Wajah keberagamaan atau keberislaman kita dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir mengalami pasang surut dengan dipenuhi kekhawatiran dan kegelisahan. Hal ini dapat dibuktikan dalam realitas sosial masyarakat kita sehari-hari yang justru jauh dari idealitas agama (Islam). Dimana masih ada sebagian masyarakat kita (umat Muslim) yang gemar melakukan tindak kekerasan, perilaku intoleran, diskriminasi hingga aksi radikalisme-terorisme dengan mengatasnamakan agama.
Model ber-Islam demikian akan membawa kita pada suatu kesimpulan – sejauh menyangkut internal umat beragama – bahwa kita merasa telah menjadi orang beragama, akan tetapi belum merasakan nikmat dan manisnya agama. Dengan kalimat lain, kita baru mengenal agama (Islam) hanya sebagai identitas. Tidak mengherankan jika Abdul Karim Soroush seorang cendekiawan Muslim asal Iran membuat analisa dalam karyanya Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, yakni salah satu penyakit teoretis terberat umat Islam adalah bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas daripada sebagai kebenaran.
Inilah yang saya sebut sebagai fenomena “Islam identitas”. Yakni suatu model keberislaman yang cenderung pada identity oriented (mengedepankan identitas) daripada mengamalkan ajaran Islam secara bersungguh-sungguh. Alih-alih mengklaim telah menjadi orang beragama dengan menjalankan seluruh ajaran-ajarannya, justru dalam praktiknya seringkali bertentangan dengan ajaran-ajaran luhur dari agama Islam itu sendiri. Tak ayal, apabila masih ada orang yang menaruh kecurigaan terhadap Islam dengan menganggap bahwa Islam adalah agama teroris, agama yang senang akan tindak kekerasan dan pandangan miring lainnya.
Fenomena munculnya “Islam identitas” ini dalam realitas sosial masyarakat kita sebenarnya bukan perkara yang terbilang anyar. Jauh sebelum Abdul Karim Soroush menggulirkan hasil analisanya terhadap “wajah keberislaman” umat beragama melalui karyanya itu, Nabi Muhammad terlebih dahulu telah mengingatkan kepada kita semua (umat Muslim) ihwal kemunculannya melalui salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi, bahwa;
“Umat manusia akan sampai pada satu zaman dimana Islam hanya tinggal namanya, Al-Quran hanya tinggal tulisannya, masjid-masjid begitu megah namun jauh dari petunjuk, ulamanya termasuk manusia paling jelek yang berada di bawah langit, karena dari mereka timbul beberapa fitnah dan akan kembali kepadanya.”
Hadis ini hendak bermaksud untuk menyatakan kepada kita bahwa ajaran Islam tetaplah sempurna nan abadi, namun ajarannya nyaris tak dipraktikkan dan hanya dimonopoli namanya saja. Ada banyak orang yang mengatasnamakan Islam demi meraup keuntungan semata. Dan banyak pula orang mengatasnamakan Islam untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok yang, sebenarnya sama sekali tidak mencerminkan bahkan jauh sekali dari nilai-nilai luhur ajaran Islam.
Namun demikian, perlu ditegaskan saya tak bermaksud untuk mengatakan bahwa kita (umat Muslim) tidak memerlukan identitas. Akan tetapi Islam jangan dipilih hanya karena kepentingan identitas semata. Sebab, dengan menjadikan identitas di atas segalanya sama artinya dengan menjadikan organisasi agama (Organized Religion) sebagai sesuatu hal paling esensial atau tujuan utama yang perlu diperjuangkan.
Terlepas dari “perlu tidaknya sebuah identitas” bagi umat Muslim, yang pasti, bahwa munculnya wajah keberagamaan atau keberislaman seperti di atas pada gilirannya akan membawa dampak cukup signifikan terhadap kehidupan sosial umat manusia. Salah satunya dapat menghambat upaya dialog peradaban diantara umat manusia. Hal ini disebabkan karena, Islam identitas cenderung melakukan konfrontasi dengan peradaban lain, khususnya Barat seperti yang kerap dilakukan oleh gerakan kelompok “Islam militan” dapat dibaca sebagai contoh produk pikiran “Islam identitas”.
Padahal, belum tentu produk dari peradaban Barat tidak mengandung kebenaran. Artinya, jika dalam peradaban Barat mengandung kebenaran, maka – seperti yang dikatakan filsuf Islam tersohor asal Andalusia, Ibnu Rusyd, bahwa “kebenaran tidak mungkin berkonfrontasi atau berseteru dengan kebenaran lain”. Kebenaran, demikian Ibnu Rusyd mesti kita terima dan hargai walaupun berasal dari luar Islam selama kebenaran dari produk Barat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran luhur Islam itu sendiri.
Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengonter laju gerakan Islam identitas ini adalah dengan memosisikan Islam sebagai “agama kebenaran”. Yakni suatu model ber-Islam yang secara terbuka menerima akan setiap kebenaran. Apalagi, kearifan global menghendaki terjadinya komunikasi yang tulus. Yaitu komunikasi yang oleh filsuf kontemporer asal Jerman, Jurgen Habermas disebut sebagai komunikasi interaktif; tidak ada hegemoni dan dominasi dari pelbagai pihak.
Ala kulli hal, dengan menjadikan Islam sebagai “agama kebenaran” fenomena munculnya gerakan Islam identitas yang banyak dikeluhkan kaum beragama dan umat manusia secara umum karena aksinya tersebut dapat diminimalisir – jika tidak bisa dihilangkan secara total. Juga, dialog peradaban diantara umat manusia akan terealisasi serta konsep Islam rahmatan lil alamin pun tetap bisa dirasakan oleh seluruh makhluk di muka bumi ini. Wallahu A’lam
**
Leave a Reply