“Inget, Ra, telur kalau pecah tuh udah gak ada harganya,” ujar ibu yang senantiasa menasehatiku dengan analogi telurnya.
Aku sering sekali mendengar banyak forum yang mengangkat isu tentang mental health sebagai wujud kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap hal tersebut. Seminar, film, diskusi, dan beragam jenis kampanye lainnya untuk menyuarakan isu ini.
Anak muda menjadi salah satu massa yang paling gencar menyuarakan isu kesehatan mental karena kemudahan akses informasi di era ini. Ini kabar baik sebenarnya, akhirnya sekarang sudah banyak orang yang mulai sadar dan berani untuk speak up serta menganggap bahwa kesehatan mental memang diperlukan dan bukan hal tabu yang dikaitkan dengan konotasi negatif seperti pada masa beberapa tahun silam.
Generasi ini kemudian gemar untuk mempelajari hal-hal terkait dengan kesehatan mental, entah karena kesadaran, atau karena keinginan eksistensi agar tidak dianggap ketinggalan jaman. Sering sekali aku mendapati di beberapa postingan yang memuat kata-kata terkait seperti, toxic, inner child, trust issue, dan banyak istilah-istilah baru yang muncul di permukaan. Mungkin muncul katanya sudah lama, namun masifnya penggunaan istilah tersebut marak seiring dengan gencarnya kampanye tantang mental health, tapi sepertinya upaya melek kesehatan mental ini hanya viral di kalangan anak muda.
Generasi Z, okelah, mungkin mereka cukup mumpuni ketika bicara soal mental health. Tapi apa kabar dengan orang tua kita yang mungkin sejak dulu minim mendapatkan informasi seputar mental health. Apa itu mental health? yang mereka tahu ya harus menjadi pribadi yang kuat bagaimana pun keadaannya. Apa itu trust issue, yang mereka tahu ya curigaan.
Pernah suatu ketika, orang tuaku melarang aku untuk pergi main sebab ada lelaki dalam rombongan tersebut. Sebagai anak muda yang merasa “open minded”, aku merasa kesal dengan orang tuaku. Bagaimana mungkin hanya karena ada lelaki dalam rombongan tersebut lantas membuatku dilarang dan membuat bapakku marah cukup besar. Sampai sekarang bahkan masih teringat jelas bagaimana hawa mencekam akibat bapak yang diam setelah kejadian tersebut.
Ketika perang dingin antara aku dan bapak terjadi, ibu datang sebagai penenang. Ia menjelaskan dengan sangat lembut, lagi-lagi dengan petuah bahwa perempuan bak telur yang nilainya akan berkurang apabila retak. Sempat aku kembali kesal karena aku masih belum merasa salah akibat peristiwa itu. Hingga akhirnya ibu cerita,
“Ra, tahu gak, bapak tuh kenapa ngejaga kamu banget dari cowok? Bapak sama ibu tuh khawatir, takutnya kamu seperti Mbak Fulanah –bukan nama asli-. Datang ke perantauan untuk kuliah, ternyata malah gak tuntas akibat hamil di luar nikah”
Duar.
Laksana petir, kalimat itu sukses menamparku. Bukan karena fakta bahwa Mbak Fulanah tidak menyelesaikan kuliah akibat hamilnya, tetapi fakta bahwa selama ini aku terlalu egois. Aku bahkan baru tahu kenapa alasan orang tuaku akhirnya sangat protektif yang merupakan bawaan dari kisah-kisah di sekitar hidupnya sehingga membuatnya seperti itu. Aku berusaha mempelajari mental health, mencoba berkenalan dengan isu itu, ternyata aku justru tidak menerapkannya pada keluargaku.
Dari situ, aku justru menyadari bahwa mungkin saja segala kekhawatiran dan perlakuan orang tua itu bersumber dari segala trauma di masa lalunya, mungkin inner child atau trust issue atau sejenisnya. Ya mungkin itu yang terjadi pada masyarakat muda kebanyakan saat ini.
Kita sibuk mengkaji sana-sini, mengangkat isu tentang mental health dan parenting, eh malah menyalahkan parenting orang tua selama ini tanpa mencari tahu alasan di balik itu. Seolah-olah berlindung pada “mental health” merupakan langkah paling aman.
Jadi, sebelum menyalahkan sistem pola asuh orang tua yang dianggap kolot, ada baiknya kalau kita tahu alasan di baliknya. Untuk kemudian kita komunikasikan dengan orang tua mencari jalan aman versi anak dan orang orang tua, agar anak tetap aktif mengekspresikan bakat dan orang tua tenang dengan keamanan anaknya. Jangan-jangan memang orang tua kita memiliki trauma yang sampai saat ini belum ditangani? Dan yang terpenting, kenali sekaligus pelajari untuk juga diri sendiri untuk tidak menjadi orang tua yang diselimuti trauma.
Leave a Reply