Neswa.id-Saya masih ingat betul di waktu silam, ada perbedaan kalimat yang dilontarkan oleh ibu kepada saya, anak perempuan dibandingkan kepada Yanto, sepupu lelaki ketika kami bermain bersama. Di waktu yang berbeda, saya jatuh ketika belajar sepeda ontel sehingga menyebabkan telapak tangan saya sedikit luka. Ibu secara gerak cepat, layaknya wonder woman yang bergerak cepat menolong orang lain ketika terjadi masalah, lalu berkata, “cup..cup..cup.. jangan menangis anak cantik,” ucap ibu sambil menggendong saya.
Berbeda kasusnya dengan Yanto, yang tersandung batu. Dengan sikap yang sama yang ditampakkan oleh ibu, kalimatnya berbeda. Begini kata ibu,
“Laki-laki kok menangis, harus kuat dong,” ucapnya sambil menyingkirkan batu.
Dari cerita ini, terdapat perbedaan yang sangat besar antara perilaku kepada laki-laki dan perempuan yang dibentuk sejak kecil. Laki-laki harus kuat, tidak boleh mengeluh dan tidak boleh menangis. Mindset ini dibawa sampai dewasa bahkan sudah tertanam rapi dalam pikiran. Makanya kita selalu mengucilkan apabila melihat cowok menangis ataupun mengeluh. Hal ini karena kontruksi sosial. Maskulinitas laki-laki yang berwujud pengayom, pelindung bahkan perkasa dibentuk oleh sosial, sehingga kita memiliki standart bahwa semua laki-laki di dunia ini harus demikian.
Konsep maskulinitas semacam ini akan membuat laki-laki menutup diri untuk membicarakan perasaan diri sendiri. Padahal ruang dialog untuk menjadi ruang kritis dengan mempertanyakan sisi kelaki-lakian sangat penting. Saya justru bertanya kepada diri sendiri ketika melihat lebih jauh sosok laki-laki siapapun, “Adakah laki-laki yang mempertanyakan mengapa dirinya harus kuat, tidak boleh mengeluh, bahkan tidak diperkenankan untuk menjadi lemah?”
Pertanyaan di atas semacam sebuah kegelisahan kepada saya tentang konsep diri laki-laki yang juga dibentuk oleh sosial. Saya rasa, perjuangan kesetaraan gender bukan hanya tentang menggugat kontruksi sosial berkenaan dengan perempuan saja. Akan tetapi, ruang untuk memberikan dialog kritis terhadap sisi kelelakian harus dilakukan. Sebab hal ini tidak hanya membicarakan konsep perbedaan gender, akan tetapi menggugat kemanusiaan laki-laki.
Donaldson justru mengungkapkan bahwa laki-laki harus menjadi figure pelindung atau pengayom ataupun mengatakan bahwa laki-laki identik dengan rokok, alkohol ataupun kekerasan. Makanya ketika kita dihadapkan dengan laki-laki yang tidak merokok, pikiran kita justru agak aneh karena tidak banyak laki-laki yang tidak merokok dan akan memicingkan mata apabila melihat perempuan yang merokok. Padahal baik laki-laki ataupun perempuan perokok pada dasarnya sama saja. Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut Barker, laki-laki adalah manusia bebas yang pantas melakukan apapun tanpa terbebani oleh norma kepantasan dan kesopanan. Sehingga menjadi sangat wajar apabila perbuatan laki-laki sejahat apapun, dianggap sebagai bentuk sebuah kewajaran.
Melihat pemaknaan yang cukup timpang ini, maka tidak ada masalah dalam relasi pertemanan, persahabatan, atau hubungan dengan lawan jenis, kita mencoba untuk memberikan respect dan pemahaman kepada mereka bahwa, tidak masalah menangis ataupun mengeluh dengan segala hal yang dialami. Sebab itu lumrah dialami sebagai manusia. Bahkan tidak masalah jika seandainya kita menjadi ruang aman bercerita ataupun berbagi. Mengeluh bahkan menangis, tidak menurunkan derajat sebagai laki-laki. Sebab keduanya adalah adalah alamiah yang dimiliki oleh manusia. Menurut saya, memberikan pernyataan semacam itu kepada pasangan sekalipun sangat penting, karena hal itu adalah sebuah upaya awal untuk menciptakan ruang yang sehat bagi satu sama lain, agar saling memiliki pemahaman terhadap perasaan masing-masing.
Leave a Reply