Mau Dipoligami atau Jadi Kinan?

/
/


Web series Layangan Putus belakangan ini menemani saya mengASIhi Nasya di tengah malam. Saya menyaksikannya sambil sesekali menyeka air mata karena terbawa emosi. Sesekali, saya mencuri pandang ke arah suami sembari berdoa agar ia dijauhkan dari hal-hal jahat seperti di tayangan ini. Terkadang, saat saya meneteskan air mata, Nasya berhenti dan melihat ke arah mata saya, “Apaan sih bunda nangis-nangis sambil lihat hp, malesin banget.” mungkin begitu batinnya.

Selain isu perselingkuhan, isu poligami juga diangkat di dalam series ini. Aris yang kadung berselingkuh dan ketahuan Kinan, sang istri, rupanya tidak mau menceraikan Kinan dan tidak mau juga melepaskan Lydia, selingkuhannya. Aris berniat menikahi Lydia dan meminta Kinan untuk menyetujuinya. Saat Kinan bertanya mengapa Aris selingkuh padahal Aris mengaku sangat mencintainya, jawaban Aris sungguh terkesan egois. “Ya, aku juga nggak minta perasaan ini datang, Kinan. Perasan ini datang sendiri. I don’t know how to stop falling in love. I don’t know how.” Oh, jadi karena nggak bisa menahan perasaan aja nih, Bambang. Terus selingkuh dan mengkhianati kesetiaan gitu ye. Warbiasyah nggak tuh?

Dialog ini mengantarkan ingatan saya pada konten Youtube Narasi Newsroom dengan judul Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar yang dirilis dua bulan yang lalu, dan juga konten VICE Indonesia berjudul Polemik Poligami di Indonesia: Berbagi Surga yang dirilis tiga tahun yang lalu. Di dalam dua konten ini, dijelaskan bahwa alasan si suami melakukan poligami ya karena ‘pengen’. Alasan ini diperkuat dengan pernyataan bahwa lelaki memang memiliki kemungkinan untuk menyukai lebih dari satu wanita, plus dalil agama yang… ah you know lah. Sudah banyak penjelasan tafsirnya, termasuk dari Quraish Shihab (Silakan tonton kontennya Najwa Shihab di segmen Shihab &Shihab dengan judul Pernikahan Dalam Islam: Poligami Dalam Islam (Part 3)).

Dulu sekali, saya pernah kenal dengan beberapa lelaki yang gemar menjadikan isu poligami sebagai bahan candaan. “Kalau nanti aku poligami, gimana?” Lalu, ketika ditanya kenapa mau poligami, jawabannya senada dengan yang di atas, “Ya, karena pengen aja. Rasulullah aja 4.” Pertanyaannya, situ bisa seadil Rasulullah nggak? Kalau kata Quraish Shihab, yang banyak dilupakan dalam pembahasaan mengenai QS. An-Nisa ayat 3 ini adalah bagian terakhirnya, dan juga ayat 129 di surah yang sama yang berbunyi “… kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian… (Silakan cek sendiri untuk versi lengkapnya). Bayangin ya, belum nikah aja, doi udah ngomong soal poligami. Gimana kalau udah nikah? Ibarat kata, satu kue aja belum dibeli, dia sudah berandai-andai mau beli lebih dari satu. Adakah kata lain yang lebih tepat untuk melabelinya selain ‘nafsu’?

Saya ingat bagaimana respon yang saya berikan kepada mereka. Saya tampak marah dan takut. Ya, perempuan kan memang paling takut akan kehilangan. Rupanya, semakin saya takut, semakin mereka membabi buta untuk menggoda saya dengan narasi poligami ini. Kini, saya baru sadar apa penyebabnya: budaya patriarki. Ketakutan ini memuaskan hasrat mereka untuk mendominasi saya sebagai perempuan. Mereka menjadikan narasi poligami untuk menunjukkan ‘power’ atas perempuan. Mereka merasa yakin bahwa mereka cukup kuat untuk menangani lebih dari satu perempuan, baik dari segi perasaan maupun keuangan. Yang terpenting ‘pengen’-nya mereka terpenuhi, perasaan sang istri bisa dibicarakan belakangan. Wow, sungguh terlalu!

Saat saya menikah, seusai ijab qabul, saya menyimak dengan saksama Sigat Ta’liq yang dibacakan dengan suara bergertar oleh lelaki yang baru menghalalkan saya. Coba deh diresapi isinya, sungguh, pernikahan dalam Islam benar-benar menjaga hak perempuan secara lahir maupun batin. Pernikahan ini tidak membiarkan istri terluka dan terlantar. Nah pertanyaannya, kalau suami poligami hanya karena ‘pengen’ atau tidak bisa mengontrol rasa cinta yang datang tiba-tiba, bukankah itu sangat menyakiti sang istri? Apakah itu sesuai dengan komitmen pernikahan tadi?

Saya sadar betul bahwa sebagai istri, kita tidak boleh melarang suami berpoligami. Bahkan, jika memperbolehkan, ganjarannya adalah surga. Surga loh, khan maen! Siapa sih yang nggak mau masuk surga? Tapi, saya juga sadar sepenuhnya bahwa saya tidak akan kuat menjalaninya. Fitrah perempuan adalah pencemburu, dan dimadu pasti rasanya akan sepahit empedu. Jadi, lebih baik saya mencari cara lain saja untuk bisa masuk surga. Di samping itu, dengan logika polos ini, saya meyakini bahwa lelaki yang baik pasti tidak akan membiarkan perempuan yang dicintainya menderita. Ya, dia tidak akan tega untuk berbahagia bersama madunya di atas penderitaan istri pertamanya. Maka, sudah selayaknya dia menjaga nafsu dan pandangan, meski kecenderungannya adalah mendua (bahkan meniga, mengempat, dst).

Anyway, saya tidak menyalahkan lelaki yang berpoligami dengan alasan yang urgen, misalnya untuk menyelamatkan janda atau karena kondisi kesehatan tertentu (tidak bisa punya anak). Saya juga sangat menghormati para istri yang dengan penuh keikhlasan mengizinkan suaminya menikah lagi dan menyimpan rasa perihnya sendiri demi ketaatan terhadap suami. Hanya saja, kita tidak bisa menampik bahwa motif poligami yang marak belakangan ini ya seperti miliknya Aris di Layangan Putus atau yang diutarakan di konten Narasi Newsroomdan VICE Indonesia, kan?

But, then again, sebagai manusia, kita harus sadar bahwa semua hal di dunia ini bisa terjadi. Dan sebagai perempuan, kita harus siap bahwa kelak suami bisa saja berpaling. Si Aris yang tampak sempurna dan setia aja tau-tau bisa selingkuh dan berniat poligami meski nggak jadi. Untungnya, Kinan sebagai perempuan berpendidikan memiliki banyak previlage yang membuatnya bisa survive melawan dan tidak terpuruk saat harus berpisah dengan suaminya. Sekali lagi, semua itu karena dia orang yang BERPENDIDIKAN.

Oleh karena itu, premis “Ngapain sekolah tinggi-tinggi, nanti di dapur juga!” atau “Nggak usah sekolah tinggi-tinggi, nanti lelaki takut mendekati kamu!” dan “Buat apa sih bekerja? Kamu mau menyaingi suami kamu? Emang uang yang dikasih suami nggak cukup?” sudah tidak relevan lagi di era kiwari ini. Hai girls, penting untuk menyadari bahwa kita sekolah dan bekerja bukan untuk orang lain, tetapi untuk diri kita sendiri, sebab at the end of the day, saat pernikahan kita terpuruk, hanya diri sendirilah yang bisa kita andalkan.

Ingat, Kinan bisa menang karena dirinya memiliki harga diri dan martabat. Memang benar, tidak semua perempuan adalah Kinan, tetapi tidak hanya Kinan yang bisa belajar. Di zaman sekarang, akses pengetahuan itu mudah dan banyak sekali. Memperkaya diri dengan harta mungkin membuat harga diri kita menguat, tetapi memperkaya diri dengan pengetahuan jauh lebih bermanfaat. Terus, gimana kalau keduanya? Bagus dong!Kalau ada kesempatan, kenapa tidak?

Wallahua’lam



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *