Little Orient

/
/

Little Orient

Neswa.id-Miniatur Istanbul. Begitu orang-orang kerapkali menyebut daerah ini. Gerai-gerai bertuliskan aksara Turki, Arab, juga Afrika saya jumpai hampir disetiap sudut jalan. Selain warga negara maupun pendatang keturunan Turki, Kreuzberg,  dikenal sebagai pusat tempat tinggal warga keturunan Arab, Afrika Utara maupun Afrika Tengah.

Di tempat ini, saya seakan berada di sebuah kampung global. Berbagai warna kulit, identitas dan bahasa bercampur menjadi satu. Tak satupun mendominasi yang lain. Gadis-gadis berjilbab, jumlahnya tak terhitung lagi. Kreuzberg, menjadi wajah Berlin yang baru. Sebuah kota yang menjadi simbol dimana multikulturalisme menjadi bagian dari masyarakat Jerman secara keseluruhan hari ini.

Selain Kreuzberg, Wedding sebuah distrik yang berada di Berlin Mitte, dan Neuköln, menjadi pusat berkumpulnya masyarakat Muslim Berlin yang populasinya mencapai 9%. Sekitar 70% nya, didominasi oleh warga keturunan Turki, selebihnya merupakan keturunan Bosnia-Herzegovina dan Afrika Utara. Tak heran, Berlin kemudian menjadi kota yang memiliki populasi keturunan Turki terbesar di luar negara Turki. Pantas saja jika kawasan ini oleh beberapa pelancong dijuluki sebagai little orient.

Dahulunya, kawasan ini merupakan tempat pemukiman penduduk miskin, kira-kira tahun 70-an. Hingga saat ini, Kreuzberg masih dikategorikan sebagai kawasan dengan angka pengangguran tertinggi di Berlin. Tercatat dari 31,6% penduduknya bukan merupakan warga negara Jerman. Imigran keturunan Turki merupakan pemukim terbesar di daerah ini, selain dari Arab, dan keturunan Afrika Amerika (African American).

Keluar dari subway Schönleinstr, gerai-gerai bertuliskan bahasa Turki dan Arab menyapa saya. Dari penjaja kebutuhan rumah tangga lengkap, sampai penjual jasa baik dokter maupun tiket pesawat. Tertulis di depan gerai tersebut minimal tiga, atau dua bahasa. Yang satu bahasa Jerman, dan bahasa lokal (Arab atau Turki). Gadis-gadis berjilbab sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Saya merasa menemukan teman seperjuangan. Maklum, di tempat saya tinggal saya hanya menemukan beberapa gelintir saja wanita yang berjilbab.

Kebetulan juga sore itu ramai sekali. Ternyata pusat keramaian terdapat beberapa meter saja dari subway tersebut. Yaitu, pasar Turki. Nampak beberapa orang berlalu-lalang sambil membawa tas-tas besar berisi sayur mayur dan buah-buahan segar. Tak ketinggalan, saya pun langsung terbirit-birit memasuki pasar dan mulai membidik beberapa sayuran berharga miring.

Pasar ini penuh dengan berbagai macam manusia. Dari yang anak-anak, remaja, kakek dan nenek tua sampai bayi. Tidak hanya penduduk Jerman dan Turki, saya juga mendapati beberapa warga negara asing yang entah dari mana, karena saya tidak mengenal bahasa mereka, juga ikut menikmati suasana pasar yang hingar-bingar layaknya sebuah diskotik.

“Drei kilo Eine Euro, Drei kilo Eine Euro !”.

“Tiga kilo satu Euro, tiga kilo satu Euro !”.

Bapak-bapak berparas Turki saling berlomba-lomba paduan suara untuk menarik pembeli. Berteriak hebat seolah-olah para pembeli berada di seberang jalan. Padahal hanya berjarak satu bahkan dua langkah kaki saja. Buah jeruk segar hanya dipatok harga satu euro untuk tiga kilo. Murah !

Biasanya kami menyebut pasar ini dengan pasar Turki. Karena mayoritas penjualnya orang Turki, juga barang dagangannya diimpor dari Turki. Pasar Turki dikenal dengan harganya yang miring. Jauh berbeda jika kita belanja ke pasar-pasar traditional milik orang Jerman. Di Berlin, terdapat dua pasar Turki. Yang satu terdapat di daerah Leopolplatz, yang satu lagi di daerah ini, Kreuzberg. Dua kawasan itu merupakan pusat komunitas Turki di Berlin.

Apa yang tidak ada di pasar ini. Semuanya komplit. Dari sayur, buah, ikan segar, kain, baju sampai pernak-pernik rumah tangga lainnya. Mau makanan yang belum jadi sampai yang sudah jadi, semuanya ada. Dari Doner Kebab, Lahmacun, Crepes, Falafil khas Arab sampai Currywurst khas Jerman. Di pasar inilah multikulturalisme benar-benar ada. Tidak ada perdebatan agama, atau ras. Yang ada hanya perdebatan harga tomat atau cabai.

Saya mulai menyusuri kios-kios yang berjejer panjang sampai ujung gang. Setelah beberapa kali mampir ke kios buah, mata saya tertuju kepada toko kecil penjaja jilbab Turki. Toko itu diberi nama Istanbul Boutique. Ah, kebetulan saya lagi mengidamkan jilbab Turki. Modelnya elegan. Saya pun langsung bergegas masuk dan berbelanja.

***

Jerman merupakan negara dengan komunitas Turki terbesar diluar negara asalnya. Usut punya usut, hubungan antara Turki dan Jerman tercatat sejak ratusan tahun lalu, ketika kekuasaan Otoman mulai ekspansi ke kawasan Eropa. Gelombang imigrasi besar-besaran terjadi paska PD II, ketika Jerman melakukan pembangunan skala masif dan membutuhkan ribuan pekerja. Saat itulah, pemerintah Turki dan Jerman sepakat untuk mengirimkan beberapa pekerja yang biasa disebut sebagai ‘guest worker’.

Pada tahun 1961, jumlah ‘guest worker’ dari Turki maupun negara Arab lainnya semakin tak terbendung. Mereka mengikutsertakan keluarga dan anak-anak yang setiap tahunnya berkembang dan terus menerus menambah keturunan. Dibawah pemerintahan kanselir Helmut Schmidt tepatnya tahun 1965, dikeluarkan undang-undang “foreigner law” atas status mereka.  Perekrutan pekerja dari Turki seketika diberhentikan, dan pemerintah akan memberikan suntikan dana bagi mereka yang ingin kembali pulang ke negara asalnya.

Selain itu, pemerintah Jerman juga memberikan kuota bagi mereka yang ingin berpindah kewarganegaraan. Setiap tahun-nya, terdapat ratusan ribu pekerja Turki yang mendaftar untuk menjadi warga Jerman. Maka tak heran, jika saat ini banyak sekali keturunan Turki yang berwarganegara Jerman. Rata-rata mereka merupakan generasi ke tiga dari ‘guest worker’ ini.

Belum lagi imigran dari Syria yang akhir-akhir ini mulai membanjiri Jerman. Tak hanya Syria, kedatangan para asylum seeker juga teridentifikasi dari negara-negara konflik lainnya, beberapa diantaranya dari Afghanistan, Afrika Utara dan Eropa Timur. Jadilah wajah Berlin semakin beragam, karena para pendatang ini datang dengan identitas yang melekat pada dirinya, termasuk kultur dan agama.

Perkenalan warga Jerman dengan komunitas Muslim kian tak berbatas. Paling tidak saya melihat ratusan restauran dengan label halal berceceran di pinggir jalan. Masjid juga semakin merajalela seiring dengan permintaan komunitas muslim dari latar belakang beragam sebagai wadah mereka untuk beribadah. Rata-rata masjid di Jerman masih berupa gedung-gedung minimalis. Biasanya terletak di lantai bawah sebuah apartemen. Di Berlin sendiri terdapat empat masjid dengan ukuran besar, salah satunya adalah Şehitlik Mosque yang mirip seperti Blue Mosque yang ada di Istanbul.

Persinggungan saya dengan berbagai muslim yang mempunyai latar belakang berbeda tentu menumbuhkan kesan tersendiri. Seperti ketika beberapa tahun lalu saya mulai memahami kultur Muslim di Mesir. Muslim Jerman mempunyai karakter khas Turki. Festival dan acara keagamaan kental dengan nuansa Turki. Bahkan bahasa Turki menjadi bahasa kedua di Jerman. Paling tidak, saya melihatnya dari iklan-iklan yang tersebar di sudut-sudut jalan dan beberapa acara di televisi.

Di daerah Kreuzberg ini, saya benar-benar seperti berada di Istanbul. Meskipun hanya miniaturnya.

Wajah keberagaman yang berbeda saya temukan di kota ini. Dulu, ketika di Kairo, perjumpaan dengan mereka yang berbeda hanya sebatas lintas madzhab dan tradisi. Kami bertemu sebagai sesama Muslim. Yang berbeda, adalah bagaimana mereka memahaminya, meresapi dan kemudian menjalankan ajaran-ajaran dalam tradisi Islam yang kaya khazanah. (IM)


Maria Fauzi Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *