,

Memoar Perjalanan: Cerita di Karlshruhe (I)

/
/

MemoarPerjalanan:Cerita di Karlshruhe (I)

Neswa.id-Kereta regional berwarna merah berjalan pelan, seakan ingin memberi waktu yang lama bagi para penumpang untuk bisa menikmati lebih lama lagi desa-desa kecil di ujung bukit yang ditutupi oleh kabut tipis di penghujung musim semi. Hembusan angin dingin dari utara sesekali menusuk, memberikan sentuhan yang merasuk kulit pada jaket tipis kami. Ya, ketika itu sebenarnya sudah memasuki musim panas, namun begitulah cuaca di Jerman acapkali tak menentu. Musim panas seketika bisa mendadak seperti musim semi atau gugur. Nyaris sulit mendapatkan sinar matahari yang setia menyinari negara ini sepanjang minggu.

Kereta kami berhenti sejenak di kota Jena, memberi sedikit jeda kepada mereka yang hendak turun dan berganti kereta untuk meneruskan perjalanan. Layaknya kota Göttingen, Jena juga dijuluki sebagai kota universitas. Kota yang tak begitu besar, dan dapat ditempuh kurang lebih tiga jam dari Berlin. Salah kampus tertua dan terkenal di Jena adalah Universitas Friedrich Schiller, didirikan tahun 1558.

Nampak, beberapa pelajar berlalu-lalang di bahnhoft sembari memasukkan sepeda dan menguncinya dengan rantai yang sudah disediakan di tempat khusus di dalam kereta. Sekian menit berlalu, masing-masing dari kami terlihat sibuk dengan alam pikiran sembari menikmati hamparan ladang gandum yang mulai ramai oleh traktor dan para petani. Gundukan jerami terlihat berjejer seperti roda truk muatan besar. Jerami ini kelak, ketika musim dingin atau ketika suhu udara mulai menurun, akan digunakan sebagai bahan bakar, tempat tidur dan makan ternak, bisa juga digunakan sebagai bahan industri kreatif lainnya.

Saya hanya melihat sekilas kota ini, tanpa sempat menghampiri dan berjalan menelusuri sudut kota Jena. Kereta kami akan meneruskan perjalanan ke ujung selatan negara Jerman, ke sebuah kota yang menjadi titik awal perjumpaan saya dengan seseorang yang saya kenal untuk pertama kalinya di Masjid Al-Azhar Kairo, beberapa tahun sebelum saya akhirnya dapat bertatap muka lagi di sini. Di kota ini.

**

Terhitung sekitar 545 hari saya berada di negara Jerman. Negara yang menjadi impian ribuan manusia lain atas kedigdayaan-nya melahirkan filsuf-filsuf ternama dunia. Karl Marx, Nietzsche, Martin Heidegger, Einstein, Theodor Adorno, Jürgen Habermas, Friedrich Engels dan sederetan pemikir dan ilmuan lainnya yang erat hubungannya dengan bangsa Jerman.

Negara Jerman memang memiliki karakter yang kuat. Biarpun isu-isu miring kerap kali membuat situasi politik dan ekonomi sedikit memanas, namun tidak membuat negara ini kocar-kacir. Tentu, mereka tidak ingin mengulang sejarah pahit yang pernah dilalui dahulu ketika Perang Dunia berkecamuk.

Tujuh jam berlalu, kereta kami nampak enggan untuk berhenti. Saya masih saja asik menikmati suasana pedesaan khas negara Jerman. Ladang gandum, hamparan bunga matahari, lumbung gandum, juga hewan ternak liar yang memilih untuk memamah rumput rumput segar musim panas. Saya tidak ingin berpikir apapun ketika melakukan perjalanan dengan kereta, saya hanya tidak ingin melewatkan pemandangan indah yang sesekali menghiasi jendela kaca. Hingga sebuah suara pemberitahuan mendadak muncul. Setelah beberapa menit lagi kami akan sampai di kota Fulda, dan akan berganti kereta tujuan Karlsruhe. 

Hilir mudik penumpang terlihat mulai berkemas. Ada yang seketika mengambil koper, menata kembali barang-barang yang berceceran di meja, menyiapkan stroller bayi untuk didekatkan ke pintu keluar kereta, dan para muda-mudi yang mulai melepas headset yang sedari tadi tertancap di telinga.

Suara gemuruh roda koper yang saling mendahului terdengar bersaut-sautan dan tanpa henti. Mereka berjalan cepat, tanpa menoleh, tanpa ingin sedetikpun berhenti menikmati keramaian dan hiruk pikuk segala jenis manusia di stasiun kota Fulda. Kami, berjalan sekenanya, tidak cepat pun tidak lambat. Jika lambat, bisa jadi penumpang yang berjalan di belakang kami akan tiba-tiba menyalip tanpa kata-kata, menggerutu dan mengomel. Kami tau diri.

Kereta kami yang akan membawa ke Karlsruhe berada di Gleis 6, paling ujung dari semua deretan kereta lain. Suara peluit masinis perempuan semakin kencang, seakan memberi tanda kepada calon penumpang untuk bergegas masuk. Tiada ampun bagi mereka yang terlambat, berlari dengan nafas yang tersengal-sengal, berharap untuk dibukakan pintu kereta. Kecuali, jika sang masinis tetiba mendapat bisikan entah dari Tuhan atau siapapun itu, untuk memberi celah ampunan bagi mereka yang sudah mengeluarkan peluh hingga sedemikian bercucuran.

Kumpulan anak-anak dengan tas warna-warni, keriuhan, kegaduhan dan orang-orang yang berjalan dengan cepat lambat laun terlihat seperti jalan mundur seiring kereta kami berlari dan kembali menembus hamparan gandum berwarna hijau kekuningan. Kincir angin besar, yang digunakan sebagai alternatif pembangkit energi, terlihat berjejer, membentang seluas ladang-ladang gandum di sepanjang jalur kereta. Dari kejauhan, kincir angin modern ini sama sekali tidak menuntut perhatian lebih. Namun begitu dekat, perhatian saya seketika beralih ke kincir angin yang begitu besar ini. Seperti menara gedung-gedung pencakar langit, menjulang tinggi dengan struktur bangunan yang gigantis. Bedanya hanya karena bangunan ini terletak di tengah-tengah hamparan gandum.

Menjelang malam, matahari sama sekali tidak berkenan untuk sejenak beristirahat. Jam tujuh malam, ketika musim panas, seperti jam empat sore. Tidak ada tanda-tanda meredupnya sinar matahari. Orang-orang masih saja berlalu-lalang, sesekali terlihat para pekerja dengan mimik muka yang terlihat cukup capek dan letih. Mereka hanya butuh sejenak terlelap tanpa harus mempedulikan sinar  matahari dari jendela yang masih nampak silau. 

Kereta berhenti. Tugas yang diemban untuk sampai ditujuan segera berakhir dalam hitungan menit. Saya terus menerus memandangi jendela kereta tanpa henti, hanya untuk memastikan dia disana. Menunggu, dan menanti kehadiran kami yang sudah beberapa kali mengirim pesan bahwa di hari itu, menjelang malam itu, kami akan menemuinya di sebuah kota bagian Selatan Jerman, Karlshruhe.

Bermantel hitam, dengan kerudung sederhana khas perempuan muslim Turki, dia nampak anggun, keibuan, dan bersahaja. Dari kejauhan, senyum itu masih sama, seperti lima tahun yang lalu saat saya pertama kali bertemu di pelataran sebuah masjid tua di Kairo. Masjid Al-Azhar, menjadi saksi bisu akan pertemuan kami di suatu sore bertepatan dengan perayaan kelahiran Nabi Muhammad.

“Assalamu’alaikum, wie geht’s?”.

Dan, ah suara itu pun juga masih sama. Dia berwibawa, ramah, dengan sunggingan senyum yang tulus.

Di depan rumah Aysel, Karlsruhe. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *