Abad 18-19, Lasem menjadi corong candunya Jawa. Dari perdagangan candu, Lasem menjadi kota yang kaya raya. Ramainya jalur perdagangan meninggalkan ragam budaya yang masuk ke Lasem, termasuk komplek pecinan yg terdiri dari ratusan bangunan China, baik dari China Fujian maupun China Hindia. Lasem kemudian mendapat julukan sebagai Tiongkok Kecil.
Konon, ada empat kota besar di Jawa yang memiliki sejumlah permukiman China, yaitu Majapahit, Tuban, Gresik dan Surabaya. Di Tuban sendiri, pusatnya berada di Lasem. Abad 15 di Tuban tercatat ada lebih dari seribu keluarga keturunan China, banyak di antara mereka adalah orang dari Guangdong dan Zangzhou yang bermigrasi dari China dan bermukim di Lasem.
Tuban merupakan pelabuhan utama di Jawa, maka tak heran kota ini menjadi posisi penting dalam operasi Cheng Ho di kepulauan Indonesia. Nama Cheng Ho tentu saja sangat lekat dengan kehadiran dan juga berkembangnya Muslim China madzhab Hanafi di Kepulauan Melayu.
Ekspedisi singkat Cheng Ho di Kepulauan Melayu tidak hanya meningkatkan status sosial orang-orang China Muslim madzhab Hanafi, tetapi juga mendorong lebih banyak lagi orang China untuk memeluk Islam dan menguatkan seluruh jejaring perdagangan regional dan internasional yang didominasi pedagang pedagang Arab, China, India dan Melayu Muslim.
Orang-orang China Muslim di Jawa semasa periode Cheng Ho mengidentifikasi diri sebagai orang Muslim madzhab Hanafi sebagaimana dicatat oleh MASC (The Malay Annals of Semarang and Cirebon). Ini menunjukkan bahwa leluhur dan akar-akar agama mereka berasal dari Hui-Hui Muslim China.
Di bawah pengarahan dan dukungan Cheng Ho, komunitas-komunitas China Muslim ini menyebar pesat di pelabuhan-pelabuhan pesisir Jawa. Namun momentum ini terhenti ketika Cheng Ho wafat pada 1433. Kematiannya juga mengakhiri fase China dari komunitas China Muslim madzhab Hanafi dan dimulainya fase lokalisasi.
Cheng Ho banyak membangun masjid masjid besar di Semarang, Ancol, Lasem, Tuban, Gresik, Cirebon, dll untuk menumbuhkan komunitas-komunitas China madzhab Hanafi di Jawa.
Tuban menjadi kota penting di mana Cheng Ho mengutus salah satu orang kepercayaannya, Haji Gan Eng Chu, yang dipindahkan dari Manila ke Tuban untuk mengawasi komunitas-komunitas China Muslim yang berkembang pesat di Jawa, Kukang (Palembang) dan Sambas.
Menurut catatan sejarah, salah seorang kapten Cheng Ho, BI Nang Un, pindah dari Champa ke Lasem Jawa pada 1413 bersama istrinya Na Li Ni, putranya Bi Nang Na, putrinya Ni Nang Ti, dan kerabat lainnya. Istri dan anak perempuannya konon merintis pembuatan kain batik di Lasem karena mereka memang pembuat kain batik dan berkembang pesat.
Tak heran motif-motif batik China bahkan sampai sekarang mudah ditemui dan cukup populer, seperti burung phoenix, naga, qilin, kupu-kupu, ikan dan flora dan fauna seperti bunga serunai, tumbuhan semak berbunga bagus, dll.
Selain batik, akulturasi budaya yang dinamis juga terjadi di Lasem salah satunya nampak pada bangunan atap rumah berbentuk segitiga, jendela-jendela paladian, dan juga balkon bergaya mediterania abad ke-17. Rancangan rumah yang rumit itu juga berkembang dari konsep rumah tradisional Sino-Jawa.
Salah satu dari peninggalan Tiongkok adalah Roemah Oei dan Klenteng Cu An Kiong. Rumah Oei kini berumur 200 tahun. Nuansa Tiongkok sangat kental dari tata ruang, arsitektur bangunan, hingga ragam dekorasi.
Roemah Oei hampir saja kehilangan identitasnya, hingga masa Gus Dur, ketika kehadiran etnis Tionghoa diakui negara dan mulai mendapat tempat, rumah ini kemudian direnovasi dan dijadikan sebagai cagar budaya sebagai wujud kebhinekaan negara kita yang sangat kaya. Roemah Oei kini terbuka untuk umum, siapapun bisa belajar dari sisa-sisa sejarah di sini.
Rasanya seperti berada di Tiongkok ketika memasuki gerbang kayu besar berwarna coklat dengan huruf China. Labirin kayu dengan berbagai quote ajaran Konghucu menghiasi sudut kamar-kamar kayu Rumah Oei. Display kebaya berumur seratus tahun cukup menyita perhatian saya, juga ragam keramik tiongkok yg dipajang di sebuah meja antik.
Rumah Oei berawal dari Oei Am, pria kelahiran Fujien Tiongkok 1798. Di usianya ke 15 tahun, Oei Am mendarat di Lasem dan setelah bekerja selama 2 tahun ia menikahi gadis Lasem bernama Tjioe Nio, dan pada tahun 1818 ia mendirikan rumah yang tak jauh dari Masjid Akbar Lasem. Selanjutnya rumah ini dihuni oleh beberapa generasi Oie Am.
Leave a Reply