Neswa.id-Di beberapa akun tiktok, marak sekali sebuah cerita tentang akun-akun yang spill gagal pernikahan lantaran pasangannya ketahuan selingkuh, melakukan kekerasan, tidak menerima dia dengan baik, ataupun karena tidak cocok dengan pasangannya karena alasan yang lain. Terlihat baik-baik saja memang ketika kita menonton video tersebut. Namun, bagaimana kalau itu terjadi pada diri kita sendiri? andai saja menjelang 7 hari pernikahan, ternyata kamu mengetahui pasanganmu selingkuh dengan laki-laki/perempuan lain? menyakitkan bukan? Namun, bukan itu permasalahannya. Mampukah kamu memutuskan membatalkan sebuah pernikahan yang tinggal dilaksanakan?
Tidak banyak orang yang mampu memutuskan untuk membatalkan pernikahan dengan banyak faktor, mulai dari rasa malu, ataupun faktor sosial lain. Bukankah perilaku semacam itu sama terjadi dalam kisah seorang istri yang tidak ingin bercerai dengan suaminya lantaran punya anak, meskipun suaminya selingkuh ataupun sudah melakukan kekerasan dalam rumah tangga? Keluar dari hubungan toxic butuh keberanian, bahkan diri kita sendiri terkadang belum cukup mampu untuk keluar dari circle ini.
Terjebak dalam lingkungan toxic
Bagaimana rasanya terjebak dalam sebuah hubungan yang toxic? Barangkali ini terjadi pada relasi pertemanan, persahabatan, bahkan keluarga? Terdengar klise memang, ketika kita membahas tentang lingkungan yang toxic. Sebab yang menjadi kegelisahan adalah, jangan-jangan diri kita sendiri yang toxic sehingga tidak bisa menerima kehadiran orang lain dalam sebuah hubungan. Namun, kita perlu menyadari bahwa, manusia selain menjadi makhluk sosial, kita juga makhluk individu yang memiliki kebutuhan untuk diri sendiri.
Abraham Maslow pernah membahas tentang kebutuhan manusia. Setidaknya ada beberapa tingkatan dasar kebutuhan manusia yang melekat dalam diri, seperti kebutuhan fisiologis (makan, minum, tempat tinggal), rasa aman, rasa memiliki dan kasih sayang, penghargaan diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Membaca Abraham Maslow, kita seperti diajak untuk refleksi dalam sebuah hubungan yang sedang kita bangun atau sedang kita miliki.
Kita akan merasa tidak nyaman bersama dengan orang yang egois, mementingkan diri sendiri, tidak mendukung satu sama lain, bahkan sikap superior dengan merasa dirinya lebih daripada orang lain. Dalam hubungan yang cukup private, seperti pasangan, misalnya. Tentu kita akan nyaman dengan hubungan yang saling menghargai satu sama lain, saling mendukung, ataupun saling belajar untuk tumbuh bersama. Untuk menciptakan ini, kesadaran harus dimiliki oleh setiap individu dengan melihat kebutuhan dasar dari diri sendiri.
Artinya, saya akan menghargai orang lain karena secara naluriah, saya butuh dihargai oleh orang lain. Saya akan mendukung penuh teman saya untuk berkembang dengan pilihan sesuai minatnya, karena saya juga butuh support system yang demikian. Hal ini bukan berarti saya tidak boleh mengkritik. Sebab kritik dan saran itu harus ada dalam sebuah hubungan untuk berbagi pandangan satu sama lain. Demikianlah rumus hubungan apabila mengacu kepada kebutuhan dasar manusia.
Namun, mampukah semua orang memiliki perspektif demikian? Buktinya, banyak kekerasan berbasis gender dialami oleh perempuan terjadi di sekitar kita. Menurut data dari KemenPPPA, hingga Oktober 2022, ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, sebanyak 16.745 korbannya adalah perempuan. Perilaku KDRT ini merupakan bukti sebuah hubungan yang toxic.
Bagaimana kalau kamu di posisi tersebut? mengalami kekerasan, diskriminasi dalam hubungan yang sudah bangun? Tidak banyak orang yang akan mengambil keputusan keluar dari hubungan yang toxic. Keluar dari hubungan semacam ini butuh keberanian. Konsekuensinya bisa dikucilkan dan diasingkan. Hanya orang yang kuatlah yang mampu keluar dari lingkungan racun semacam itu. Apapun bentuk konsekuensi itu, kita memiliki hak untuk hidup seperti apapun. (IM)
Leave a Reply