[Berapa postinganmu hari ini?]
[Tiga feed Instagram, enam story, lima post Facebook, dua Reels, dua TikTok]
Demikian percakapan saya dengan seorang teman perempuan, yang bila sedang mengalami banyak permasalahan akan menayangkan banyak hal random di media sosial.
Bercermin pada sikapnya, kini kita tak hanya berkesempatan menerka, tapi juga bisa membaca kondisi seseorang yang berjarak berpuluh ribu kilometer dari lokasi postingan media sosialnya.
Dari postingan tersebut, kita bisa melihat apakah hal yang dikemukakan benar-benar bermanfaat? Apakah ia hanya berbagi link tulisan orang lain yang bahkan isinya tak dibaca serta tak dipahami sendiri olehnya?
Apakah ia mengumpat atau menggalang kebencian teman-teman di media sosial terhadap sesuatu hal? Apakah ia hanya memposting itu untuk menyampaikan sesuatu? Ingin diperhatikan, misalnya. Atau yang lebih ekstrem, hendak test the water, mengetahui bagaimana reaksi netizen atas postingannya.
Penyanyi muda berbakat Billie Eilish pernah berujar, reaksi orang-orang membaca postingan kita bukan menunjukkan mereka peduli, melainkan hanya memuaskan rasa ingin tahu belaka. Karena pada umumnya kebanyakan orang sudah akan langsung menilai sesuatu hanya dengan membaca judul saja, yang kemungkinan besar berupa click bait untuk menaikkan jumlah view pada tulisan, tanpa membaca keseluruhan isinya.
Media yang diakses oleh mereka pun rata-rata bukan yang informatif, dapat diandalkan, atau memiliki validitas yang terpercaya, tetapi didapatkan dari link yang dibagikan olehorang lain tanpa diverifikasi terlebih dulu keabsahannya.
Dua tahun masa pandemi di mana semua lapisan masyarakat banyak yang terisolasi di rumah sembari berupaya ekstra untuk bertahan hidup, tanpa disadari malah mempengaruhi sikap dan perilaku perempuan dalam bermedia sosial.
Dalam Forum Dialog bertema “Perempuan Digital Lindungi Keluarga” yang diselenggarakan Kemkominfo, Selasa (27/4/2021) secara tatap muka dan daring, Komite Edukasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Heni Mulyati mengemukakan, ada kecenderungan perempuan menyebarkan hoaks tanpa memeriksa fakta. Hal ini diasumsikan karena secara emosional, perempuan mudah terusik bila terkait permasalahan mengenai diri dan kehidupannya, kesehatan dan keluarga, dibanding lelaki yang lebih mudah terpancing oleh hoaks dengan isu dentitas, agama, dan kesukuan.
Sasaran penyebaran hoaks memang pada emosi manusia, dan yang rentan dalam hal ini adalah perempuan. Isu permen narkoba, penculikan anak, akan segera disambar oleh kaum perempuan. Belum lagi tentang kasus perselingkuhan atau gosip selebritis terbaru.
Fenomena ini menjadi kian menarik karena berbaur dengan perasaan kurang update atau kini dikenal dengan istilah FOMO-Fear of Missing Out. Contoh sederhana adalah masih mudahnya seorang perempuan merasa ketinggalan info yang baru, seperti berita, tren, dan hal lainnya saat ia berkumpul di arisan.
Rasa takut tertinggal ini mengacu pada persepsi personal bahwa orang lain sudah jauh lebih paham bahkan lebih terdepan dalam informasi, padahal pada kenyataannya apa yang diketahui perempuan lain itu belum tentu sesuai kebenaran faktanya.
Kecenderungan untuk FOMO ini, akhirnya mengesampingkan kesadaran akan pentingnya rekam jejak digital sebagai etalase diri dan pada akhirnya keluarga. Padahal, beberapa tahun belakangan tahap penyeleksian awal kandidat lowongan pekerjaan, lomba, beasiswa, maupun posisi pengurus, banyak yang melalui cara menelusuri akun media sosial ybs untuk melihat dan membaca karakter seseorang dalam berinteraksi dan berperilaku secara santun di dunia maya.
Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa lagi-lagi perempuan yang sering berada dalam situasi FOMO?
Penjelasan Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Sugeng Bahagijo setidaknya menjawab hal ini. Hasil riset INFID menunjukkan sejak awal perempuan kerap terbentur hambatan mental dalam hal penguasaan teknis dan keterampilan teknologi digital. Antara lain adanya pelabelan bahwa TIK adalah ranah laki-laki, perasaan rendah diri, kecemasan terhadap teknologi, dan tidak adanya keberanian untuk bertanya mengenai hal-hal yang terkait dengan TIK.
Perasaan tak percaya diri, lalu gagap akan kemajuan dunia digital dan teknologi yang dimiliki perempuan ini masih menjadi pekerjaan rumah untuk upaya kesetaraan gender, seperti mimpi emansipasi yang digaungkan RA Kartini beberapa dekade yang lalu.
Kesadaran akan penguasaan literasi digital akan berkontribusi baik bagi perempuan, menjadi semakin penting ketika kita menelaah definisi literasi digital menurut UNESCO.
Kemampuan ini sesungguhnya adalah lifeskills yang tidak hanya melibatkan keterampilan dalam menggunakan aneka gawai, tetapi juga proses belajar bersosialisasi karena dunia tak selebar pintu rumah kita saja. Kita diharuskan untuk berpikir kritis, kreatif, dan kompetitif karena persaingan kita tak hanya dengan teman sebangku dalam kelas atau tetangga sebelah.
Literasi digital telah membuka adanya peluang pemberdayaan diri dan cara pembelajaran alternatif bagi perempuan yang kondisinya terbatas pada kemampuan untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.
Dengan menguasai kemampuan literasi digital, kaum perempuan bisa mengakses keterampilan baru secara lebih mudah dan dengan biaya yang terjangkau, mendapatkan berbagai informasi mengenai sumber belajar terkini yang dapat diperoleh dengan cepat melampaui batas perbedaan waktu antar benua, belajar bahasa dan menulis lebih efisien, terampil memilih dan memilah produk sesuai anggaran belanja keluarga, serta memperluas jejaring pertemanan dan kerjasama.
Bukti nyatanya sudah banyak. Semasa pandemi saja, perempuan di banyak keluarga telah menggunakan era digitalisasi ini dengan menjadi motor penggerak UMKM, untuk membiayai operasional keluarga dengan berjualan produk secara online, baik melalui marketplace maupun akun IG dan TikTok miliknya. Beberapa di antaranya juga menyalurkan hobi dengan menulis di platform berbayar, menjadi reseller atau dropshipper, yang terbukti membuat keluarga mereka bertahan bahkan ketika perekonomian nasional sedang lesu.
Tak terhitung juga banyak perempuan yang telah mumpuni mengaplikasikan kemampuan literasi digital mereka menjadi sebuah profesi, yang tentu memberi manfaat bagi orang banyak. Sebut saja Tasya Farasya dan Suhay Salim sebagai beauty influencer. Atau Najwa Shihab dengan narasitv dan Kalis Mardiasih, kini dengan pares.id.
Lalu bentuk pembelajaran dan pengayaan seperti apa yang sekiranya cocok untuk memberdayakan sebagian perempuan yang masih perlu dibimbing dan dilatih dalam literasi digital ini?
Dalam buku “Atribusi Kewargaan Digital dalam Literasi Digital”(2018) oleh Yudha Pradana, empat prinsip dasar Literasi Digital seperti pemahaman, saling ketergantungan, faktor sosial dan kurasi bisa menjadi acuan. Pemahaman, contohnya, didapatkan dengan memberikan pelatihan berupa kiat memahami informasi yang beredar di media, mengenali logical fallacy, hoax, dan hal sejenis, termasuk juga cara mengecek kebenaran faktanya, bagaimana menerapkan konsep saring sebelum sharing, serta mengatur settingan di media sosial masing-masing untuk membatasi diri dari pihak-pihak yang biasa mudah menyampaikan kabar bohong atau provokatif.
Dengan prinsip memulai dari diri sendiri, perempuan bisa belajar bijak menahan diri dengan menyaring dan mewaspadai terlebih dulu apa yang akan disajikan di media sosial pribadi masing-masing.
Tentu dengan kesadaran, kekhilafan sekali saja berbagi link yang ternyata hoaks atau tanpa disadari menggalang ujaran kebencian, kita atau keluarga mungkin kehilangan peluang mendapat kesempatan bekerja, perolehan beasiswa, penghargaan atau apapun yang kita harapkan, hanya karena hasil penelusuran jejak digital yang ternyata kurang baik.
Pada akhirnya, perempuan yang cerdas dalam berliterasi digital, tidak melulu perlu memahami betul update trend kecantikan terkini maupun berita dan gosip para selebritis, apalagi sekadar meneruskan atau berbagi kabar yang diragukan kebenarannya.
Memberdayakan dan memperkaya diri dalam memanfaatkan akses tak terbatas untuk belajar, melakukan pengembangan diri maupun kebermanfaatan bagi orang banyak akan jauh lebih penting dan lebih bernilai, untuk kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Leave a Reply