,

Kuliah Ihya’ Tematik Gus Ulil: Sosok Al-Ghazali dan Syarat Belajar Ilmu Debat

/
/

Kuliah Ihya’ Tematik Gus Ulil: Belajar dari Al-Ghazali dan Syarat Belajar Ilmu Debat

Neswa.id-Ilmu kalam dianggap penting (dari dulu hingga sekarang). Karenanya dalam Islam sering terjadi perdebatan ketuhanan seperti sifat dan asma Allah dan lainnya. Inilah yang menjadi perdebatan dan menimbulkan tuduh-menuduh kafir antara kelompok satu dengan lainnya. Atas kejadian inilah, al-Ghazali kemudian menulis kitab Faishal al-Tafriqah. Demikian juga dengan ilmu fikih. Ilmu fikih menjadi perdebatan karena membahas tentang hukum. Dan kita tahu bahwa afat (madharatnya) perdebatan itu sangat banyak.

Pada zaman al-Ghazali, ilmu pengetahuan umat Islam mencapai puncak peradaban (maju dalam segalanya). Semua ilmu sudah matang. Namun, setelahnya ilmu berkembang seperti “syarah” (memberi komentar). Karena sudah matang sekarang ilmu menjadi bahan debat-perdebatan dan mereka berlomba-lomba mencari popularitas (jabatan).

Gus Ulil mengatakan, khalifah dalam pengertian aslinya (masa sahabat yang empat) itu spesifik sekali. Dalam hal ini, mereka jadi kepala negara dan sekaligus kepala agama. Namun, setelahnya terjadi perpecahan. Dari sinilah muncul perkembangan ilmu sebagai alat perdebatan. Begitu ulama muncul sebagai aktor baru, ada jabatan-jabatan menggiurkan yang harus di isi yaitu fungsi keulamaan. Lalu orang berbondong-bondong mencari ilmu untuk mendapatkan jabatan itu. Akhirnya, ilmu sebagai alat untuk menonjolkan diri (tafahur-tabakhil).

Akibat perkembangan politik, terjadi pemisahan kekuasaan politik dan agama. Hal ini, lanjut Gus ulil, meskipun bukan mirip seperti sekularisasi ala Eropa Barat, tetapi ini sekularisasi ala sejarah Islam. Beberapa sarjana modern sudah mengatakan hal ini seperti, Prof Herman Jansen, seorang muslim muallaf yang sangat alim. Menurutnya, bahwa dalam Islam juga ada perkembangan atau proses sekularisasi.

Syahdan, dibagian berikutnya, al-Ghazali menjelaskan syarat-syarat orang boleh belajar ilmu untuk perdebatan. Perlu diketahui, ilmu perdebatan bukan semuanya jelek, dalam hal ini ada situasi di mana ilmu debat boleh di pelajari. Sekurang-kurangnya, al-Ghazali mengklasifikasikan syarat belajar ilmu debat dalam beberapa hal, di antaranya:

Pertama, seseorang tidak boleh mempelajari ilmu perdebatan sementara ada kewajiban agama lebih penting yang harus di kerjakan. Artinya, mereka belum menuntaskan fardhu ain sudah mau belajar sesuatu yang masuk dalam kategori fardhu kifayah. Dalam hal ini, kata al-Ghazali, orang yang belajar ilmu debat, sementara dia punya kewajiban agama yang lebih penting (meninggalkan kewajiban pokok), ia seperti orang yang meninggalkan shalat hanya untuk menenun kain.

Karena itu, ketika si penenun ditanya, kenapa kamu menenun kain? Iya, saya ini menenun kain tujuannya untuk membantu orang supaya shalat bisa menutup auratnya. Jadi pekerjaan yang saya lakukan ini membantu orang shalat. Yang jelas orang semacam ini “pengu” atau tidak mengerti skala prioritas. Jelasnya, fardhu ain harus tuntas baru kemudian belajar fardhu kifayah.

Kedua, seseorang tidak boleh beranggapan bahwa ilmu perdebatan lebih penting dari ilmu lainnya. Itu artinya, seseorang harus punya pandangan bahwa ada sesuatu yang lebih urgen dari ilmu perdebatan. Al-Ghazali dalam hal ini memberikan contoh seperti, ada orang yang kehausan dan hampir mati dan ia tidak menolongnya, justru ia malah pergi untuk belajar ilmu bekam.

Tentunya, dalam kejadian seperti itu, maka prioritas menolong orang lebih penting. Mengingat, hukuk al-adamiyin lebih penting di perhatikan dari pada hukuk al-Allah. Karena sifat adalah Allah al-Taysir (kemudahan).

Ketiga, orang yang mau belajar ilmu debat harus mencapai level mujtahid. Kenapa? Karena seorang mujtahid punya hak dan otoritas untuk merumuskan pendapat sendiri. Sekiranya bukan mujtahid, kata Gus Ulil, maka tak perlu debat-berdebat. Cukup bertanya dan mengikuti kepada mazhabnya.

Keempat, harus memperdebatkan sesuatu yang urgen. Istilahnya, jangan memperdebatkan masalah-masalah al-tubuliyah (masalah populer). Memperdebatkan masalah sesuatu yang populer, ada kemungkinan untuk mencari panggung dan popularitas.

Kelima, jika berdebat untuk mencari kebenaran, maka berdebatlah di ruang tertutup (fi al-halwah). Kenapa? Sekiranya berdebat di ruang publik, otomatis akan muncul kehendak untuk mendapatkan popularitas (pamrih), dan kepentingan mencari kebenaran tersingkirkan. Logikanya, siapapun pasti tidak akan mau kalah dalam berdebat jika di tonton orang banyak, karena yang kalah pasti akan malu.

Keenam, orang yang berdebat tidak boleh menghalangi lawan debatnya untuk pindah dari satu dalil ke dalil lain. Biasanya, etika dalam berdebat, orang sebelum berpindah dalil, maka dalil sebelumnya harus di tuntaskan. Namun berbeda dengan al-Ghazali, orang boleh berdebat dan memberikan kebebasan kepada lawannya untuk pindah dari satu dalil ke dalil berikutnya.

Memang, berpindah-pindah dalil ada kemungkinan untuk lari dari perdebatan. Akan tetapi, kemungkinan juga, berpindah-pindah dalil, karena ada kemungkinan dalil awal salah dan mengharuskan berpindah ke dalil yang kedua (pindah dari kesalahan menuju kebenaran).

Ketujuh, harus berdebat dengan orang yang benar-benar mempunyai ilmu. Artinya, jika seandainya perdebatan dilakukan, akan memperoleh tambahan ilmu. Dengan demikian, seseorang dilarang berdebat dengan orang-orang bodoh karena nantinya akan menimbulkan permusuhan (apalagi tuduh kafir-mengkafirkan). (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *