,

Konstruksi Bias Gender dan Eksistensi Wanita dalam Sepak Bola

/
/

sepak bola

Neswa.id-Pernahkah kalian melihat pertandingan sepak bola yang dimainkan oleh wanita? Bagaimana sensasi melihat sebuah pertandingan yang tidak biasa tersebut? Tidak biasa karena, selama ini konstruksi sepak bola identik dengan permainan laki-laki. Banyak pengamat, praktisi, dan penikmat sepak bola berpendapat bahwa sepak bola yang dimainkan oleh wanita cenderung membosankan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh pria. Argumen ini semakin menguat setelah media juga turut berkontribusi dalam melanggengkannya. Misalnya, media terus menyiarkan sepak bola pria sembari mengeliminasi sepak bola wanita dari ruang publik media. Kerja media semacam ini turut menegaskan bahwa sepak bola merupakan olah raga yang identik dengan pria.

Namun, media tidak sepenuhnya salah dalam hal ini. Isu gender dalam sepak bola bisa dilacak di awal abad ke-20. Pada tahun 1921, Federasi Sepak Bola Inggris (FA) melarang tim wanita bermain sepak bola. FA mengatakan bahwa terlalu banyak uang telah dihabiskan untuk pengeluaran dalam permainan amal yang melibatkan wanita dan pada dasarnya sepak bola “tidak cocok” untuk wanita karena identik dengan permainan yang keras.

Pelarangan oleh FA itu terus ditegakkan secara berkala (terutama pada tahun 1946 dan 1949) sampai akhirnya dibatalkan secara informal setelah Federasi Sepak Bola Dunia, FIFA, melakukan intervensi pada tahun 1969. Meski telah dicabut, larangan tersebut nampak efektif membuat citra sepak bola sebagai olahraga yang maskulin.

Dampak lainnya, misalnya, olahraga pria sering dinormalisasi melalui bahasa seperti sepak bola dengan versi wanita yang selalu dimodifikasi oleh deskripsi gender. Dalam bahasa lain, jika menyebut “sepak bola”, maka ia otomatis akan merujuk pada olah raga bola yang dimainkan oleh pria. Identitas “pria” dalam hal ini menjadi bagian integral dari kata “sepak bola”.

Berbeda dengan wanita. Masyarakat akan menyebutnya dengan “sepak bola wanita” untuk merujuk olah raga bola kaki yang dimainkan oleh wanita. Ia memerlukan deskripsi gender untuk menegaskan definisinya. Artinya, “sepak bola” bukan lagi frase yang bebas nilai, ia dikonstruksi sedemikian rupa sehingga melahirkan persepsi yang bias.

Normalisasi gender melalui bahasa ini bahkan masih berlaku hingga saat ini. FIFA, misalnya, menciptakan FIFA Women World Cup, sebuah turnamen sepak bola terbesar di dunia yang dimainkan oleh wanita. Atau UEFA Women’s Championship, sebuah turnamen sepak bola di Eropa yang dimainkan oleh perempuan. Frase-frase tersebut, di satu sisi, hanya semakin mempertegas konstruksi soal identitas pemain sepak bola.

Terlepas dari normalisasi gender tersebut, kehadiran wanita dalam ranah sepak bola menjadi momentum tersendiri bagi sejarah sepak bola. Pada tahun 1991, Piala Dunia Wanita FIFA diinisiasi, kemudian pada tahun 1996 sepak bola wanita dimasukkan menjadi salah satu olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade.

Namun, keterlibatan ini kembali melahirkan isu. Pada periode 2014-2015, karena semakin masifnya keterlibatan dan ketertarikan perempuan dalam sepak bola, sebagian kalangan rupanya mengalami keresahan. Mereka menganggap perkembangan pemain sepak bola wanita sebagai fenomena “feminisasi sepak bola”. Mereka yang menyuarakan hal ini memiliki prinsip “real footbal is still men’s football”. Konsekuensinya, sepak bola wanita hanyalah permainan bola biasa yang justru berpotensi “merusak” sepak bola.

Namun, persepsi sekelompok orang ini tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan sepak bola wanita di dunia. Trend wanita yang tertarik terhadap sepak bola juga meningkat. Pun, dengan FIFA yang tidak serta merta melakukan pembatasan soal keterlibatan wanita dalam sepak bola.

Tantangan wanita dalam sepak bola tidak hanya berhenti sampai di situ. Seperti yang telah dibincang di awal, media memiliki kontribusi tersendiri dalam membentuk citra wanita dan sepak bola. D. Schaaf, dalam tulisannya Sexualization of Athletes in Media Sport, mengungkapkan bahwa media tidak begitu berminat untuk menayangkan liga atau turnamen sepak bola yang dimainkan wanita. Ditambah lagi, jikapun media menayangkan sepak bola wanita, media cenderung melakukan sexualization, yaitu hanya menyorot para pemain wanita yang “menarik” bagi penonton laki-laki.

Dalam hal ini, kontribusi media sangat signifikan dalam membentuk persepsi penonton terhadap sepak bola wanita. Melalui framing “sexualization” yang dilakukan oleh media, sepak bola berpotensi dipersepsikan sebagai olah raga yang “menggairahkan” para penonton pria, bukan sebagai konten olah raga. Dampaknya, sepak bola wanita tidak lagi dilihat dari aspek strategi permainan, kemampuan olah bola pemain wanita, dan taktik untuk mengalahkan lawan, namun hanya dilihat dari sosok wanitanya saja, dan membuang aspek sepak bolanya.

Dalam bahasa Laura Mulvey, fenomena ini disebut dengan male gaze. Male gaze adalah kondisi di mana perempuan di media dilihat dari sudut pandang laki-laki dan perempuan direpresentasikan sebagai objek pasif dari hasrat laki-laki. Kerja media ini memang tidak terlihat secara eksplisit. Namun, justru disitulah letak konstruksi media bekerja. Audiens laki-laki akan semakin menganggap bahwa tidak ada yang bisa direlasikan antara sepak bola dan wanita.

Meskipun anak perempuan dan perempuan dewasa memiliki kesempatan untuk bermain sepak bola di banyak negara, mereka tidak menerima gengsi dan kebanggaan yang sama seperti halnya para pemain sepak bola laki-laki. Pada akhirnya, kehadiran sepak bola perempuan hanya berada dalam level “ditoleransi”, namun tidak “diapresiasi”. Kasarnya, perempuan dibolehkan bermain sepak bola, namun jangan harap akan mencapai level sepak bola prestisius seperti yang terjadi dalam level pria.

Tulisan ini tidak hendak memupuk benih pesimisme bagi para perempuan yang ingin menjadi pemain sepak bola. Tulisan ini hanya menggambarkan realitas perempuan dan sepak bola dan pola konstruksi gender yang terjadi di dalamnya. Dan pada akhirnya, sepak bola masih dipersepsi sebagai domain laki-laki.

Melihat fenomena di atas, Piala Dunia 2022 Qatar diharapkan bisa menjadi momentum dekonstruksi bias gender terhadap wanita dalam sepak bola, salah satunya melalui keterlibatan wasit perempuan sebagai wasit utama di pertandingan piala dunia. Hal ini dapat membantu menciptakan citra sepak bola menjadi permainan yang layak diakses oleh semua orang, terlepas dari jenis kelamin, usia, kelas, dan etnis. (IM)


Haris Fatwa Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *