,

Memoar Perjalanan: Cerita di Karlsruhe (II)

/
/

MemoarPerjalanan:Cerita di Karlshruhe (I)

Neswa.idMobil sedan sederhana melesat dengan kecepatan tinggi membelah kota Karlsruhe. Perawakannya kalem dan keibuan juga lemah lembut, tapi tidak dengan gayanya mengemudi mobil. Entahlah berapa kali tangan ini harus secepat kilat mencari pegangan ketika laju mobil yang sedang tinggi mendadak berkurang kecepatannya yang akan membuat perut siapapun pasti akan mual. Antara gas dan rem seakan tak berjarak. Ia dapat hadir sesuka hatinya. Beruntung suasana tegang di dalam mobil hanya berlangsung tak lebih dari dua puluh menit. Fiufh, saya tah habis-habisnya bersyukur sembari menarik nafas panjang menenangkan degub jantung yang agak mulai mereda.

“Herzlich Wilkommen im unserem Hause!”

Dengan penuh semangat ia membukakan pintu rumah, dan mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu. Rumahnya luas, terdiri dari dua lantai, lantai dasar dan lantai bawah. Kami disambut anak bungsu Aysel, Sarah. Teh Turki dan juga roti manis sekejap sudah berada di depan mata, pas sekali disaat udara musim panas nan dingin menusuk-nusuk badan yang setia menemani kami ketika di perjalanan.

“Schatz, ini Maria sudah datang ! Aysel memanggil Shadiq, suaminya. Ia berjalan sedikit lemah dengan tongkat kayunya.

Ah, wajah itu. Kenapa sekarang menjadi agak sedikit layu. Ya, saya bertemu dengan Shadiq ketika ia menemani Aysel ke Kairo beberapa tahun lalu. Perawakannya tinggi, berwajah Turki, dan sangat baik. Saya ingat betul ia dengan membawa tas kresek plastik warna hitam membagi-bagikan pecahan Euro kepada para pelajar asing yang sedang membaca Al-Qur’an dan bersantai-santai di pelataran sahn masjid Azhar. Pecahan ribuan Euro dibawanya hanya dengan menggunakan plastik hitam kumal yang diselipkan begitu saja di bajunya. Shadiq hanya bisa berbahasa Jerman dan Turki. Sesekali kami berbincang dengan diterjemahkan oleh Aysel atau putri bungsunya Sarah.

“Wie geht’s Maria? Finally, you’re coming to our home”.
Begitu sapanya dengan sangat ramah.
Kami berbincang-bincang akrab sekali di ruang tamu yang hangat dan nyaman sembari menonton TV. Ya, saluran TV Turki mewarnai perbincangan kami. Saya sama sekali tidak mengerti apa yang ada di layar TV tersebut. Yang saya lihat hanya siaran yang menampilkan wajah Erdogan bersama anggota parlemen. Perbincangan mulai mengarah ke politik. Shadiq sangat memfigurkan sosok Erdogan. Bahkan ia kerapkali bicara, Erdogan akan menjadi khalifah selanjutnya.

Kami hanya tersenyum melihatnya beropini dengan berapi-api. Ya, meskipun sudah bertahun tahun menjadi warga negara Jerman dan tinggal di Jerman, namun wacana tentang politik, sosial dan budaya yang sedang ramai diperbincangkan di Turki seolah tak berjarak. Ia seolah hadir di setiap kehidupannya. Seperti kami, komunitas Indonesia di Jerman. Perihal agama, sosial dan politik di dalam negri selalu menjadi pembicaraan hangat bahkan acapkali menuai perdebatan. Imajinasi ‘homeland’ bagi para pendatang kurang lebih sama.

Namun ada beberapa komunitas pendatang yang tidak bisa bergabung dan menyatu dengan kultur masyarakat Jerman. Acapkali pendatang baru tidak dapat berbahasa Jerman, sehingga kesulitan dalam komunikasi sehari-hari. Dan mereka sangat tertutup dengan komunitas luar. Hal inilah yang selalu dikritik oleh masyarakat Jerman terhadap beberapa kehidupan para imigran, yang salah satunya menjadi tema perdebatan besar di negri ini terkait tentang integrasi.

Selang beberapa waktu untuk istirahat, Aysel mengajak saya ke komunitasnya. Kebetulan saat itu ada acara di masjid tak jauh dari rumah Aysel, di bilangan Huttenheim. Setiap malam Jumat, di masjid ini diadakan acara Frauenabend, atau Malam Perempuan. Acara yang hanya dihadiri oleh para perempuan.
Benar saja, sesaat memasuki pelataran masjid puluhan perempuan berkerudung Turki dan juga yang tidak berkerudung memenuhi kawasan ini. Kami datang ketika acara makan-makan berlangsung. Beragam hidangan Turki hadir di atas sebuah meja persis di depan saya. Ada borek, lahmacun, baklava dan hidangan manis lainnya. Kami bercakap-cakap sebentar dengan jamaah, memakai bahasa campuran Inggris dan Jerman. Saya tak begitu faseh bahasa Jerman dan Turki, sedangkan mereka tidak begitu faseh bahasa Inggris. Jadilah obrolan kami sebatas perkenalan, aktifitas dan tentang Indonesia. Ya, saya kerapkali bahagia dan bangga jika mengenalkan nama Indonesia.

Aysel pernah bercerita tentang komunitas ini. Biasanya ketika Frauenabend acara diisi dengan ngaji bersama membaca Surat Yasin dan Tahlil. Dan akan ditutup hingga pukul 11 malam dengan makan-makan. Malam itu saya menyaksikannya sendiri, hadir di kerumunan perempuan muslim Turki di sebuah acara keagamaan yang mirip dengan acara-acara tahlilan di kampung halaman.
“Selamat datang di Jerman !”
Begitu sapa beberapa perempuan keturunan Turki itu dengan ramah.
“Kamu pasti senang bisa tinggal beberapa waktu di Jerman, apalagi Berlin. Di Berlin banyak sekali komunitas lain yang semakin beragam. Kamu harus belajar dan mengetahui banyak hal tentang kami, masyarakat Muslim Jerman. Saya ingin mendengar cerita-ceritamu nanti, pasti akan menyenangkan”. Lanjut Aysel sembari berjalan pulang dan berpamitan dengan para jamaah perempuan lainnya. Tepat pukul 11 malam kami beranjak pulang, sedangkan mereka, para jamaah perempuan itu masih asik bercengkerama dan menikmati hidangan di sebuah musim panas di bulan Juni.
*


Maria Fauzi Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *