mahar yang cukup tinggi. Sedangkan struktur sosial dan ekonomi Mesir belum dapat dikatakan stabil.

Terlebih budaya korupsi, peledakan jumlah penduduk dan pengangguran melonjak tajam di Kairo, sebagai kota terpadat di Mesir. Walhasil, banyak terjadi pelecehan seksual dimana-mana. Dan, nampaknya wanita Indonesia dianggap ‘murah’ dan ‘gampang’ untuk dijadikan istri. Entah bagaimana bisa mereka berasumsi buruk terhadap perempuan Indonesia. Bagaimana kabar itu bisa sampai ke negri ini? Saya pun kembali geram.

Setiap kali bertemu dengan orang Mesir, mereka selalu menyangka bahwa kami dari Malaysia atau Cina. Menjadi seorang Indonesia memang terkadang harus menelan pengalaman pahit. Entah, apakah kami dianggap negara rendah oleh mereka, atau mungkin hanya karena kurs rupiah kami yang lebih rendah dibanding Pound Mesir.

Bahkan, di kantor imigrasi kami harus berjuang melawan passport berwarna merah dari negeri tetangga. Padahal, harus antre berjam-jam untuk berurusan dengan administrasi Mesir yang tak kalah ruwetnya dengan Indonesia. Malah lebih rumit, dan menyebalkan. Baru bekerja setengah jam, sang pegawai sudah harus menikmati sarapan dan nge-say (tradisi minum teh) selama satu jam bahkan lebih. Tidak produktif. Pegawainya saja sudah tua-tua, kalo lelah mereka akan ngomel panjang dan tidak mau bekerja.

Kebiasaan yang paling sering dilakukan dan berdampak hebat terhadap emosi saya adalah, ketika mendapati kata-kata sakti yaitu, bukroh. Sebuah istilah yang cukup familiar dan dapat membuat orang seketika lemas lunglai. Dengan tanpa alasan, sang pegawai akan dengan mudah mengatakan bukroh atau besok saja. Padahal jelas-jelas mereka bisa bekerja ketika itu.

Belum lagi antrian yang harus diperjuangkan dari jam 5 pagi, sampai jam 11 siang. Betapa waktu sangat tidak berharga di sana. Atau, gara-gara saya orang Indonesia? Yang tidak bisa ‘menyogok’ dengan lembaran pound Mesir? Tidak adil. Dimana-mana uang yang menjadi standar perlakuan baik. Saya pun bisa menebak, jika saja waktu itu ada bule yang sama-sama mengurus visa, pasti passpor saya akan di taruh di tumpukan paling bawah.

Ya, benar saja. Saya belum mengenal Mesir lebih dalam. Warga Mesir pun mungkin juga merasa asing dengan nama Indonesia. Tentu, saya tidak bisa memaksa mereka untuk mengenali budaya, agama, wanita, dan kultur Indonesia. Mereka pun juga tidak bisa memaksa saya untuk dapat memahami struktur sosial dan budaya mereka dalam waktu hanya empat tahun. Perkenalan kami, saya dan Kairo, hanya sebatas permukaan. Mendengar, melihat, dan hanya mampu mengamati dari ‘luar’.

Dan, di kota inilah, pertama kali saya berkenalan dengan ‘yang lain’. Mereka yang bukan semuanya Muslim Sunni, mereka yang bukan Jawa, mereka yang bukan berwarganegara Indonesia, mereka yang bukan Muslim, dan mereka yang lahir dan dibesarkan dengan identitas, tradisi dan budaya yang jauh berbeda dari saya. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *