,

Logika Guru (digugu lan ditiru)

/
/


Sebelum mulai mengaji kitab saya membiasakan anak-anak berkenalan dulu dengan muallif-nya, berharap batin mereka tersambung dengan muallif (penulis) kitab. Tentu itu akan menambah kekhusyuan mereka dalam mengaji dan mengkaji. Bukankah tidak kenal maka tak sayang? Dan malam ini saya memperkenalkan Syekh Hasyim Asy’ari al-Jumbani.

Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, etika seorang yang berilmu dan yang mencari ilmu. Orang yang berilmu (‘alim) sering diidentikkan dengan guru, sedangkan pencari ilmu adalah murid (muta’allim) meski pada hakikatnya tidak semua guru memiliki ilmu dan pencari ilmu tidak melulu seorang murid.

Yang pertama sering saya lihat pada “guru” yang hanya masuk kelas, mengisi absen guru, memberi tugas, tanpa mentransfer ilmu dan adab sama sekali pada murid-muridnya. Syukur jika tidak mengajari keburukan. Semoga saja spesies semacam itu lekas punah. Barangkali inilah penyebab malpraktek dalam dunia pendidikan kita. Sementara yang kedua menganggap bahwa mencari ilmu tidak berbatas usia, dialah yang mengamalkan hadis Nabi Uthlubi al-‘Ilma min al-Mahdi ila al-Lahdi, carilah ilmu sejak dalam buaian sampai –sebelum- masuk liang lahat.

Di halaman awal kitab Syekh Hasyim Asy’ari ini ada pesan dari Ruwaim RA kepada anaknya “Wahai anakku, jadikan ilmumu seperti garam dan adabmu adalah tepungnya”. Saya langsung terbayang otĕ-otĕ (di daerah lain ada yang menyebutnya hongkong atau bakwan), jumlah tepung jauh lebih banyak dari pada garamnya. Maka adab/etika harus lebih tampak dari pada ilmu sebab tingkah laku lebih dipandang dan diikuti oleh anak didiknya dari pada nasihat yang diucapkan.

Kiai Afifuddin Muhajir pengampu Usul Fikih Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo mendefinisikan ulama sebagai orang yang memadukan antara keilmuan yang mendalam dan ketakwaan (man jama’a bainal fiqh wal khasyah). Sementara takwa adalah mengerjakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangannya (imtişālu awāmirillahi wa ijtinābu nawāhīhi), beretika luhur termasuk dalam perintah takwa ini. Seseorang yang hanya memiliki salah satunya, pengetahuan yang mendalam tanpa takwa atau ketakwaan tanpa pengetahuan yang mendalam maka bukan ulama.

Seorang alim lumrahnya dijadikan guru karena seyogyanya ia menyalurkan pengetahuannya ke orang lain. Tapi faktanya murid tidak hanya mengambil pengetahuan dari gurunya melainkan tingkah laku dan sikap guru juga menjadi perhatian tersendiri bagi sang murid. Oleh karenanya dalam jargon Jawa ada istilah GURU itu digugu lan ditiru, seorang guru sepatutnya dipercaya, dipatuhi, diikuti dan diteladani karena guru merupakan penyambung lidah pengetahuan dan suluk yang menyambungkan generasi akhir ke generasi awal.

Namun saya jadi ngeri pada orang-orang yang kini diberi sebutan guru tapi tidak bisa digugu dan ditiru, mengingat beberapa pekan terakhir ada sejumlah kasus kekerasan seksual (KS) yang dilakukan oleh seorang pendidik (dosen, guru, ustad), sudah tentu mereka tidak termasuk dalam kategori guru alih-alih seorang‘ālim/ulama. Entah dari pengetahuan yang dimiliki saya tidak pernah mewawancarainya tapi yang pasti ia tidak memiliki khasyah (ketakwaan) dengan demikian secara otomatis mereka (para pelaku kekerasan seksual) tidak patut untuk digugu dan ditiru apalagi berharap berkah darinya.

Jadi teringat pertimbangan dulu masuk pondok, salah satu hal yang sangat penting ditelusuri adalah siapa kiainya, bagaimana manhaj-nya, bagaimana track record-nya selama ini di masyarakat. Dari pimpinannya bisa diketahui kebijakan suatu lembaga, apakah orientasinya kepemimpinan, kebahasaan, hafalan, pemahaman kitab kuning atau justru ketidak-jelasan.

Analisis semacam ini menjadi sangat urgent untuk menentukan piilihan siapa gerangan yg akan dijadikan guru baginya atau bagi anak-anaknya. Jangan sampai memilih lembaga pendidikan karena pembayaran bulanan murah, gratis seragam dan seluruh kebutuhan sekolah, metode cepat menghafal Alquran dalam beberapa bulan atau iming-iming lain tanpa mempertimbangkan hal apa yang akan didapatkan dari lembaga itu. Ilmu tidak didapat malah mendapatkan kekerasan  dan pelecehan, na’ūdzubillah.

Betul kata Lies Marcoes “logika yang tidak benar berakibat pada sikap yang keliru. Anggapan atau pembenaran bahwa suami merupakan kepala keluarga sering meleset dimaknai sebagai penguasa keluarga. Perkawinan yang tidak sehat akan berkembang ke arah relasi kuasa berbasis status gender yang sangat berpotensi menindas”.

Begitupun dengan relasi kuasa guru dan murid. Anggapan bahwa ketundukan pada guru, menirunya dan meneladaninya atau dalam bahasa pesantren ngalap berkah pada guru jangan sampai dipelesetkan menjadi guru berhak menjadi penguasa apalagi predator seksual.

Akhir kata saya ingin mengutip hadis lā ṯā’ata li makhlūqin fī ma’siyati al-khāliq “Tidak ada kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Pencipta” apapun alasannya dan apapun relasinya,, kekerasan seksual adalah maksiat yang tidak bisa dibenarkan.

Wallahu a‘lam



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *