Neswa.id– Pada Senin (14/4) Salawaktu Movement (kolaborasi anak muda NU dan Muhammadiyah) telah melaksanakan kegiatan bertajuk People Strike for Peace, Women, and Climate Justice. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan ruang perjumpaan antar generasi lintas iman sebagai upaya penyelamatan bumi dan iklim yang berkeadilan gender. Sebelumnya, aksi penyelamatan bumi ini telah dilakukan berkali-kali. Baik melalui aksi di titik nol pada 2019, Virtual Global Climate Strike Conference pada 2020, membuat Global Climate Challenge pada 2021 dan 2022, hingga akhirnya pada tahun 2023 mencoba menekankan nilai perjuangan pada peace, women, and climate justice.
Tema baru yang diusung tidak lain berlandaskan pada konflik kontemporer antar manusia yang seringkali terjadi karena memiliki perbedaan pendapat, etnis, budaya, dan agama, dan kepentingan pribadi. Permasalahan ini pun tidak jauh dikaitkan dengan relasinya dengan alam, di mana mana selalu menjadi korban dari perpecahan manusia. Pengusungan women justice juga masih turut berkaitan dengan alam yang masih didominasi dengan maskulinitas, baik melalui corak maupun prinsip kapitalisme yang menindas, merusak, dan menghancurkan.
People Strike dibuka dengan beberapa sambutan dan menyanyikan bersama lagu We Need to Wake up. Lagu ini dipopulerkan oleh Just Earth dan berisi tentang upaya masyarakat dalam memperjuangkan climate change. Setelah itu baru dilaksanakan stadium general yang awali oleh materi dari Fahmi Saifuddin, pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar. Melalui penjelasannya, Fahmi menyampaikan bahwa kerusakan alam sudah terjadi, bahkan sebelum penciptaan Nabi Adam sebagai manusia pertama. Kerusakan-kerusakan alam yang lain pun terus terjadi, namun masih membuka ruang alam me-reorganisasi dirinya untuk pulih. Sampai akhirnya kerusakan yang terjadi saat ini bisa dibilang parah, karena sifatnya sudah internasional dan tiada ampun.
Fahmi kemudian mencoba mengintegrasikan antara spiritual keagamaan dan alam sebagai upaya penyelamatan lingkungan. Hal ini sempat menjadi kerisauan dari seorang pendeta sekaligus peserta acara bahwa umatnya secara umum lebih tertarik dengan kajian-kajian keagamaan yang memiliki sangkut paut dengan kehidupan pribadinya ketimbang berbicara tentang alam. Fahmi mengakui kesulitan itu, dan ia menganalogikannya dalam hal yang cukup sederhana sebagaimana yang dilakukannya di pesantren, yakni melalui ruang refleksi sederhana terhadap hal-hal di sekitarnya, seperti ketika makan bersama para santri, dan sama-sama sedang berhadapan dengan sepiring nasi, mereka akan diajak untuk berdialog dengan menyebutkan bagaimana makanan dan minuman yang mereka konsumsi berasal.
Pemateri kedua adalah Risma Umar yang merupakan aktivis dari Solidaritas Perempuan Kinasih (SP Kinasih). Tidak jauh seperti Fahmi, Risma menjelaskan bahwa manusia dan alam merupakan dua intentitas yang tidak bisa dipisahkan, sehingga ketika keduanya dipisahkan, maka yang terjadi adalah sebuah kehancuran. Menurutnya, manusia sebagai ciptaan Tuhan memiliki dua tugas penting, yakni kesalehan sosial dengan peduli sesama, dan kesalehan ekologi dengan merawat serta menjaga kehidupan bumi. Kehancuran akan pemisahan manusia dan alam tidak lain disebabkan oleh kepentingan ekonomi pihak-pihak tertentu. Mereka merusak alam dengan semena-mena demi keberlangsungan ekonomi kapitalis yang menekan keberlangsungan hidup masyarakat. Sehingga dikatakan oleh Risma bahwa kerusakan iklim yang terjadi tidak hanya menjadi tanggung jawab, namun juga tanggung gugat kepada pemerintah maupun perusahaan yang memiliki track record menghancurkan alam.
Acara inti dari kegiatan ini dimulai dengan membagi peserta menjadi empat kelas sesuai dengan pilihan pribadi ketika mendaftarkan diri secara daring. Pada sesi satu, kelas pertama membahas tentang Ekoteologi dan Ekofeminisme yang diampu oleh Judith Liem dari SP Kinasih, Ezra Abraham dari KK Shaar Hashamayim Indonesia, Parid Ridwanuddin dari LHKP PP Muhammadiyah, dan Sana Ullaili dari SP Kinasih. Sedangkan kelas kedua membahas Konsepsi dan Praktek Keagamaan di Pesantren untuk keadilan Lingkungan dan Iklim. Kelas ini diampu oleh Fahmi Ahmad Fauzan dari Kader Hijau Muhammadiyah Malang dan Aniati Tokomadoran dari SP Kinasih yang membahas tentang hasil riset dan diseminasi modul “Climate Boarding School”. Presentasi mereka pun mendapatkan beberapa tanggapan dan masukan baik oleh Rita Sumarni dari pengajar Sekolah Katolik Kulonprogo, Tutik dari Karisma, Fauzan Anwar S dari Pesantren Sinar Jaya Sukabumi, dan beberapa peserta umum yang lain.
Sesi kedua turut dibagi dua kelas, yakni: Pertama, membahas tentang Our Life Style is Our Future yang diampu oleh Bukhi Prima Putri, seorang pengamat dan Praktisi Gaya Hidup, Herni Saraswati dari Karisma, Abie Dhimas A. F. dari Kader Hijau Muhammadiyah DIY. Kedua, membahas tentang ‘Alam Kita’ dibawakan oleh perwakilan Wadon Wadas, Viki Arthiando dari WALHI Yogyakarta, Nur Maulida dari SP Kinasih, Andreas Budi Widyanta dari Akademisi UGM, serta Bambang Muryanto dari Multatuli Project. (IM)
Penulis: Firda Rodliyah
Leave a Reply