,

Membangun Rumah Tangga dengan Prinsip Kesalingan

/
/

Kesalingan dalam Rumah Tangga

Judul buku: Perempuan (bukan) Makhluk Domestik, Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir, Penerbit: Afkaruna, Tebal Buku:178 Halaman, Tahun Terbit: 2022, Peresensi: Fathur Roziqin

Neswa.id- Beban nafkah rumah tangga bukan kewajiban mutlak sepihak, melainkan kedua belah pihak. Beban domestik rumah tangga bukan kewajiban mutlak sepihak, melainkan kedua belah pihak. Begitu pun juga mengurus anak bukan kewajiban mutlak sepihak, melainkan kedua belah pihak. Artinya, dari semua tanggung jawab rumah tangga, suami istri memiliki peran kesalingan dalam membangun keluarga yang harmonis nan bahagia.  

Teori kesalingan (mubādalah) ini digagas oleh Kang Faqih dalam melihat persoalan-persoalan (ke)agama(an) yang berdimensi relasi sosial. Yakni pada pemaknaan teks (agama) yang berisi relasi kedua belah pihak, baik laki-laki dan perempuan, penguasa dan rakyat, suami dan istri, anak dan orangtua, dst.

Perspektif kesalingan (mubādalah) menawarkan visi rahmatan li al-‘alamin dan akhlaq karimah dalam kerja-kerja interpretasi teks agama; di dalamnya terdapat prinsip kesalingan dan keadilan. Artinya, teks agama dilihat sebagai pesan Ilahi untuk mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaan dan kerahmatan semesta.

Kita akan lihat cara kerja pendekatan kesalingan (mubādalah) ini untuk memecahkan persoalan beban nafkah rumah tangga, beban domestik rumah tangga, dan juga mengurus anak (seperti disinggung di paragraf pertama).

Mencari Nafkah dan Mengasuh Anak

Dalam bukunya, Perempuan (bukan) Makhluk Domestik, Kang Faqih mengatakan bahwa setiap kebaikan adalah mulia. Setiap kebaikan mulia karena ia tidak terikat oleh jenis kelamin. Ia bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa keterikatan jenis kelamin apa pun; karena pada dasarnya, setiap kebaikan adalah mulia dan agama merestuinya.

Mengasuh anak dan mencari nafkah dalam menghidupi keluarga adalah suatu kebaikan mulia yang menjadi tanggung jawab bersama suami istri; tidak hanya satu pihak, melainkan kedua belah pihak. Hal ini berdasarkan norma-norma dalam Islam mengenai prinsip normatif pengasuhan dan mencari nafkah, baik di dalam al-Qur’an maupun Hadis, yang berlaku pada kedua pihak, baik laki-laki dan perempuan.

Memang, selama ini, pemahaman umum menganggap bahwa kewajiban nafkah adalah tanggung jawab suami, sementara kewajiban mengurus anak bahkan pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab istri. Tapi, benarkah demikian agama mengajarkan? Kita tunda dulu jawabannya.

Tentu, tidak salah dengan pandangan demikian, namun, implikasi cara berpikir demikian berkemungkinan besar apa yang kini banyak terjadi adalah persoalan anggapan bahwa istri hanya punya kesempatan peran sebagai ibu rumah tangga saja, tak lebih sekadar “macak”, “manak”, “masak”.

Bukankah slogan-slogan demikian tak asing telinga kita dengar? Bukankah cara berpikir demikian telah banyak mendiskreditkan peran perempuan di ruang publik? Tidak bisakah kita menganggap bahwa perempuan juga memiliki hak berkontribusi kebaikan sebagaimana berkontribusinya banyak lelaki di ruang publik ini?

Oleh karena itu, nampaknya, spirit penting dalam pendekatan kesalingan (mubādalah) membuka peluang kepada siapa pun, entah suami maupun istri, untuk sama-sama memikul beban keluarga sebagai ladang kebaikan bersama, memikul beban memakmurkan bumi sebagai amal kebaikannya, dengan kesetiaan dan kesalingan serta kerahmatan di dalamnya.

Kita kutip kalimat menarik Kang Faqih ketika ia membahas pernikahan tersebut:

“… ketika laki-laki dan perempuan memutuskan untuk menikah, idealnya mangasuh anak dan mencari nafkah menjadi tanggung jawab bersama. Tanggung jawab bersama ini bukan berarti keduanya harus selalu bersama dengan intensitas dan kualitas yang sama untuk mengasuh dan mencari nafkah. Namun, menjadi komitmen dan perhatian suami istri yang praktiknya bisa disesuaikan dengan kapasitas, kondisi, kesempatan, dan kesepakatan.”

Dan jika keduanya saling memahami satu sama lain, apa kelebihan dan kekurangannya, nampaknya tanggung jawab bersama, sebagai tantangan rumah tangga tersebut, jauh lebih mampu dikomunikasikan dengan perspektif kesalingan tersebut, misalnya pembagian peran kerja rumah tangga tersebut.

Kita lanjut pada dimensi persoalan lain yang disorot oleh Kang Faqih mengenai beban domestik rumah tangga. Apakah pekerjaan rumah tangga merupakan kewajiban mutlak istri?

Beban Domestik Rumah Tangga

Jika pertanyaan itu kita ajukan kepada Kang Faqih maka jawabannya adalah “tidak”. Dan ia dengan baik menguraikan alasannya.

Kita lihat terlebih dahulu ketika Kang Faqih mendefinisikan kerja domestik sebagai aktivitas yang dilakukan di dalam rumah untuk kepentingan keluarga seperti membersihkan rumah, mencuci baju, memasak, menjaga, menemani, dan mendidik anak, dst.

Artinya, dalam pengertian ini, seluruh anggota keluarga yang tinggal di dalamnya memiliki peran yang sama dan patut sama-sama berkontribusi dalam kebaikan atas pekerjaan tersebut. Demikian Islam bagi Kang Faqih bahwa agama mengakui hak tanggung jawab bersama sebagai bagian kemitraan pasangan suami istri dalam berkeluarga (musyārakah).

Untuk menguatkan argumentasinya, Kang Faqih menurunkan kerja-kerja domestik ini, baik sebagai istri, ibu, atau pun anak, laki-laki maupun perempuan, juga sebagai suami, ayah, berdasarkan 7 nilai-nilai yang dicanangkan Islam itu sendiri: soal keesaan Tuhan yang patut disembah, bukan menyembah selainnya, soal mandat manusia sebagai khalifah di muka bumi, soal amal shaleh sebagai bekal manusia menghadap Tuhan, soal kesalingan berbuat baik dan berbuat adil kepada sessama manusia, soal ketenagan dan kebahagian sebagai tujuan membangun rumah tangga, dan soal tolong menolong dalam banyak hal kebaikan.

Dan pondasi paling sahih berkaitan dengan tanggung jawab bersama dalam membangun keluarga harmonis adalah teladan Nabi Muhammad sebagai kerja kebaikan di dalam rumah tangga. Kita lihat Kang Faqih mengutib sebuah Hadis dalam kitab Sahih al-Bukhari nomor hadis 680.

“Dari Aswad berkata: Aku bertanya kepada Sayidah Aisyah r.a tentang apa yang dilakukan Nabi Saw., ketika berada di dalam rumah. Aisyah r.a menjawab: “Nabi Saw., melakukan kerja-kerja pelayanan keluarga ketika berada di dalam rumah. Jika datang waktu shalat, Nabi Saw., akan keluar rumah menunaikan shalat.”

Ini Hadis pertama yang dikutip oleh Kang Faqih. Selanjutnya Hadis lain yang dijadikan sandaran sebagai penguat argumentasinya di dalam kitab Musnad Ahmad.

“Dari Urwah bin Zubair bercerita, ada seseorang yang bertanya kepada Aisyah r.a: “Apakah Rasulullah mengejarkan sesuatu ketika berada di dalam rumah? Aisyah r.a menjawab: “Ya, Rasulullah Saw., biasa menambal sandal, menjahid baju, dan mengerjakan pekerjaan rumah sebagaimana ketika seseorang berada di rumahnya masing-masing.”

Kita jadi berpikir. Berpikir menuntut kita berlaku adil. Barangkali cara pandang demikianlah yang patut kita renungkan atas kesalahan-kesalahan kita dalam memandang perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga saja. Pantaskah kita selalu berpikir dan memperlakukan perempuan hanya terbatas pada pekerjaan “macak”, “manak”, “masak” saja? Pikiran sehat menuntut hati nurani berlaku adil. Wallahu A’lam. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *