,

Kisah Santri Waria; Digerebek Ormas Radikal Saat Ngaji

/
/

Santri Waria, dari Ngaji hingga digerebek Ormas

Judul buku; Santri Waria Kisah Kehidupan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta, penulis; Masthuriyah Sa’dan, penerbit; DIVA Press, jml. Hlm; 360, ISBN: 978-623-293-078-0

“Kami ini waria, kami tidak bisa disembuhkan karena waria bukan penyakit, waria itu takdir bukan penyakit yang harus disembuhkan” (hlm.48).


Neswa.id-Membaca buku karya Masthuriyah Sa’dan yang berjudul “Santri Waria Kisah Kehidupan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta sungguh telah membawa kesan perjalanan pengetahuan seksualitas yang mendalam, berkecamuk, terharu, jengkel dan marah yang bercampur menjadi satu.


Bagaimana tidak, waria yang berwujud manusia seperti saya, anda dan kita semua sudah terlalu sering menjadi korban “penghakiman” dari pelbagai hal yang tanpa henti. Mulai dari perundungan, pelabelan negatif hingga tidak dipenuhinya hak atas identitas.
Terkesan, negara juga menjadi bagian dari pelaku kekerasan karena tampak melakukan pembiaran ketika pesantren ini digeruduk oleh organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan Islam. Tuduhannya mengerikan, menuduh pesantren sebagai kedok berbuat maksiat.


“Sayangnya buku ini tidak terlalu laku, apa mungkin karena isunya ya”, ungkap Masthuriyah pada suatu waktu ketika berbincang dengan penulis. “Ini cara saya menuangkan ide gagasan lewat tulisan, harapannya agar orang-orang bisa mengerti waria”, Masthuriyah menambahkan dengan wajah penuh optimis.
Ide pendirian ponpes waria pertama kali dikemukakan oleh Maryani setelah mengikuti pengajian di ponpes Al- Fatah Bantul yang dipimpin oleh KH Hamrolie Harun, yang dihadiri lebih kurang 3000 jemaah. Maryani, merupakan satu-satunya waria dalam pengajian tersebut


“Ruang spiritualitas menjadi sangat penting bagi waria karena waria mengalami pengusiran tatkala melakukan shalat di masjid” (halaman 41).

Kedekatan Maryani dan KH Hamrolie karena ada hubungan pertemanan semasa sekolah. Pada 2006, ketika musibah gempa mengguncang Yogyakarta, 15 orang waria menjadi korban meninggal dunia. Dari sinilah KH Hamrolie mengusulkan agar kepada Maryani agar membuka pengajian khusus untuk waria, dengan kegiatan Shalat bersama, membaca kitab suci al-Qur’an dan do’a bersama. 

Ponpes WARIA vis a vis KH Hamrolie.

Banyaknya perhatian di pesantren karena semakin populer membuat pesantren dikunjungi dengan beragama latar tujuan, mulai dari penelitian sampai liputan TV nasional dan Internasional. Konflik terjadi ketika KH Hamrolie menulis menulis di kolom opini Koran Minggu Pagi yang menyebut ingin mengembalikan waria menjadi laki-laki sejati. Tulisan ini tentu saja mengguncang dan “mencabik” nurani santri waria yang hadir secara sukarela di pesantren.


Puncaknya, Maryani yang berpulang pada Maret 2014 bersama beberapa orang mendatangi kantor berita koran tersebut meminta klarifikasi. Awalnya Maryani merasa tidak percaya dengan opini KH. Hamrolie, namun, ketika bagian redaksi menyampaikan jika tulisan yang telah dimuat sesuai dengan permintaan KH Hamrolie, Maryani seolah diam membisu. Pasca insiden di atas, KH Hamrolie menarik diri dari aktivitas pengajian di pesantren. Nahasnya, untung belum dapat diraih malang tidak bisa ditolak karena banyak dari santri waria yang tidak memercayai lagi keberadaan pesantren.
Pasca berpulangnya Maryani, aktifitas pengajian di pesantren. Sejak 2014 hingga sekarang pimpinan pondok pesantren digantikan oleh Shinta Ratri. 


Kegiatan dan konflik
Di buku ini juga diceritakan berbagai aktifitas yang dilakukan waria di pesantren, baik yang sifatnya internal maupun yang di luar pesantren. Mulai dari belajar membaca Iqro’, al-Qur’an, membaca kitab kuning, peningkatan kapasita, khataman Qur’an sampai dengan kegiatan rutin arisan.


Mereka, santri waria juga menyelenggarakan dialog keagamaan dengan Kyai/Nyai atau tokoh agama baik yang Islam maupun non Islam. Mereka juga terlibat dalam   advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah Istimewa Yogyakarta dan kegiatan ziarah ke makam Walisongondan dan Gus Dur. Studi tour ke pesantren-pesantren di nusantara bahkan mereka lalukan 2 kali setahun sebagai sarana refreshing.


Bagi penulis, kejadian paling menyedot energi adalah ketika pondok pesantren waria Al-Fatah digerebek dan disegel oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai Front Jihad Islam (FJI) karena kegiatan di pesantren dianggap melanggar syariat Islam. 


Menurut Masthuriyah, dalam ulasannya menyebut jika kejadian penggrebekan di atas merupakan imbas dari menyebarnya isu LGBT tahun 2015. Konflik bermula ketika rombongan dari fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga mengunjungi ponpes yang akan menyusun proyek penulisan buku “Fiqih Marginal”,  namun dipublikasikan dengan judul “Pesantren Waria akan menyusun fiqih waria” oleh media online panjimas.com. Pemberitaan ini akhirnya menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama FJI.

Adalah KH. Mustofa Bisri atau yang akrab dikenal Gus Mus bahkan mengungkapkan bahwa dalam Islam dikenal “khuntsa” (manusia dengan jenis kelamin ganda). Menurut Masthuriyah, bahkan Gus Mus mempertanyakan keislaman seseorang ketika orang Islam tersebut justru menyalahkan umat Islam yang lain. Selain itu Gus Mus juga menyoroti pemerintah yang seharusnya melindungi rakyatnya. Ketika waria mengalami penindasan dari sekelompok ormas yang mengatas namakan Islam.

Sebagai catatan penutup, saya ingin mengutip pernyataan Masthuriyah Sa’dan dalam halaman epilog yang menyebutkan jika penulisan buku “Santri Waria” merupakan bagian dari ikhtiar menarasikan pengalamannya menemani waria belajar ngaji Al-Qur’an, bukan mengajak waria bertaubat.

Menurut hemat saya buku yang ditulis oleh Masthuriyah Sa’dan ini telah berhasil menghadirkan narasi baru isu waria lengkap kompleksitasnya terutama dalam bidang kebebebasan berekspresi dan beribadah.

Buku ini telah “menusuk” pemahaman sebagian kalangan yang masih menganggap bahwa waria adalah the other (yang lain) atau kerap dimaknai sebagai makhluk liyan hanya karena mereka terjebak dalam tubuhnya. Meminjam istilah KH. Imam Aziz pengasuh ponpes Bumi Cendikia yang menyebut jika waria adalah identitas gender. Atau bahkan menurut Laili Nur Anisah menyatakan jika pesantren Waria merupakan sebuah bentuk perlawanan.

NB: Bagi anda yang ingin memiliki buku ini bisa menghubungi sendiri penulisnya melalui email masthuriyah.sadan@gmail.com. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *