,

Memoar Perjalanan: Berlin, Sebuah Titik Temu

/
/

Memoar Perjalanan: Berlin, Sebuah Titik Temu

Neswa.id-Kota tua dengan jalan bebatuan, suara lonceng gereja, dan orang-orang tua yang berjalan pelan di sebuah jalan lorong nan sempit. Tidak ada gedung-gedung tinggi, mall, atau suara klakson kendaraan yang saling berebut perhatian. Itulah yang pertama kali terlintas di kepala saya tentang kota ini, Berlin. Jauh sebelum saya sampai kota ini saya hanya mengira Berlin seperti halnya kota-kota kecil di Eropa nan romantis, dipenuhi gereja, benteng dan istana yang acapkali saya temui di kartun-kartun olahan Walt Disney.

Imajinasi, khayalan dan angan-angan akan kota ini membanjiri seluruh isi kepala. Berlin, bagi saya pribadi adalah kota pertama yang akan mewarnai hari-hari keluarga kecil kami. Iya, ini merupakan kali pertama saya dan suami membangun sebuah keluarga dengan kehadiran putri kecil kami yang lahir pada awal musim dingin. Salju tipis, suhu udara dibawah sepuluh derajat, sisa angin musim gugur, juga manusia manusia yang berjaket hitam berjalan sambil menahan dingin, adalah satu dari sekian penanda bahwa bagian bumi sebelah utara hendak memasuki musim beku.

Menapaki kaki di negara Jerman adalah sebuah mimpi. Mimpi yang tak lahir begitu saja dan tanpa alasan. Negara ini menjadi menjadi titik temu antara untaian doa dan cita-cita beberapa tahun lalu ketika bertemu Aysel Kairo.

Ya, tentu saja saya akan melawat ke rumahnya, ke kotanya, dan menemuinya di Karlshruhe. Saya akan mendengarkan kisah kisahnya tentang komunitas Turki yang ia bangun. Saya akan mendengar cerita tentang anak-anaknya yang beranjak dewasa. Dan saya akan berusaha mengenali Jerman, sebagai warga negaranya, sebagaimana Aysel mengenal Indonesia dengan sangat baik. Pertemuan kami di Kairo, akan mengukir pengalaman lain di negri Hitler.

**
Salah satu maskapai Timur Tengah akhirnya membawa saya melewati gugusan pulau dan melintasi benua Asia, hingga berakhir di Bandara Tegel Berlin. Perjalanan di akhir tahun, yang hanya menyisakan beberapa hari untuk menuju tahun berikutnya membuat siapapun ingin berlibur. Pengawasan yang lebih ketat serta merta diberlakukan bagi siapapun yang ingin memasuki wilayah Eropa, termasuk saya.

Koper besar berisi barang-barang yang menurut mereka tak penting, tapi merupakan sebagian nyawa bagi saya harus dikeluarkan tanpa ampun. Dan ia, adalah trasi. Serta beberapa makanan yang menurut security Jerman sangat aneh dan seolah layak diberikan kepada binatang-binatang jalan yang kelaparan akibat cuaca dingin.

Saya harus pasrah, pura-pura acuh padahal butuh.
Pintu keluar pemeriksaan membentang bagai gerbang kebahagiaan. Bergegas saya menyeret koper-koper bertuan untuk lekas bertemu dengan kekasih dan pujaan hati. Ia terlebih dahulu sudah berada di Berlin semenjak enam bulan lalu.

Persiapan kursus bahasa Jerman sebagai persyaratan memasuki universitas, serta mempersiapkan administrasi berikut apartemen sederhana untuk tempat tinggal kami kelak.
Ia berdiri tenang, tanpa sedikitpun khawatir tentang istrinya yang melakukan perjalanan jauh sendiri dengan koper koper besar seperti hendak bermigrasi. Hawa dingin perlahan mulai menusuk wajah dan menjalar ke perut. Jaket yang saya kira sudah tebal dan mampu menahan kebekuan di suhu dua derajat nyatanya tak mampu berbuat apa apa. Ia bagaikan selembar kain tak berguna, bahkan untuk melindungi kulit tangan sekalipun.

Perjalanan dengan menggunakan bis yang dilanjutkan dengan kereta bawah tanah mengalihkan seketika perhatian saya akan keberadaannya yang dari awal pertemuan tak sekalipun melepas genggaman tangan saya. Pohon-pohon pinus berjejer tanpa sedikitpun bergoyang, tegak bak tiang listrik. Cuaca yang mendung membuat siang itu serasa sore hari, sinar matahari enggan untuk berbagi kehangatan.

Leopolplatz. Ya, kami berhenti sejenak di stasiun bawah tanah ini untuk berganti kereta yang akan membawa kami ke apartemen. Riuh gemuruh suara perut tak bisa lagi ditolerir. Ia menyeruak tanpa henti, hingga membuat badan semakin menggigil. Beruntung, ada kedai Nuddle Box yang ada di pinggir jalan utama. Penjual mie berperawakan China bersigap melayani pembeli di tengah gempuran angin dingin yang tak kunjung berhenti. Kereta S25 melaju kencang menuju rumah kami di Lichterfelde Ost, dan dengan sekejap badan dan perut mulai beradaptasi dengan cuaca Berlin.

Salju tipis pelan-pelan menutupi beberapa mobil yang parkir di tepi jalan menuju apartemen. Tak lebih dari sekian menit, ia pun meleleh bersama munculnya sinar matahari pagi yang sama sekali tidak hangat. Suara derap langkah sepasang lansia, lengkap dengan anjing-anjing kecil mereka seakan ingin menyapa pagi kami.

Pukul sepuluh pagi, pada musim dingin seperti jam tujuh pagi. Tidak ada tanda kehidupan, selain suara bel yang berbunyi sebagai tanda para kurir barang, surat dan tumpukan kertas iklan supermarket yang siap dimasukkan ke kotak surat penghuni apartemen. Atau, hanya suara langkah-langkah yang berasal dari penghuni atas kamar kami. Hanya itu saja. Sepi, seakan tak ada manusia di tempat ini.

Pagi itu kami berniat untuk untuk mengenali kota yang akan kami tinggali selama tiga tahun mendatang. Pohon-pohon natal nampak berserakan di pinggir jalan. Orang Jerman biasanya hanya membeli pohon-pohon itu setahun sekali mendekati hari Natal. Setelah itu, biasanya akan membuangnya begitu saja di depan apartemen, atau di tempat sampah.

Sebuah gerai makanan bertuliskan ‘Helal el Pazari’ menyita perhatian saya. ‘Ihr multikuktureller Frischmarkt’, atau Your Multicultural Freshmarket, sebuah jargon yang dipakai sebagai penarik konsumen ditengah masyarakat multikultural Berlin nampaknya cukup berhasil. Toko ini, selalu saja ramai. Tidak hanya masyarakat Jerman, namun pembelinya benar-benar beragam. Bahasa Turki, Jerman, Spanyol, Arab, Prancis, Inggris, dan bahasa lain yang saya tak sedikitpun dapat mengenali acapkali melintas di telinga.

Barang yang dijual juga beragam, namun lebih banyak makanan khas Turki dan Arab. Wajar saja, karena kawasan ini juga dikenal sebagai rumahnya pendatang maupun warganegara Jerman keturunan Turki, Arab dan negara Eropa Timur lainnya.

Tentang Islam di Jerman, tentu pemandangan seperti ini bukanlah hal baru. Aysel, beberapa kali bercerita tentang kehidupannya di Jerman. Juga, tentang bagaimana keluarganya pertama kali datang di negara ini, hingga mempunyai keturunan yang tidak sedikit. Membentuk komunitas kecil, dan berafiliasi ke beberapa organisasi agama Turki yang berkembang pesat di Jerman. Tidak ada sama sekali perasaan cemas dan khawatir tentang jilbab yang saya pakai, identitas yang melekat dengan diri saya, mengingat di Berlin perempuan berkerudung nyatanya mudah ditemui. Makanan halal berjamuran dari yang khas Turki, Maroko, Mesir hingga Asia. Islam sudah menjadi bagian dari masyarakat Jerman. Dan, salah satunya saya temukan di distrik ini, Wedding. Kawasan yang saya sebut sebagai ‘The Little Orient.’ (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *