Cerpen: Artie Ahmad
Di dapur rumah, pagi belum benar-benar datang ketika ibu akan tenggelam di balik rutinitas menanak nasi dan sibuk meracik sayur mayur. Lengking jerit teko berisi air mendidih akan meningkahi bunyi pisau yang beradu dengan talenan. Lalu bunyi kucuran air akan membuat semerbak aroma kopi, menguar menjalar masuk ke kamar tidurku yang bersebelahan tepat di dapur ibu. Selama berpuluh tahun menjadi anaknya, begitulah yang dikerjakan ibu saban pagi.
Dapur tak ubahnya tempat ibu untuk menghabiskan waktu, selain setiap sudut rumah yang selalu ia sapu dan bersihkan. Debu bagi ibu adalah musuh utama. Tak boleh ada setitik debu pun menempel di furnitur rumah. Vas kembang akan senantiasa mengkilap dengan bunga yang akan diganti saban hari.
“Apa ibu tidak lelah?” tanyaku satu hari ketika libur kerja.
“Tidak. Ibu tidak pernah lelah,” sahut ibu sembari memotong ujung tangkai bunga krisan.
“Seharusnya ibu banyak rehat. Biar kubantu membereskan rumah,” aku menyahut lagi sembari memandang berkeliling, mengamati keadaan rumah. Semua sudah rapi, bersih, dan tertata. Sedangkan aku baru saja kembali dari olahraga pagi.
“Sudah ibu kerjakan semuanya. Kau mandilah, sebentar lagi kita makan siang.”
Ibu memang seperti itu, selalu bekerja dengan cepat dan sigap. Tak lebih dari tiga jam aku olahraga di luar, keadaan rumah sudah demikian rapi. Selain keadaan dalam rumah, kebun di samping rumah pun tak luput dari perhatian ibu. Alih-alih serupa kebun yang dirimbuni pohon-pohon rambutan, kebun ibu menyilih serupa taman lantaran selalu disapu dan dibersihkan.
Cerita tentang masa lalu ibu tak ubahnya sebuah dongeng. Ia selalu menceritakan kisah hidupnya selayaknya seorang pendongeng yang mengulang cerita pengantar tidur. Ibu masih teramat kecil ketika ia harus kehilangan ibunya. Di usia yang belum lagi remaja, ibu harus menjadi seorang piatu.
“Nenekmu tidak sakit keras. Siang itu dia masih sehat, masih bisa pergi ke pasar dan membawa segala macam panganan untuk oleh-oleh, tetapi ketika malam tiba-tiba ia mengeluh sakit perut. Kakekmu melumuri perut nenek dengan minyak angin, tapi ajal tampaknya terburu-buru datang. Hanya sekian menit setelahnya nenekmu sudah pergi untuk selama-lamanya.” Ibu bercerita dengan suara perlahan. Mengingat suatu kehilangan tak ubahnya mengorek duka yang sulit hilang.
Setelah kematian ibunya, ibu yang piatu mendapatkan ibu baru. Tapi layaknya dongeng, kesetiaan ibu sambung itu tak didapatkannya. Ibu terlunta-lunta, sekolahnya harus berhenti bahkan sebelum menginjak kelas dua SMP. Di usianya yang masih belia, ibu kemudian lebih mengenal segala macam urusan dapur dan rumah tangga. Di usia tujuh belas tahun ibu dipersunting ayah. Seorang pemuda yang baru saja mendapat pekerjaan sebagai pegawai kontrak di sebuah perusahaan kecil. Kehidupan baru dimulai, ritme hidup yang naik-turun dijalani ibu sejak belia sampai saat ini. Namun semua itu tak pernah ia sesali.
Ada waktu terkadang aku bermimpi ketika tidur bahwa ibu menjadi perempuan yang lebih merdeka. Mendapatkan cita yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Tetapi itu hanya mimpiku, ibu selalu merdeka dengan segala macam pekerjaannya. Setidaknya itu yang selalu diucapkan, terlebih saat kami sekeluarga duduk melingkari meja makan.
Bagi kami masakan ibu adalah citarasa terenak di dunia ini. Tak ada yang bisa menandingi ikan mujair bumbu kuning buatannya. Perkedel kentang yang gurih dan pulen selalu menjadi primadona di meja makan. Ayah selalu memberikan puji-pujian setelah menyuap beberapa sendok makanan ibu. Teman baik ibu di dapur tak lain memang ayah. Pagi benar ayah sudah menunggui ibu memasak sembari menyeruput kopi panas. Sore hari pun begitu, ayah akan menunggui ibu di dapur ketika menyiapkan masakan untuk makan malam. Siang hari kami semua memang tidak makan di rumah. Aku dan kedua kakakku akan memilih makan di luar sejak zaman kami masih duduk di bangku sekolah. Sekolah kami selalu sampai sore hari, terlebih setelah kami semua sudah bekerja, maka makan siang pun jauh lebih jarang di rumah. Meski begitu, sebisa dapat kami menyempatkan makan masakan ibu saban pagi dan malam.
ooOoo
Tapi semua berubah, ketika satu hari yang dipayungi mendung kami semua harus kehilangan ayah. Lelaki yang demikian perhatian dan penyayang itu harus pergi lantaran angin duduk. Dukacita yang demikian mendadak, menggetarkan hati kami semua. Ibu tampak sangat berduka, air matanya mengalir diam-diam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Kehilangan ayah dengan tiba-tiba semacam itu mengingatkannya tatkala harus kehilangan ibunya dulu, yang juga pergi secara tiba-tiba tanpa memberikan pertanda atau ucapan perpisahan dan semacamnya.
Selepas kepergian ayah, ada yang berbeda di meja makan. Masakan ibu tak seperti biasanya. Ada kala masakan ibu terasa hambar, ada waktu masakan ibu terasa demikian asin, bahkan terlalu manis atau masam. Awal semua itu, kami menganggap mungkin ibu masih berduka, namun lepas empat puluh hari kematian ayah dan setelahnya, masakan ibu tetap tak seperti biasanya. Kedua kakakku tak tahan duduk berlama-lama di meja makan, hari-hari berikutnya mereka kerap jujur tak ingin makan masakan ibu. Mereka memilih memasak mie instan atau memesan makanan dari restoran. Tak bisa lagi mereka bersabar dihajar rasa makanan yang tak sesuai lidah kami.
“Ibu memasak capcai ini terlalu asin. Rasanya asin sekali sampai tidak kuat untuk memakannya.” Sergah kakak sulungku sembari mendorong piring di depannya. Capcai racikan ibu masih penuh di sana.
Untuk kesekian kali kami urung menghabiskan masakan ibu. Diam-diam aku memilih keluar, mencari coffee shop dan memesan kudapan di sana sembari menyeruput kopi. Kakakku yang kedua, memilih memesan catering dari salah satu kawannya. Selanjutnya hal itulah yang kerap kami lakukan.
Ibu terpuruk di meja makan. Muram ia memandangi masakannya yang tak disentuh anak-anaknya. Selain di coffee shop, untuk makan aku sendiri kerap memilih makan di sebuah restoran Padang yang kemudian menjadi langganan atau memesan makanan lewat aplikasi ojek online. Masakan ibu tak bisa lagi kami nikmati seperti dulu. Tetapi melihat betapa sedihnya ibu hari itu, aku berbicara dengan ibu mengenai sebab apa yang menjadikan masakan ibu teramat menjadi lain. Di meja makan yang masih dipenuhi piring dan mangkuk berisi masakan ibu, kami duduk saling hadap setelah sebelumnya aku menekuri masakan-masakan ibu yang terhantar di meja. Ibu selalu mengatakan bahwa di setiap suap makanan itu memiliki berkat dari Tuhan, tetapi kini makanan itu terhantar begitu saja, diabaikan seisi rumah.
“Sebenarnya apa yang membuat masakan ibu menjadi teramat lain? Apa ibu sangat bersedih kehilangan ayah sampai tak bisa lagi memasak?” aku bertanya dengan suara perlahan. Kujaga betul agar ibu tidak tersinggung lantaran ucapanku.
Ibu mendongak, melihatku dengan nanar. Ada percik kemarahan di kedua matanya, tapi kemudian air mata yang meleleh dari kedua ceruk mata.
“Kalian masih kecil saat itu. Sekitar dua puluh tahun lalu saat ibu sakit lantaran radang berat dan sariawan parah di lidah. Lantaran sakit itu indera perasa ibu terganggu. Lidah milik ibu tak bisa lagi merasakan rasa masakan dengan baik,”
“Tapi ibu selama ayah masih ada, masakan ibu masih enak. Tidak seperti beberapa waktu belakangan ini,”
“Ayahmu yang menjadi pencecap masakan ibu. Dia yang membantu mencicip masakan itu ketika ibu memasak. Ayahmu yang selalu meminjamkan lidahnya untuk menggantikan lidah ibu.”
Aku tertegun. Apa yang diucapkan ibu adalah dongeng baru di telingaku. Dongeng yang lebih menyerupai warta berita. Rupanya, pemilik lidah yang setia mencicip masakan ibu itu milik ayah dan ketika pemilik lidah untuk mencicip masakan-masakan ibu telah pergi, pergi juga citarasa yang selalu dihaturkan ibu untuk satu keluarga di atas meja makan. Aku mencoba mengingat kembali masa di mana ibu sakit parah. Lamat-lamat aku hanya mengingat ibu sakit hampir dua minggu lamanya. Sakit terparah yang dialami ibu, setelahnya aku mengingat bahwa ibu sembuh dan semuanya baik-baik saja. Tak pernah kusangka sakit itu akan merusak indera perasa milik ibu.
“Mulai besok, aku akan bangun pagi-pagi. Ibu bisa kembali lagi melihat kami makan di meja makan ini. Berkat dari masakan ibu tak akan lagi disia-siakan,” perlahan kutepuk punggung tangan ibu. “Lidahku dan lidah ayah tak jauh berbeda. Kami sama-sama cukup pintar merasakan masakan seseorang, terutama masakan ibu.”
Tawa kecil terdengar. Mulai hari itu aku menyediakan lidahku untuk menggantikan lidah ayah dalam mencicip semua masakan yang sedang diramu ibu. Saban pagi, aku yang menggantikan ayah duduk di meja kecil dekat tempat ibu memasak. Dan selalu bersiap dengan sebuah sendok untuk alat mencicip masakan ibu.
Bagiku tak masalah, meminjamkan lidah untuk mengganti indera perasa milik ibu. Menjadikan diriku pengganti ayah yang telah pergi jauh, jauh sekali. Setidaknya, berkat di setiap masakan ibu yang dihaturkan di meja makan akan segera kembali.[]
Yogyakarta, Juli 2020.
[sumber gambar ilustrasi cerpen; google image]
Leave a Reply