Neswa.id-Akhir-akhir ini isu kekerasan seksual menjadi suatu fenomena yang begitu hangat diperbincangkan. Bahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyebut kasus ini sebagai fenomena gunung es. Kekerasan seksual yang terjadi sebenarnya lebih banyak daripada yang telah dilaporkan.
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 oleh Kementerian PPPA bersama Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan fakta bahwa 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik atau seksual baik dilakukan oleh pasangannya maupun orang lain selama hidupnya.
Sedangkan Komnas Perempuan telah menerima sebanyak 4500 laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia terhitung sejak Januari hingga Oktober 2021. Kasus ini bisa terjadi di setiap ruang kehidupan, baik di dalam keluarga, lingkungan kerja, lembaga pemerintah, bahkan lembaga pendidikan sekalipun. Umumnya yang paling banyak menjadi korban kekerasan seksual adalah kaum perempuan dan anak-anak, meskipun kaum pria juga bisa menjadi korban dengan presentasinya yang kecil.
Kekerasan seksual sendiri menurut World Health Organization (WHO) didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh tindakan seksual atau aktivitas lain yang diarahkan pada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban. Kekerasan seksual terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti relasi-kuasa, bias gender, budaya patriarki, minimnya pengetahuan dan moralitas, lemahnya payung hukum, serta kurangnya edukasi tentang seks.
Pendidikan seks sendiri menurut persepsi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah suatu hal yang tabu karena selalu dikaitkan dengan konten dewasa dan pornografi. Padahal jika masyarakat khususnya anak-anak tidak diberi edukasi soal seks yang benar terkait apa yang boleh dan apa yang tidak boleh serta alasannya, justru pelariannya malah ke ranah pornografi untuk menjawab rasa penasaran yang muncul.
Akibat dari kurangnya pendidikan ini dapat memicu naiknya angka penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti HIV/AIDS. Selain itu juga menimbulkan tingginya pergaulan bebas terutama di kota besar, merebaknya pelacuran, hingga banyak remaja yang hamil di luar nikah, bahkan melakukan aborsi. Dalam mengatasi kasus kekerasan seksual, pemerintah Indonesia telah merumuskan sejumlah strategi baik melalui kelembagaan maupun hukum. Adanya Komnas Perempuan, Kementerian Perberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan lembaga maupun komunitas lain yang bergerak pada isu kekerasan seksual merupakan bukti partisipasi pemerintah dan masyarakat dalam merespon kasus ini.
Secara hukum pun seperti yang telah diketahui meliputi UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di masa pandemi ini yang mana kasus kekerasan seksual semakin meningkat akhirnya pemerintah menetapkan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (PKS) ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) pada akhir Maret 2021 meskipun pada awalnya banyak menimbulkan pro dan kontra.
Di samping itu untuk menanggulangi kekerasan seksual di perguruan tinggi menteri pendidikan juga mengeluarkan peraturan yang tertuang dalam Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021. Berbagai aturan tersebut ditetapkan untuk menjamin keadilan bagi penyintas kekerasan seksual di mana sebelumnya selalu menjadi pihak yang dilemahkan.
Meskipun banyak lembaga atau komunitas yang telah didirikan begitu pula peraturan yang dibuat sedemikian rupa, penyintas kekerasan seksual agaknya masih mengalami dinamika yang begitu terjal untuk mencari keadilan. Permasalahan yang muncul di masyarakat menunjukkan bahwa kekerasan seksual telah menjadi culture of silent. Para korban kebanyakan hanya diam karena trauma atau pun takut karena mendapat ancaman dan tekanan.
Hal ini dapat terjadi karena pengaruh relasi kuasa atau terpaut usia di mana pelaku memiliki otoritas yang dominan. Selain itu stigma negatif masyarakat menyebabkan pihak yang bersangkutan tidak nyaman untuk angkat bicara. Di samping itu lambatnya penanganan kekerasan oleh pihak yang berwajib juga membuahkan kekecewaan sehingga korban pun sudah malas untuk bersuara.
Sebut saja kasus Luwu Timur, Sulawesi Selatan tahun 2019 kemarin di mana tiga anak dicabuli oleh ayahnya sendiri. Karena tidak tega, ibunya pun melapor ke polisi, namun nahasnya kasus ini ditutup karena dirasa kurang memiliki bukti yang kuat. Kasus ini pun baru dibuka kembali setelah diviralkan oleh Project Multatuli pada 2021 kemarin melalui media sosial sehingga mendapat atensi dari publik. Lambatnya penanganan pihak kepolisian yang tidak hanya berhenti pada kasus tersebut memunculkan kekecewaan masyarakat sehingga jagat maya pun digegerkan dengan tagar #percumalaporpolisi yang sempat menjadi trending topic kemarin.
Memang untuk mengatasi kasus kekerasan seksual perlu kolaborasi dari berbagai pihak. Mulai dari kalangan akar rumput hingga permukaan perlu menciptakan ruang aman dan nyaman bagi penyintas kekerasan seksual. Penguatan hukum, peningkatan kualitas moral, dan sex education penting untuk diterapkan untuk mengubah pola pikir masyarakat.
Dengan demikian setiap individu pun mengetahui batasan-batasan dalam pergaulan dan mampu meningkatkan kewaspadaan. Selain itu penyintas kekerasan seksual juga merasa aman dan terbebas dari stereotip masyarakat sehingga tercipta keharmonisan dalam aktivitas keseharian. (IM)
Leave a Reply