Neswa.id-“Duwaiqoh, lau samaht”!, (Mohon antar kami ke Duwaiqoh, atau seringkali dilafalkan sebagai Duwea). Begitu kira-kira percakapan awal saya dengan Pak Supir.
“Eh, Duwea? Aywah. Balas sang supir, dengan nada heran, seperti tidak lumrah.
Saya pun harus mengulang sekali lagi tujuan kami pagi itu. Duwaiqoh, atau Duwea.
Saya mengerti. Pak supir ini pasti bingung, dan bertanya-tanya. Apa istimewanya distrik ini, yang hanya ditempati oleh orang-orang yang sudah mati. Tak seorangpun yang ingin ke tempat ini. Tentu saja selain para peziarah, dan anak-anak kecil yang sedang bersorak ria dengan bola dan tendangan mereka. Sesekali, juga terlihat penjual tomat serta buah-buahan yang diangkut dengan gerobak ala kadarnya dan ditarik seekor keledai malang. Atau, penjaja roti ‘isy yang berputar-putar keliling duwea dengan sepeda andalan yang dihiasi dengan papan sederhana sebagai wadah roti. Jika malas, mereka akan berhenti di tengah jalan, dan menggelar dagangannya begitu saja. Tak kenal tempat, di trotoar, depan masjid, samping sebuah makam, atau di depan kedai-kedai kopi yang tak pernah sepi pengunjung. Tak masalah.
Nyaris tak ada manusia-manusia lain yang sengaja datang kemari untuk bersenang-senang, layaknya para wisatawan. Distrik ini merupakan daerah padat penduduk, kumuh dan juga merupakan kawasan pekuburan yang membentang luas hingga ujung Barat. Tak ada wisatawan yang berkenan ke Duwea karena memang tidak ada yang patut untuk dilihat selain anjing-anjing malang tak bertuan yang sedang asik memunguti sampah di setiap sudut distrik Duwea.
Taxi berwarna hitam putih, berbentuk sedan lawas seadanya, tak lupa dengan alunan musik balady yang teramat kencang, menjadikan salah satu moda transportasi di Kairo ini menyita perhatian siapapun yang sedang berjalan asik di trotoar. Tak perlu argo untuk mengetahui harga dari setiap transaksi, cukup dari mulut sang sopir. Semaunya, seenaknya dia memasang tarif. Terkadang dapat yang jujur, dan normal, tak jarang pula dapat harga turis yang tentu saja dipatok lebih tinggi dari biasanya.
Namun, acapkali untuk mengakali ini, saya gunakan kartu mahasiswa Al Azhar sebagai tumbal. Masyarakat Kairo sangat menghormati Al-Azhar, baik sebagai institusi pendidikan dan pusat keilmuan agama yang mendapat tempat khusus di hati mereka. Dengan karneh ini, saya seringkali dapat harga miring, kalau lagi beruntung, atau harga normal. Cukup aman, dibanding harus dikenai harga turis.
Percakapan kami dimulai sesaat setelah saya duduk di samping supir, sedangkan pasangan berkebangsaan Jerman ini berada tepat di belakang kami.
Tujuan saya kemari dengan Aysel memang beda. Saya ingin mengajaknya mengenali sudut Kairo yang lain, yang tak biasa. Sebagaimana cerita pertama saya ke mereka tentang distrik tua ini. Tak hanya tua, namun juga syarat akan sejarah dan tradisi Islam yang menyatu dengan masyarakat Mesir pada umumnya.
Pagi itu kami sepakat untuk mengunjungi Duwea, perkampungan makam. Ya, makam. Dari Duwea kami akan berjalan hingga ke kota Kairo lama yang menyimpan ratusan makam sahabat, para wali, petinggi dinasti dan juga ulama. Tak cukup satu lembar kertas untuk menyebutkan nama-nama ulama tersohor dalam dunia Islam, salah satunya yang paling populer adalah makam Imam Syafi’i, Sayyidah Nafisah, Sayyidah Zaenab, Sayyidah Aisyah, Imam Suyuthi, Ibn Hajar Al-Asqalani dll.
Aysel dengan begitu penasaran bertanya kepada saya, kenapa kita ke makam.
Saya menjawab seadanya.
“Saya ingin mengajakmu bertawasul berkirim doa kepada para ulama, para wali dan sahabat Nabi”.
Tak banyak bertanya, ia pun mengangguk tanda sepakat bahwa pagi itu kami akan berziarah.
**
Langkah kami sampai di makam sayyidah Nafisah sekian kilometer dari distrik Duwea. Semerbak bau wangi penjaja parfum memenuhi ruang utama makam. Tak hanya parfum, penjaja souvenir, buku-buku keagamaan dan makanan memenuhi pelataran masjid. Kami berhenti sejenak di makam Sayyidah Nafisah, mengagungkan nama Tuhan dan melafal doa baik untuk beliau.
Beragam kisah tentang sayyidah Nafisah kerapkali saya dengar. Beliau merupakan guru dari Imam Syafi’i yang sangat dihormati. Beliau juga dikenal sebagai sufi perempuan yang sangat cerdas, fasih dan alim. Sebagai salah satu keturunan Nabi Muhammad, Sayyidah Nafisah menuruni sifat-sifat mulia sang kakek.
Kehadirannya di bumi para nabi Mesir membawa kebahagiaan dan keberkahan. Tempat tinggalnya selalu ramai oleh majelis. Sederet ulama besar Mesir tercatat pernah menjadi muridnya, seperti Imam Syafi’i, Dzunun al-Masri, Misr al-Samarkandi, dan juga Utsman bin Said al-Misri. Atas penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan Islam yang sangat luas dan juga kehidupan keulamaannya, beliau mendapat julukan sebagai Nafisah al-‘Ilm wal Ma’rifat, Nafisat al-Darayn, Sayyidat al-Karamah, Sayyidat ahlu Fatwa dsb. Masjid serta makam Sayyidah Nafisah tak pernah sepi, kecintaan masyarakat Mesir terhadapnya seakan tak lekang oleh zaman.
Langkah kaki kami belum beranjak dari jalan Al-Asyraf, jalan utama yang menghubungkan masjid serta makam sayyidah Nafisah dengan makam ulama perempuan keturunan Nabi lainnya yaitu makam sayyidah Sukainah, sayyidah Atiqah dan sayyidah Ruqoyah. Ketiga makam perempuan alim ini juga kerapkali didatangi oleh para peziarah. Entahlah, kenapa di jalan ini saya temukan banyak sekali makam perempuan-perempuan alim yang letaknya tak berjauhan satu dengan yang lain.
Belum lagi, di ujung jalan ini, terdapat makam sulthanah mamluk yang digadang-gadang sebagai perempuan paling berpengaruh di kawasan Afrika Utara dan Asia Barat. Namanya Syajar al-Durr, seorang janda al-Shalih (w 1249 M) dari dinasti Ayyubiyah yang dikenal sebagai peletak awal fondasi kekuasaan Mamluk. Namanya begitu agung hingga diabadikan dalam kepingan mata uang dan juga dibuatkan kubah besar nan indah di atas makamnya. Ya, dalam tradisi Islam kubah dalam sebuah makam dijadikan sebagai penanda bahwa makam ini bukanlah makam orang biasa, melainkan makam orang-orang berpengaruh yang sangat dihormati dan agung. Biasanya para petinggi pemerintahan, wali, sufi dan ulama-ulama besar.
Makam-makam besar ini biasa disebut dengan mazār atau maqām. Kuburan besar dan luas serta dihiasi dengan dekorasi-dekorasi khas tradisi seni dan arsitektur Islam biasanya ia berbentuk bangunan dengan satu ruangan luas yang di dalamnya merupakan sebuah makam begitu banyak ditemukan di kota Kairo lama atau Fusthat. Mazār-mazār tersebut biasanya juga dilengkapi dengan kubah dengan corak yang berbeda-beda, kaligrafi, hiasan muqornas, dan juga dekorasi geometri. Tak jarang juga untuk beberapa mazār khusus juga dibuatkan menara.
**
Sinar matahari Kairo siang itu begitu menusuk kulit. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di Masjid Ibn Thulun, masjid tertua kedua yang ada di Kairo. Masjid ini dibangun pada dinasti Thuluniyah tahun 876 M menurut catatan sejarawan Muslim Al-Maqrizi. Bentuk aslinya masih ada hingga saat ini.
Aysel mengagumi banyak hal dari perjalanan kami menelusuri kawasan Kairo lama saat itu. Hal-hal yang tak pernah didengar tentang Mesir selain Piramida dan masjid serta kampus Al-Azhar.
Ia pun banyak berkisah tentang Istanbul, karena ia lahir di kota tua itu yang banyak menyimpan hubungan dan sejarah panjang dengan Mesir. Terlebih ketika melihat kubah-kubah besar berbentuk bulat seperti bawang bombai yang memang banyak mengadopsi arsitektur Usmani. Maklum saja, Mesir pernah berada di bawah kekuasaan Usmani dari tahun 1805-1952 M. Maka tak heran jika beberapa keterpengaruhan kultur Turki banyak ditemukan dalam masyarakat Mesir, dari literatur, seni, musik, percetakan, administrasi, sistem pemerintahan hingga dalam kehidupan sehari-hari.
Namun sebagai warganegara Jerman dan hidup di Jerman sejak kecil, Aysel merasa sedikit tercerabut dari tradisi dimana leluhurnya berasal. Meskipun bisa dikatakan bahwa di negara Jerman banyak sekali orang-orang Turki, namun ia baru bisa merasakannya dua puluh tahun belakangan. Sebelumnya ia harus beradaptasi, berintegrasi dan berusaha menjadi seorang Jerman keturunan Turki. Untuk menghadirkan memori-memori nya dahulu, setiap tahun ia dan saudara-saudaranya pasti akan pulang ke kampung halamannya, Istanbul.
Sebagai keturunan imigran Turki awal yang datang ke Jerman tahun 70-an, ia bersama saudara-saudaranya dibesarkan di sebuah kota di bagian selatan Jerman, Karlshruhe. Hampir semua tetangganya adalah saudaranya sendiri. Komunitas kecil ini kemudian membesar menjadi sebuah komunitas sosial keagamaan yang aktif di Karlshruhe, khususnya untuk para Muslim.
“Kamu harus kesana suatu saat Maria, saya akan ajak kamu keliling dan berkenalan dengan komunitas kami di Karlshruhe. Saya akan senang sekali jika kamu bisa mengunjungi kami di Jerman. Anak-anakku pasti akan senang”.
Begitu ucapnya berkali-kali.
Saya hanya mengangguk, dan mengamini doa-doa baik untuk bisa bersilaturrahmi ke Jerman suatu saat nanti.
Sore itu kami teruskan untuk berjalan mengelilingi kota Kairo lama untuk mengenal dan menyusuri situs-situs bersejarah hingga akhirnya menuntun langkah kami hingga ke sebuah taman besar nan indah di atas bukit yang biasa disebut dengan Hadiqoh Azhar.
Senja sore itu begitu memukau. Kami duduk diatas rumput yang berbentuk bukit-bukit kecil hingga pandangan kami dapat menjangkau apapun yang terlihat dari taman ini. Menara-menara masjid, kubah-kubah dengan beragam bentuk dan ukuran, rumah-rumah coklat berbentuk kubus, suara klakson taxi, serta lantunan adzan Magrib yang menggema seakan membelah langit kota Kairo membuat kami mendadak diam seribu bahasa. Tak ada satu katapun yang terlontar dari mulut-mulut kami. Hanya diam, dan memandang jauh ke depan, dengan membawa pikiran dan memorinya masing-masing.
Lima tahun berselang, hingga akhirnya doa baik itu diamini oleh seluruh penjuru langit dan bumi. Di musim panas, di kota yang dahulunya ia ceritakan dengan begitu semangat, kaki ini dengan begitu berenergi dapat berdiri di depan perempuan yang dahulu saya kenal di pelataran masjid Al Azhar. Senyumnya yang khas, dengan wajah yang begitu ceria, seakan turut menyambut memori kami yang turut hadir dalam diri.
**
Leave a Reply