Neswa.id-Tempat ini tidak pernah sepi. Tidak sekalipun. Terlebih hari itu, ketika ratusan orang memadati tiap jengkal jalan yang berumur ratusan tahun. Syari’ Muiz Lidinillah, begitulah orang-orang terdahulu menamai jalan setapak nan sempit ini. Jalan yang menyimpan banyak kisah, lintas dinasti.
Hiruk pikuk lorong bazar dipenuhi berbagai macam manusia. Bazar, atau pasar ini terletak di sepanjang Syari’ Muiz. Namanya Khan Khalili. Terbentang dari kawasan Atabah, Mosky, hingga ke Husein, dan Darasah. Penjual, pembeli, anak-anak, para lelaki penghirup syisya, penikmat kopi, abla-abla berpakaian abaya hitam, hingga suara melengking para penunggu toko yang sedang asik menawarkan dagangannya tumpah ruah di pasar ini. Komplit. Ada penjual bermacam rempah-rempah khas Mesir, pakaian, souvenir, lampu-lampu fanoush, hingga penjual roti gandum atau isy yang digeletakkan begitu saja diatas bebatuan kering penuh debu.
Keriuhan semakin menjadi tatkala kaki ini sampai di pelataran Masjid Husein, yang terletak persis diseberang Masjid Al-Azhar di jantung kota Kairo lama. Adegan tawar menawar saya dengan beberapa pedagang souvenir seketika terhenti, oleh ratusan para pengikut tarekat yang saat itu sedang melakukan pawai. Sebuah perayaan atas kelahiran sang pembawa rahmat, pilihan Tuhan, nabi Muhammad.
Hari itu memang bertepatan dengan Mawlid Nabi. Hari yang ditunggu-tunggu oleh jutaan Muslim dunia. Suka cita, kebahagiaan, dan perayaan ada dimana-mana. Dari yang paling sederhana, sampai yang paling meriah. Begitu pula yang dirasakan oleh ratusan pengikut tarekat dan Ahlu Bayt di Kairo. Mereka berpawai, mengalunkan sholawat dan dzikir tanpa henti sembari berjalan menuju ke sebuah Masjid yang diyakini menyimpan jasad cucu Nabi Muhammad, Husein.
Niat awal saya yang ingin nyambangi guru ngaji di salah satu ruwaq masjid tertunda, demi melihat dan turut meramaikan suasana gembira menyambut kelahiran Nabi. Di depan Masjid Husein, terdapat sebuah mimbar, terop seadanya, juga beberapa kursi yang sudah dirapikan untuk menggelar semacam pengajian atau biasa disebut dengan Nadwah. Kain-kain merah bertuliskan keterangan acara, dengan sentuhan warna kuning dan hijau menyemarakkan pawai tahunan ini. Lampu-lampu kecil dipasang di tiap jengkal kain. Menjelang Magrib, lampu-lampu ini akan menyambut tamu penting, juga masyarakat umum yang ingin mendengarkan pengajian yang biasanya diisi oleh pemuka tarekat dan beberapa syeikh Al-Azhar.
Di dalam kerumunan, tepat di samping toko-toko buku yang berjejeran di jalan ini, saya kian terhimpit. Berjejalan manusia saling mendahului untuk menonton, sekaligus turut mendendangkan pujian-pujian terhadap Nabi, sholawat dan sepenggal ayat Al-Qur’an diiringi oleh alunan gendang dan rebana. Sebagian terlihat begitu asik, seolah tidak ada seorangpun disamping kanan kirinya. Dalam tradisi sufi, tontonan seperti ini jamak diketahui. Menari, seperti sedang dalam kondisi fana’. Fana’, dalam tradisi sufi merupakan maqam tertinggi dalam capaian spiritualitas. Ia serupa menyatu dengan Tuhan melalui amalan-amalan dzikr, kerendahan diri, atas bimbingan seorang guru atau mursyid.
Spanduk dengan berbagai ukuran, dari yang kecil, sedang, hingga besar mewarnai parade tiap kelompok. Dari tarekat Isma’iliyyah, Ja’fariyyah, Dasukiyah, Rifa’iyyah, ‘Azmeyyah, Syadziliyyah, dan berbagai macam kelompok tarekat lain yang diakui oleh pemerintah Mesir. Para jama’ah nampak bersiap-siap tanpa sedetikpun terhenti melafalkan Sholawat Nabi. Pengikut tarekat di Mesir jumlahnya sangat banyak. Yang paling populer adalah Rifa’iyyah dan Syadziliyyah.
Terminal Darrasah merupakan titik pertemuan para jama’ah tarekat dan ahlu bayt yang akan mengikuti parade Maulid Nabi, dan berujung di Masjid Husein. Tidak ada perbedaan mencolok bagi para pengikut beberapa tarekat di Mesir. Ada kaum elit, pedagang sayur, ulama, politikus, wartawan, pelajar dan lain sebagainya. Lintas profesi.
**
Di sudut lain, lantunan sholawat, pujian, suara lirih ayat Al-Qur’an menggema menyusup hingga ke sekat-sekat ruangan dan ke menara Masjid. Suara yang seakan-akan terpantul begitu saja oleh dinding batu yang menjadi pembatas ruwaq-ruwaq di Masjid Al-Azhar. Keramaian di sekitar pelataran dan jalan depan masjid berubah menjadi keheningan yang hanya menyisakan suara-suara lirih para pelajar Al-Azhar yang sedang menghafal Al-Qur’an dan suara deru mesin vacume kepunyaan ammu Ahmad.
Ya, ammu Ahmad, begitu kami memanggilnya. Beliau adalah petugas kebersihan masjid Al-Azhar yang acapkali bersua dan bergurau dengan kami. Baju berwarna oranye, lengkap dengan alat kebersihan seperti vacum, kain pel, dan kupluk putihnya, seakan menjadi penanda bagi beberapa jamaah untuk sejenak beralih posisi dan berpindah tempat agar ammu Ahmad dapat dengan mudah menjalankan tugasnya. Di sela-sela jam sholat, baik di pagi, siang dan sore hari, kemunculan sosok ammu Ahmad seolah ingin menegaskan bahwa masjid ini akan selalu gemilang dan terawat meski umurnya sudah mencapai seribu tahun.
Tepat di ruangan paling ujung, berdekatan dengan tempat sholat bagi jamaah perempuan, adalah dimana saya bersama beberapa kawan seringkali menepi untuk sejenak menikmati suasana masjid yang damai dan tenang. Mendaras, mengaji, mengkaji, membaca, atau sekedar melepas penat setelah seharian berkutat dengan aktifitas sebagai mahasiswa. Kunjungan beberapa wisatawan tak henti-hentinya memadati pelataran masjid, juga suara jepretan kamera yang seolah menembus semua keheningan dari segala sudut masjid. Berikut para pemandu yang menjelaskan segala detail tentang sejarah, struktur bangunan, dan juga beragam arsitektur khas masing-masing dinasti yang pernah berkuasa di Mesir.
Perlahan, saya ikut mendengarkan penjelasan mereka, memadukan dengan beberapa bacaan tentang seluk beluk masjid Al-Azhar. Kami berceloteh sekenanya, merapal beberapa penggalan ayat, sambil menunggu giliran untuk masuk ke ruangan Syeikh Abdullah untuk melakukan setoran atau tahsin Al-Qur’an.
Konsentrasi kami tiba-tiba terganggu, ketika ada sepasang suami istri mendatangi kami yang sebelumnya mereka nampak menghampiri tiap pelajar yang sedang menghafal di sepanjang pinggiran sahn atau pelataran masjid. Wanita paruh baya ini, dengan segala keingintahuannya, terlihat dari pertama kali dia memandang kami dan berada diantara keraguan dan penasaran, akhirnya dengan santun memberikan salam. Dengan mengenakan baju casual warna putih tulang, lengkap dengan kerudung satin bercorak oranye, dia duduk kebetulan berdampingan dengan saya.
“Assalamu’alikum”. Where are you from?”.
Begitu kira-kira sapaan awal perempuan ini dengan senyuman yang hangat.
“Wa’alaikum Salam”. Kami dari Indonesia”. Sahut kami tak kalah ramah.
“Indonesian people are great. I love them. Are you student here in Al-Azhar? Which part of Indonesia are you coming from? Java, Sumatra, Bandung, Bali?”.
Sederetan pertanyaan panjang seketika menghampiri kami. Kali ini, suasana lebih akrab dan dekat. Kami serasa sudah kenal sebelumnya, dan dipertemukan kembali sore itu. Nada bicaranya halus. Orangnya ramah, dan sederhana. Ia begitu akrab dengan nama Indonesia. Entahlah, saya juga kurang tau pasti kenapa perempuan paruh baya ini begitu antusias dengan nama Indonesia hingga di akhir percakapan kami.
Saat itu saya yang cukup banyak berbincang dengannya. Bukan, bukan karena apa-apa, hanya saja teman sejawat saya ketika itu harus susah payah untuk ngobrol dengan bahasa Inggris. Jadi saya yang didapuk untuk meladeni obrolan dengan pasangan warga negara Jerman ini. Yah, meskipun tidak begitu menguasai, namun kalau hanya obrolan ringan bisalah saya mengikuti dan berbincang dengan bahasa Inggris.
Tak lebih dari tiga puluh menit, mereka berpamitan. Sembari meminta nomer telfon saya agar hubungan kami tetap berjalan. Benar saja, malam harinya ia kembali menghubungi lewat pesan singkat yang isinya kira-kira begini,
“Apakah kamu bisa menemani kami esok hari untuk mengunjungi kampus Al-Azhar dan sekitarnya? Besok kita ketemu di depan Masjid Azhar jam sembilan pagi. Kami akan senang sekali jika kamu bisa menemani kami. Sampai jumpa esok !”.
***
Leave a Reply