Judul Buku : Sejarah Lengkap Wahabi
Penulis : Nur Kholik Ridwan
Penerbit : IRCiSoD
Tebal : 834
Tahun : 2020
ISBN : 978-623-7378-36-5
Konteks dan Relevansi
Hari ini kita sedang menyaksikan semangat keberislaman yang amat tinggi dari umat Islam. Tidak hanya Muslim urban tapi juga pedesaan. Semangat tersebut tentu harus diapresiasi sebagai upaya meningkatnya religiusitas umat Islam. Masak orang mau berbuat lebih baik dilarang, kan yaa tidak begitu. Namun upaya “memperbaiki diri”-atau istilah kerennya kita sebut “hijrah” sering kali tidak dibarengi dengan ngaji yang tenanan kepada seseorang yang mempunyai otoritas keilmuan dan akhlak yang mulia tentunya. Ditambah lagi hari ini ketika internet dan penerbitan buku berkembang secara pesat, kajian agama dapat diakses dengan mudah dan cepat. Model kelompok inilah yang dikhawatirkan terpengaruh oleh gagasan Wahabisme.
Di Indonesia sendiri gejala menarik tersebut sudah muncul, bahkan belakangan sudah menjadi trend. Muslim yang terpapar gagasan Wahabisme terlalu latah menyuarakan TBC (takhayul, bid’ah, khurafat) bahkan sampai pada tingkatan mengkafirkan sesama Muslim dikarenakan pemahaman terhadap agama yang masih setengah-setengah.
Di tengah situasi yang seperti ini dibutuhkan terobosan pemikiran bahkan sampai pada tataran paradigmatik-dalam artian mampu meng-counter cara pandang yang eksklusif untuk menggairahkan kembali spirit Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Hari ini kita membutuhkan konstruksi sekaligus rekonstruksi baik pada aspek vertikal terkait hubungan kita dan pertanggungjawaban atas keberagamaan kita terhadap Sang Pemberi Rahmah maupun aspek horizontal terkait hubungan sesama kelompok masyarakat dalam lingkungan multikultur.
Berada pada track tersebut, buku yang ditulis Nur Kholik Ridwan ini meneguhkan landasan teologis, historis, serta filosofis sebagai upaya mengenal Wahabi secara kritis dan komprehensif. Kontribusi buku ini terletak pada penguatan paradigma teologis, historis dan geopolitik yang menyertai gerakan Wahabi melalui data berbasis literatur dari pembela, pengkritik bahkan pendapat-pendapat yang netral terhadap Wahabi. Melihat Wahabi tidak bisa dipandang dari satu aspek, melainkan seluruh aspek yang berhubungan dengan Wahhabi. Di sinilah Nur Kholik Ridwan mengurai Wahabi mulai dari Muhammad bin Abdul Wahab; konservatif; tekstual; eksklusif; berkolaborasi dengan Arab Saudi; konsep-konsep thagut, bid’ah, tauhid ala Wahabi; ekspansi Wahabi ke seluruh dunia; dan tentu saja pergolakannya di Indonesia.
Buku ini kiranya menyentuh beberapa elemen fundamental tersebut. Nur Kholik Ridwan mengajak kita agar menyingkap jati diri Wahabi dari cara pandangnya yang sampai saat ini sudah mengalami banyak pergeseran dari Wahabi awal. Selain itu, sebenarnya penulis menawarkan gagasan kritis dan kontekstual sebagaimana tampak dalam pembahasan tentang menjamurnya web-blog bergagasan Wahabi untuk menyebarkan wacana, ideologi, dan gerakannya (hlm. 27) sehingga diharapkan bangsa Indonesia serius membendung arus kelompok-kelompok tersebut di mana pengaruhnya membawa terhadap tindakan radikalisme, dengan menghalalkan kekerasan dalam Islam. Sebagaimana pendekatan pemikir kontekstualis kontemporer, semisal Abdullah Saeed, Nur Kholik Ridwan mengajak pembaca tidak hanya berorientasi pada “legal-minded” dalam spirit sosial-keagamaan, melainkan lebih menekankan pada moral dan etika.
Tentu saja, setiap karya tidak lahir dalam ruang hampa. Ia lahir dari konteks ruang historis tertentu. Begitu pula buku ini lahir dari konteks Nur Kholik Ridwan seorang cendekiawan NU, di mana menyemai dan menebarkan Islam rahmatan lil ‘alamin adalah salah satu bagian dari tanggungjawabnya. Terobosan-terobosan progresif dalam buku ini kiranya juga tidak dapat dilepaskan dari jejak aktivisme yang digeluti penulisnya di lingkungan pergerakan NU.
Kritik Atas Cara Pandang Konservatif dan Tekstual
Setiap kelompok tentu memiliki pendapat, pandangan dan interpretasi agama yang beragam. Namun cara pandang yang monolitik dan tidak menginginkan hadirnya kelompok lain tentu merupakan ancaman heterogenitas dalam kehidupan. Jika pandangan ini dibiarkan subur, maka tidak dapat dipungikiri akan terobjektivikasi menjadi diskriminasi dan sikap radikal. Kasus yang banyak terjadi di antaranya terorisme. Dalam banyak aspek, buku ini mengkritik atas cara pandang konservatif sekaligus memberikan perspektif yang inklusif dalam memaknai agama.
Secara epistemologis, buku ini mengandung kritik yang signifikan terhadap pemahaman keagamaan yang dianut oleh Wahabi, di antaranya kecenderungan kuat konservatisme, baik yang tampak nyata dalam praktik-praktik dan kebijakan keagamaan mereka, maupun secara laten tertanam dalam suasana mental pengikutnya. Padahal mentalitas yang konservatif secara tidak sadar menghasilkan sikap pasif yang turut membiarkan dan bahkan mengafirmasi lahirnya kekerasan pada kelompok di luar mereka. Inilah salah satu yang menjadi kegelisahan penulis dalam bukunya, yakni kuatnya konservatisme adalah efek dari menginterpretasikan agama secara tidak tepat.
Sementara mengenai kritikan atas cara pandang tekstual ditekankan oleh penulis dalam aspek yang berlandaskan dengan teologi. Wahabi cenderung memaknai ayat Al-Qur’an dan hadis secara leterlek. Begitu juga dalam menafsirkan Al-Qur’an yang cenderung menafsirkan makna lahirnya saja (hlm. 590). Ironisnya cara pandang dan teknis menafsirkan model tekstual ini tidak hanya berhenti pada kitab-kitab karya tokoh-tokoh mereka. Namun juga sudah menyebar di media baru seperti web-blog.
Sebagaimana pemikir kontekstual, Abdullah Saeed (2016), cara pandang tekstual harus diubah sepenuhnya karena ajaran Al-Qur’an tidak bisa hanya dipandang dari teks saja. Pendekatan tekstual sangat bergantung pada makna literal ayat khususnya yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum. Namun dalam semua variannya, pendekatan tekstual gagal memberikan makna utuh atas ayat-ayat tertentu yang ditafsirkan. Hal ini sebagaimana Wahhabi kental dengan paham taybih dan tajmin dalam memahami nash-nash tentang sifat Allah (hlm. 594-595).
Selain ayat-ayat Al-Qur’an, lagi-lagi kelompok Wahabi memaknai secara literal hadis tentang bid’ah dan taghut. Dalam kritik atas cara pandang tekstual ini, penulis membuka wawasan pembaca bahwa cara pandang kita terhadap teks akan berpengaruh pada cara berislam kita. Gagasan-gagasan Nur Kholik Ridwan khususnya ketika menunjukkan konsep-konsep bid’ah yang diterapkan dalam ahlussunah wal jama’ah (non-Wahhabi) bahwa ia menunjukkan bagaimana kegelisahan seorang cendekiawan NU dalam melihat perkembangan kaum Muslim abad ini.
Penulis juga melihat adanya gelombang Muslim yang cenderung memotong arus untuk mendapatkan pemahaman yang komperhensif namun nyatanya gagal. Selain itu, penulis juga menawarkan bahwa pendekatan kontekstual untuk menafsirkan Al-Qur’an dan memaknai hadis sangatlah diperlukan karena memberikan sumbagsih agar ayat-ayat Al-Qur’an dapat menjadi perspektif untuk membedah problem kontemporer umat manusia, khususnya di tengah keberagaman.
Kritik Atas Inkonsistensi Konsep Bid’ah dan Konsep-Konsep Lainnya
Dalam peperangan kita kenal strategi. Strategi inilah rumus yang dihimpun dari segala aspek dan sudut pandang. Untuk memperoleh data terkait musuh maka sudah barang tentu kita harus memiliki semacam kunci untuk dapat mengenali musuh dengan baik. Dalam konteks buku ini, tentu Wahabi secara person bukanlah musuh kita. Namun gagasan ideologinya sebagaimana sudah mafhum adalah musuh kita bersama. Analogi tentang perang tersebut saya kira tepat untuk menggambarkan usaha Nur Kholik Ridwan untuk melawan wacana Wahabi.
Dalam bukunya ia tampilkan inkonsistensi konsep yang bertebaran dalam banyak aspek, seperti konsep tauhid, bid’ah, dan thagut. Selain inkonsistensi, penulis juga menampilkan konsep-konsep yang diusung Wahabi sangat kontradiktif. Konsep tidak dirumuskan secara matang dan terjadi banyak silang pendapat antara sesama pengikutnya, khususnya mengenai konsep bid’ah.
Membaca Wahabi dari Arab Saudi dan Membaca Arab Saudi dari Wahabi
Menurut The Encyclopedia of Religion hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk, yaitu integrated (penyatuan agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara) dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara). Dalam kasus Arab Saudi dan Wahabi keduanya menyatu dan tentu masuk dalam kategori pertama. Selanjutnya, dalam konteks buku ini agama dijadikan sebagai ideologi negara, yaitu yang manifestasinya berbentuk pelaksanaan ajaran agama (syari’ah dalam konteks Islam) secara formal. Namun dalam buku dijelaskan bahwa hukum Islam yang diterapkan bukanlah Islam secara universal, melainkan Islam ala Wahabi. Penjelasan mengenai relasi agama dan negara tersebut dipetakan secara periodik dalam “Bagian 2” (hlm. 241-549).
Manunggaling Wahabi dan Arab Saudi adalah satu kesatuan yang utuh. Wahhabi tak bisa mendunia tanpa Arab Saudi yang mengekspor ideologi tersebut ke seluruh dunia. Begitu juga Arab Saudi tak akan memproklamasikan diri sebagai kerajaan petrodollar tanpa kerja keras dan kerja cerdas (licik tepatnya) dari Muhammad bin Abdul Wahhab. Dalam bukunya Nur Kholik Ridwan secara kronologis memetakan hubungan “dua sejoli” tersebut dengan (lagi) tidak hanya melihat data dari kelompok pro Wahhabi tapi juga dengan yang kontra. Mengadopsi istilah Abed Al-Jabiri tentang Qiratul Quran bi Sirah wa Qiratul Sirah Al-Qur’an, saya menyimpulkan bahwa Nur Kholik Ridwan ingin kita membaca Wahabi dari Arab Saudi serta membaca Arab Saudi dari Wahabi.
Wallau a’lam
Leave a Reply