Neswa.id-Di persimpangan Champs Elysees, sesaat sebelum benar-benar sampai di ujung jalan ini, dua remaja perempuan menghampiri saya. Mereka meminta uang, jajanan, atau apa saja yang bisa mereka bawa pergi. Kebetulan saya lagi mendorong stroller yang diatasnya ada beberapa bungkus snack untuk anak kami. Tak lebih dari sekian detik, snack itu raib. Cepat sekali. Dan kedua gadis itu cekikian, tanpa rasa bersalah, hanya mengangkat kedua tangannya sambil tertawa dan memperlihatkan snack yang diambilnya kepada saya.
“Bingo, dapat !”.
Begitu mungkin yang ada di pikiran mereka. Tentu saja, saya sedikit geram.
Sekian kali saya bertemu dengan mereka, kumpulan orang Sinti, atau di Prancis kerap disebut dengan gitans atau tsiganes. Beda dengan di Jerman, keturunan Sinti biasa disebut dengan Zigeuner. Hampir di setiap kota-kota besar di Eropa Barat yang pernah saya kunjungi, keberadaan mereka mudah ditemukan. Acapkali berada di tempat-tempat wisata yang menjadi favorit turis asing. Meminta-minta dengan beragam cara. Ada yang dengan menyodorkan kertas, map, setangkai bunga sederhana, tak jarang juga langsung bicara “Money, money” !!.
Gadis-gadis belia, berkerudung pendek, kadang hanya dengan rambut diikat sederhana. Ya, kebanyakan yang bekerja sebagai pengemis jalanan adalah para perempuan Sinti. Persis seperti yang kerapkali saya temukan di stasiun kereta dalam kota Berlin, dan juga disini, di sepanjang jalan utama Champs-Elysees.
Di depan gerai-gerai internasional, mereka duduk di kursi besi tepat di bahu jalan. Berwajah ceria, bersenda gurau, namun seketika bisa sangat agresif mendekati para wisatawan. Menempel, mendesak, bahkan seperti pengalaman saya sendiri, mereka mengambil apapun yang bisa diambil di depan mata mereka.
Warga keturunan Sinti atau Roma (sering juga disebut dengan gypsie) kerapkali menjadi sorotan disebabkan angka pendidikan rendah, kemiskinan dan kriminalitasnya yang cukup tinggi. Sebagai minoritas tertinggi di Eropa Barat, komunitas Sinti menjadi minoritas yang paling dibenci, begitu salah satu media nasional Jerman mengangkat tema ini beberapa waktu lalu. Berbagai prejudices dan stereotypes miring terhadap komunitas ini tak lekang dan seakan tak ada ujungnya hingga hari ini.
Bahkan, saya sendiri, pada awalnya beranggapan serupa. Pengalaman tidak mengenakkan ketika bertemu dengan mereka, orang-orang Sinti yang menjadi pengemis jalanan dan penjaja bunga di Berlin, acapkali membuat saya memandang sebelah mata. Kehadiran mereka untuk mencari kehidupan lebih baik bercampur dengan isu-isu integrasi dan kriminalitas. Ya, komunitas ini, baik di Jerman atau di negara Eropa lainnya dianggap tidak bisa berintegrasi dengan nilai-nilai masyarakat Eropa. Dalam hanya beberapa tahun, Jerman memulangkan ribuan imigran Sinti ke negara asalnya di Bulgaria, Slovenia dan Rumania.
Persekusi dan diskriminasi terhadap mereka kerapkali saya dengar. Bahkan, di beberapa negara bagian Jerman orang-orang keturunan Gipsy atau Sinti tidak diperbolehkan belajar integrasi bahasa Jerman, juga tidak diberi akses untuk bekerja.
Konon, perjalanan orang-orang keturunan Sinti mulai masuk ke negara berbahasa Jerman kurang lebih seratus tahun lalu. Kerapkali mereka dijuluki sebagai ‘a travelling people’ alias nomaden. Sinti dan Roma disinyalir berasal dari kawasan Barat Laut India. 600-800 tahun yang lalu mereka mulai bermigrasi ke Eropa. Beberapa dari mereka kemudian menyebar ke kawasan Eropa Timur, khususnya ke negara pecahan Uni Soviet. Tahun 1995, ketika Yugoslavia mengalami perang sipil, ribuan dari orang-orang Roma ini mengajukan suaka ke Jerman dan beberapa negara di Eropa Barat. Keturunan Sinti semakin banyak di temukan dan secara resmi diakui sebagai salah satu kelompok etnis minoritas yang berhak hidup di Jerman.
Kelompok ini mengingatkan saya ketika menyusuri petak demi petak kamp konsentrasi Nazi di Oranienburg, Berlin. Keturunan Sinti juga dianggap sebagai target utama yang harus dilenyapkan oleh Hitler. Sekitar 500.000 orang-orang Sinti dibunuh di beberapa konsentrasi camp, hingga tak menyisakan sedikitpun dari mereka. Kelas-kelas menengah Sinti juga dihabiskan hingga tak berbekas, kecuali mereka yang dengan keajaiban Tuhan bisa lepas dan melarikan diri dari tentara SS Nazi.
**
Ya, awalnya saya mengira mereka merupakan seorang Muslim. Karena biasanya para perempuan gitans ini mengenakan penutup kepala sederhana seperti perempuan-perempuan Timur Tengah. Wajahnya juga khas oriental, berkulit sawo matang, rambut hitam legam, dan kebanyakan mereka memakai rok dan baju panjang.
Namun ternyata, mayoritas gitans yang ada di Paris merupakan pemeluk Katolik Roma dan Protestan. Hanya beberapa yang kemudian memeluk Islam. Setiap tahunnya orang-orang keturunan Sinti yang berasal dari berbagai negara melakukan petilasan ziarah ke salah satu kawasan pesisir Paris, dimana Saint Sarah the Black seorang perempuan suci yang paling dihormati oleh mereka pernah singgah dan menapakkan kaki disini.
Kota Saintes-Maries-de-la-Mer, tak jauh dari kota Arles selatan Paris, akan dipadati oleh orang Sinti dan Roma pada bulan Mei yang akan menggelar ritual keagamaan dengan membawa patung Saint Sarah the Black menyusuri pesisir pantai untuk mengingat perjalanan memasuki Paris.
Menurut legenda yang dipercayai oleh Gitans, The Black Sarah merupakan pelayan dari salah satu ‘The three Mary’s’ yang tiba di wilayah Camargue sesaat setelah kematian Jesus. Hikayat lain berkisah bahwa Sarah merupakan pelayan kulit hitam Mary Jacobe yang hadir pada saat penyaliban Jesus.
Perjalanan ke Paris, mempertemukan saya kembali dengan orang-orang Sinti. Dan kali ini pengalaman yang saya peroleh tak jauh beda ketika pertama kali saya temukan di Berlin. Wajah mereka selalu terngiang ketika saya berjalan sendiri menyusuri pinggiran jalan di kawasan Neukoln, Berlin. Di sini, di sebuah lokasi yang banyak ditinggali oleh para imigran Gipsy bahkan lebih dari seratus keluarga yang berasal dari Bucharest Rumania menjadi titik harapan baru. Nazi boleh jadi membunuh dan berencana menghabisi keturunan Sinti tujuh puluh tahun lalu, namun kini mereka dihidupi dan diterima oleh warga negara Jerman sebagai bagian dari permintaan maaf dan usaha menghapus memori kelam tragedi Holocaust. (IM)
Leave a Reply