Neswa.id-Seorang wanita tengah baya tiba-tiba menghampiri saya dengan membawa secarik tulisan yang dibungkus dengan sebuah map. Kertasnya nampak lusuh. Warnanya putih berpadu dengan coklat muda, atau bahasa Jawa-nya mangkak. Berbagai model tanda tangan terlampir dikolom-kolom yang sudah disiapkan. Saya dibuat bingung, masa iya ada yang minta bantuan untuk membangun masjid atau menyantuni anak yatim seperti yang biasa saya temukan di kampung halaman (?)
Wanita itu terus menyodorkan kertas tersebut. Semakin lama semakin mendesak. Tanpa banyak bicara, dia hanya menunjuk-nunjuk sembari memberi contoh bagaimana mengeluarkan uang dari dompet.
Wah, kalau itu seh saya juga bisa.
Namun, saya masih terpaku. Diam. Baru beberapa saat kemudian, wanita tersebut mulai bersuara.
“Do you speak English?” tanyanya. Saya menjawab, “Iya”.
Dengan sangat sigap, wanita itu kemudian bersuara.
“Money, money! Do you have some money? I need food”, terangnya. Dan entah kenapa, seketika itu juga saya langsung pergi. Pura-pura tak menghiraukan.
Itulah kali pertama saya melihat sesosok wanita paruh baya, memakai penutup kepala seadanya berkeliling sambil menenteng map atau amplop. Bukan hanya satu, tapi puluhan. Ada juga yang masih umur belia. Dengan rambut hitam panjang yang hanya diikat sederhana mereka berkeliling di pusat-pusat wisata di Berlin sembari menghampiri beberapa turis.Tentu, untuk mengharapkan beberapa koin euro untuk makan esok hari.
Setelah beberapa kali saya perhatikan, kebanyakan pengemis yang rata-rata keturunan Gipsy itu adalah wanita. Tak satupun saya menjumpai seorang pria Gipsy membawa map sambil berkeliling selayaknya menarik iuran anggota koperasi.
Sekali lagi, itu bukan atas nama emansipasi. Melainkan sebuah keterpaksaan.
Di negara se-kaya Jerman, kemiskinan memang tidak terlalu mencolok. Orang kaya, sederhana atau miskin menggunakan fasilitas publik yang sama. Tidak ada disparitas yang membatasi. Saya tidak bisa membedakan mana orang kaya, sederhana atau berkecukupan di ruang publik.
Stereotyping terhadap komunitas Gipsy (Sinti dan Roma) di Jerman nampaknya masih berlanjut. Beberapa media ternama seperti Deutsche Well atau Berliner Morgenpost sering menyajikan berita seputar kehidupan imigran Gipsy. Macam-macam. Ada yang mengulas tentang kehidupan mereka yang suka berkelompok atau anak-anak yang berpendidikan rendah. Namun yang paling sering disorot adalah tentang kemiskinan.
Awalnya saya berpikir mereka adalah orang-orang dari Eropa Timur semacam Bosnia atau Serbia. Dan, saya juga mengira mereka adalah muslim karena memakai penutup kepala. Telisik punya telisik, mereka berasal dari Roma, keturunan Gipsy yang dahulunya juga merupakan korban dari kekejaman Nazi.
***
Saya baru saja sampai di sebuah bangunan memorial di pusat kota Berlin. Tertulis di depan gerbang besar tersebut “Memorial to The Sinti and Roma of Europe Murdered Under National Socialism”. Walaupun sudah beberapa kali saya mengunjungi lokasi di sekitar area ini, tetapi baru kali ini saya melangkahkan kaki masuk, mengeja kisah demi kisah yang berjejer urut di sebuah tembok besar.
Selain keturunan Yahudi, target pembersihan etnis yang dilakukan oleh Hitler adalah orang-orang Gipsy. Abad pertengahan menjadi saksi atas berbondong-bondongnya kelompok Gipsy ke dataran Eropa yang kemudian menyebar dan meninggalkan beberapa keturunan.
Nasib betul, ternyata mereka harus menelan kisah tragis di bawah kekuasaan Sosialis Nazi. Kira-kira 500,000 keturunan Gipsy dibunuh di gudang-gudang konsentrasi Nazi. Sejenak, mereka harus merelakan mimpi-mimpi untuk hidup di dataran Eropa.
Mau tidak mau, sepertinya saya harus turut mengakui bahwa Jerman merupakan negara yang gentleman, berani mengungkap aib negerinya sendiri. Saya rasa tidak semua negara punya keberanian seperti itu. Dan atas nama solidaritas inilah, pemerintah Berlin kemudian membangun sebuah memorial untuk mengenang korban Holocaust.
Sedang asik mengeja nama-nama korban Holocaust yang diukir di atas bebatuan, dari luar terdengar alunan musik sendu yang tak kunjung selesai. Alamak, suasana benar-benar kian dramatis. Mendung, dan sepi pengunjung. Lengkap sudah. Hanya terlihat beberapa orang saja yang masuk ke memorial ini.
Udara dingin, salju menumpuk dimana-mana, nampaknya tidak juga mengurungkan niat wanita tua berwajah Gipsy untuk terus menerus memainkan accordion di depan bangunan baru itu. Sambil sesekali melempar senyum ke beberapa turis, wanita itu terus menerus bermain musik. Tentu, dan lagi-lagi, mengharapkan pecahan euro singgah di sebuah kaleng besi tepat dihadapannya.
Seringkali ketika saya melihat kawanan imigran dari Roma, atau biasa disebut sebagai orang-orang Gipsy di Berlin memang sedikit menyayat hati. Rata-rata miskin. Tak jarang mereka kerap diperlakukan tidak adil dan rasis. Pemerintah Jerman juga nampaknya kewalahan dengan banyaknya imigran gelap dari berbagai negara Uni Eropa, termasuk Gipsy. Bahkan kabarnya, pemerintah Prancis, yang juga menjadi tujuan beberapa imigran Roma, telah menyediakan dana ratusan Euro untuk memulangkan mereka ke negara asal.
Beda bangsa beda nasib. Sama-sama tercatat sebagai korban Holocaust, namun nampaknya warga Yahudi di Jerman sekarang lebih bisa diterima. Atau, bisalah disebut sebagai ‘tamu istimewa’. Jarang sekali saya membaca berita nasional yang mengangkat isu berbau sentimentil terhadap orang-orang Yahudi. Tentu, selain skill yang mereka punya, pemerintah Jerman juga ingin ‘mengobati’ sejarah kelam peristiwa Holocaust.
Beda bangsa beda nasib. Kata ini saya pilih untuk menggambarkan potret kehidupan imigran Sinti di Berlin yang jauh dari kata sejahtera. Pantas saja, beberapa waktu lalu, selang sekian hari setelah memorial ini diresmikan, sebuah media nasional mengangkat berita berjudul “Can a Memorial End Discrimination?”. (IM)
Leave a Reply