Judul Buku : Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah
Penulis : K.H. Husein Muhammad
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : September 2020
Tebal : 234 halaman
ISBN : 978-623-6699-00-3
Kesetaraan gender masih menjadi persoalan yang menuai pro dan kontra dalam kehidupan sosial dari masa ke masa. Budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat, melahirkan gerakan-gerakan tertentu dari berbagai kalangan sebagai upaya melawan untuk mengangkat martabat perempuan pada posisi setara dengan laki-laki. Membatasi ruang gerak perempuan dalam setiap dimensi kehidupan, merupakan problem dasar kesetaraan gender yang ternyata masih mengakar kuat di beberapa daerah.
Laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk hidup yang memiliki persamaan dan perbedaan. Dalam pandangan kaum feminis, perbedaan itu tidak bersifat stratified (bertingkat), tetapi equality (sederajat). Hal itu dapat dilihat dari perbedaan fisik dan tabiat yang secara kodrati keduanya memang tidak sama. Ketidaksamaan tersebut tidak dijadikan pemicu lahirnya status sosial yang berjenjang, tetapi diarahkan agar bisa saling melengkapi dan menyempurnakan sebagai sesama manusia yang saling mengisi satu sama lain.
Perempuan sebagaimana juga laki-laki memiliki tanggung jawab sosial yang sama, yaitu amar ma’ruf nahī munkar. Kemampuan seseorang dalam segala bidang keilmuan tidak ditentukan oleh gender tertentu, tetapi sejauhmana kemauan dan keseriusannya dalam menekuni posisinya sebagai ‘abdun dan khalifatullāh fī al-ardh. Karena dalam perspektif historis, tak sedikit ulama laki-laki yang berguru pada ulama perempuan, seperti Ibu Arabi yang menimba ilmu di bawah bimbingan Fatimah binti al-Mutsanna, Imam Syafi’i berguru kepada Sayyidah Nafisah, Aisyah binti asy-Syathi’ yang karya-karyanya banyak diminati oleh ulama kontemporer, laki-laki maupun perempuan, dan masih banyak yang lainnya.
Kata ulama, umumnya ditujukan pada gender laki-laki yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi serta akhlak yang terpuji. Namun secara definitif, kata ulama berarti orang yang mempunyai ilmu. Tidak ada spesifikasi gender, karena mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu mengindikasikan bahwa perempuan juga mempunyai peluang untuk menjadi ulama sebagai pewaris nabi yang mengemban amanah besar terhadap kehidupan umat.
K.H. Husein Muhammad dalam buku ini, membuka cakrawala pembaca untuk mengenal dan memahami peran sentral perempuan ulama dan kiprahnya dalam kehidupan masyarakat. Tidak banyak sejarah yang mencatat kecemerlangan peran perempuan ulama, meski kontribusi mereka cukup besar dalam membangun peradaban hidup manusia. Kualifikasi keilmuan yang mumpuni, sebagaian besar dari mereka mampu melahirkan karya yang dijadikan rujukan dari generasi ke generasi.
Dalam buku ini, penulis memotret tiga puluh perempuan ulama di belahan dunia yang cukup berpengaruh pada masanya. (Lihat hal. 65-189)Mereka memiliki peran signifikan dalam memajukan peradaban keilmuan melalui kegigihan dan perjuangannya yang tak kenal lelah. Sumbangsih pemikiran yang diaktualisasikan lewat karya tulis (kitab/buku) menjadi bukti nyata bahwa tak ada sekat pembeda yang menjadikan perempuan berada di bawah dominasi laki-laki. Meski diakui, dalam kehidupan yang cenderung patriarkat keberadaan perempuan kurang mendapat perhatian serius sehingga nyaris dilupakan sejarah.
Pada dekade 2000-an penelitian tentang ulama perempuan mulai bermunculan, salah satunya Fahmina Institut di Cerebon yang dimotori oleh K.H. Husein Muhammad sendiri dan Faqihuddin Abdul Kodir. Penulis merupakan pejuang keadilan yang secara intens mengkaji persoalan kesetaraan gender sejak dulu sampai sekarang. Selain buku ini, ada beberapa karyanya yang lain yang membahas tentang perempuan dan keadilan gender, di antaranya Fiqih Perempuan: Rekleksi Kiai atas Tafsir Agama dan Gender, Islam Agama Ramah Perempuan, Ijtihad Kiai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender dan lain-lain.
Buku ini bukan sebatas wacana ataupun sekadar informasi saja, tetapi di dalamnya sarat dengan pengalaman penulis dalam melakukan gerakan keadilan bagi perempuan. Di Indonesia, ada beberapa organisasi sosial yang melibatkan sejumlah perempuan, yaitu Fahmina Institut, Perhimpunan Rahima, Alimat, Puan Amal Hayati, Aman Indonesia, dan Rumah Kitab. Penulis juga ikut menghadiri acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada tahun 2017 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Mahasina Bekasi yang dipimpin/diasuh oleh Nyai Badriyah Fayumi, sekaligus selaku ketua pelaksana kongres tersebut.
Kata “Perempuan Ulama” yang dipilih penulis sebagai judul buku ini, merujuk pada semua perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan, baik yang sudah memiliki perspektif keadilan gender atau belum. Penulis mengulas secara apik dan menarik tentang perempuan yang patut menyandang predikat sebagai ulama. Buku yang kaya dengan informasi ini sangat inspiratif mengetuk hati pembaca khusunya perempuan untuk bangkit dan bergerak bersama demi kemaslahatan umat.
Leave a Reply