,

Memoar Perjalanan: Cerita tentang Pelayat Bayaran

/
/

Pelayat Bayaran

Neswa.id-Saya tak menyangka sore itu akan melihat aksi ibu-ibu Mesir layaknya pemain sinetron. Mengkisahkan sebuah alur cerita yang dipenuhi dengan adegan sedih kemudian  menangis. Tentunya dengan air mata bercucuran, dan meninggalkan bekas hitam legam akibat maskara yang luntur.

Siapa juga yang menyangka ibu-ibu tersebut berperan sebagai sosok antagonis. Setelah berteriak-teriak, menangis meraung-raung, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Berceloteh penuh kegembiraan dengan teman-temannya. Sinetron banget bukan?

Ceritanya begini. Ketika itu, saya bersama beberapa kawan hendak menuju ke sebuah situs sejarah yang berupa gate atau Bab (gerbang). Namanya Bab al-Futuh dan Bab al-Nasr. Biasa juga disebut dengan pintu gerbang kembar, meskipun tak ada kemiripan sama sekali antara keduanya. Yang satu bulat pipih bergaya Romawi dan yang satu agak kotak serupa benteng.

Matahari begitu terik. Kami mencari kedamaian di bawah bangunan gerbang menjulang tinggi sehingga menutupi pancaran radiasi yang hendak menusuk kerongkongan. Bunyi nyanyian khas Mesir begitu membahana. Ramainya seperti musik dangdut, bahkan lebih dahsyat, menggelegar ke segala penjuru. Padahal hanya bersumber dari satu buah tape recorder yang terpasang di sebuah tramco*.

“Mafish haggah tigi keda ehda habibi keda werga zay zaman…”.

Sebuah lirik yang dibawakan artis keturunan Libanon-Mesir, Nancy Agram, terdengar beberapa kilometer dari posisi tramco. Bukan main kerasnya.

Penduduk negeri ini sepertinya gemar sekali membunyikan musik dengan suara yang melebihi klakson kontainer. Brisik. Sampai-sampai saya dibuat goyang, padahal sungguh saya tidak bergoyang sama sekali. Mungkin efek dari dentuman gendang dari sound system tramco.

Belum lagi kalau ada salah satu penumpang yang baru saja turun. Si kernek tramco, entah sengaja atau tidak, gemar sekali menutup pintu seakan-akan tenaganya seperti mau merobohkan tembok Berlin. Bunyinya, Brroookk ! Tak jarang saya harus terbangun ketika rasa kantuk mulai bermain-main merayu mata saya untuk terlelap.

Selang sekian detik, konsentrasi saya dibuat semakin tercerai berai. Dentuman musik balady, atau biasa disebut sebagai musik lokalnya penduduk Mesir, yang semakin menjauh tergantikan oleh hiruk-pikuk beberapa kawanan abla-abla yang semakin mendekat ke arah kami. 

Dari arah Bab el Shereya, Ibu-ibu Mesir khas dengan abaya hitam yang menjuntai dari leher sampai pergelangan kaki, bergerombol dan menambah suasana kawasan padat penduduk ini semakin hiruk-pikuk. Seperti kawanan semut yang tiba-tiba keluar dari sarang ketika musim panas. Kemudian, mereka duduk persis di samping saya. Saling bercerita, bersenda gurau dan sesekali bercanda dengan orang-orang yang melewati jalan di bawah gerbang. Kini, depan gerbang tersebut penuh dengan ibu-ibu. Seperti mau arisan.

Tidak lama, dari arah yang sama datang sebuah kawanan yang lain. Kali ini bukan rombongan ibu-ibu. Melainkan bapak-bapak, beserta para pemuda Mesir. Nampak  sebuah peti kayu berwarna coklat di bopong para pemuda. Ternyata ada yang meninggal dan akan di sholatkan di masjid Al-Hakim bi Amrillah. Masjid peninggalan Dinasti Fatimiyah, yang terletak persis di belakang Bab al-Futuh.

Jalannya cepat sekali. Seolah-olah seperti dikejar malaikat. Tanpa ada komando, tiba-tiba, ibu-ibu Mesir tersebut meraung-raung. Menangis sejadi-jadinya. Sesekali sembari menengadahkan tangan ke atas. Alamaaak, saya semakin bingung !

Persis ketika rombongan pembawa peti jenazah melewati gerbang, ibu-ibu tersebut masih terus bersedu-sedan. Justru semakin keras. Seolah-olah, yang meninggal adalah salah satu keluarganya. Mereka, dengan sesekali mengusap cucuran air mata, juga  mengikuti rombongan ke masjid Al-Hakim, sampai setelah jenazah disholatkan.

Saya tertegun sejenak ketika melihat rombongan pengangkut jenazah tadi mulai berhamburan keluar masjid dan berjalan kembali dengan rute yang sama. Terlihat rombongan paling belakang masih menyisakan isak tangis yang lirih tapi dalam. Saya turut berduka.

Dan, kawanan ibu-ibu tadi menyusul di bagian paling belakang. Bedanya mereka tidak melanjutkan perjalanan seperti yang lain. Mereka kembali duduk, dan kembali bercengkerama seperti akan membuat arisan jilid dua.

Sepertinya ada yang aneh. Saya membatin. Hanya membatin.

Sebentar saja saya tinggal membatin, seorang lelaki, menghampiri kawanan ibu-ibu tadi. Sembari mengeluarkan recehan, entah berapa nominalnya, dan dibagi-bagi ke semua anggota arisan. Tanpa ada satu-pun yang terlewati. Terlihat sangat riang. Dan sesekali terdengar ungkapan terima kasih kepada lelaki berpostur jangkung itu. Mungkin bagi segerombolan ibu-ibu tadi, kematian seseorang merupakan pintu rezeki. Bisa jadi untuk makan anak-anak-nya esok hari.

Mereka akhirnya pulang, menaiki sebuah mobil pick-up yang ternyata milik lelaki tersebut. Mungkin ada tawaran lain yang membutuhkan jasa tangisan dan sedu-sedan mereka.

Saya kembali membatin. Yang kali ini disertai imajinasi, seolah-olah saya hidup di zaman Arab jahili. Siapa sangka, tradisi itu masih kuat di Mesir. Di bumi para nabi.

**

Tramco            : Angkot

Abla-abla        : Panggilan untuk ibu-ibu di Mesir



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *