Membaca Hati Suhita, karangan dari novelis perempuan Khilma Anis, memang cukup membawa kesan tersendiri. Sebagai karya sastra pesantren, Suhita hadir dengan membawa perspektif baru khususnya tentang kehidupan perempuan pesantren. Tradisi kehidupan dan romantisme ala pesantren tradisional sangat kental mewarnai tiap adegan dan ketokohan.
Alurnya yang tak begitu rumit, penuh kebaper-an, serta dibumbui dengan unsur-unsur Jawa, membuat novel ini mampu melejit bahkan dicetak sampai 33.000 eksemplar.
Saya teringat, dalam obrolan singkat kami dengan penulis, bahwa tak cukup satu dua orang yang merasa terwakili dengan setiap tokoh dalam novel Suhita. Curhatan tanpa jeda dari puluhan, bahkan ratusan pembaca selalu hadir dalam chat-chat singkat yg ditujukan kepada penulis, pun editor novel. Edisi curhat massal dari para perempuan yang merasa menjadi bagian dari laku kehidupan baik Suhita atau Rengganis, dalam dunia nyata mereka menjadi catatan unik dan cukup menggelikan.
Disinilah salah satu letak kekuatan novel Hati Suhita. Pengalaman perempuan yang dituliskan oleh perempuan bisa dirasa sangat dekat dan intim. Bagaimana perempuan membincang tentang kehidupan seksual, dan sosial masyarakat, disuguhkan dengan tidak mengada-ada. Perempuan dalam pesantren kerapkali dianggap tabu ketika berbicara tentang kehidupan seksualnya. Dalam novel ini, Suhita, berbicara tentang sesuatu yg terkadang dianggap vulgar. Bagaimana dia, sebagai perempuan, juga punya gelora hasrat kepada suaminya Gus Biru yang ditolak begitu saja untuk melakukan hubungan intim. Tentu, ada batas-batas kesusilaan dalam sastra pesantren. Namun menjadi menarik ketika hal tersebut digambarkan secara apik, memikat dan sederhana.
Pernikahan sebagai sebuah perjalanan spiritual menjadi bahasan utama dalam novel ini. Aliena Suhita, seorang istri yang tak pernah digauli suaminya selama 7 bulan, harus tetap berdamai, menelan kepedihan dalam kesendiriannya. Namun dalam diamnya, ia punya keteguhan hati serta keyakinan melalui rangkain sujud, lantunan ayat-ayat Al-Qur’an, berziarah melangitkan doa di makam-makam orang suci, dan juga ragam ajaran Jawa yang terpatri secara teguh dalam hidupnya.
Tradisi khas dari dunia pesantren yang tak hanya menggabungkan nilai-nilai sufistik, namun juga mencerminkan kehidupan moralitas orang Jawa. Disini penulis tidak turut terjebak dalam Islam formalis, namun lebih menekankan kepada cara beragama yang dekat dengan nilai-nilai tradisional. Misal, suatu ketika disaat Suhita benar-benar tak berdaya, ia tidak secara latah merujuk kepada dalil-dalil Al-Quran, ataupun ragam hadist Rosul, melainkan ia selalu teringat akan kisah serta nilai dan ajaran dalam dunia pewayangan yang hakekatnya tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Suhita, dalam perjalanan hidupnya seakan ingin menyatukan ragam identitas, bahwa menjadi perempuan, relijius, dan seorang Jawa tulen tidaklah bertentangan.
Mustika Ampal, Pengabsah Wangsa, Mikul Duwur Mendem Jeru, dan terma-terma Jawa lainnya akan sangat mudah ditemukan dalam bingkaian kata dalam novel Suhita. Tokoh pewayangan, kisah² sastra kuno, dan lokasi pemakaman wali menjadi alur cerita tambahan yang menjadi daya tarik tersendiri. Disaat sastra Islami populer kerapkali menonjolkan setting luar negri dengan gaungnya terhadap glorifikasi peradaban Islam, novel ini memberikan alternatif lain tentang peradaban Islam di nusantara dengan mengangkat situs-situs penting yang jarang diketahui publik, seperti Makam Ki Ageng Hasan Besari, Makam Sunan Tembayat dll.
Satu hal yang paling menonjol dari alur cerita Suhita sebenarnya adalah tentang perjodohan. Perjodohan kerapkali dianggap sebagai pernikahan yang tidak ideal. Ia menjadi antitesa dari pemahaman modern tentang perkawinan yang seharusnya berdasarkan cinta kasih. Dalam novel ini, perjodohan dituturkan dengan apa adanya, tanpa menunjukkan kesan negatif tapi tidak diidealisasikan. Artinya bahwa dalam konsep perkawinan, tidak ada idealisasi tertentu dan pasti bahwa pernikahan yang bahagia harusnya seperti apa. Tentu tidak berhubungan dengan akhir cerita, apakah happy ending atau tidak. Namun lebih dipahami, bahwa pernikahan merupakan perjalanan spiritual tiap individu yang erat kaitannya dengan nilai-nilai, baik spiritual dan keyakinan lainnya yg di pegang dan dipahami secara total. Konsep perjodohan dalam cerita Suhita diangkat sebagai sebuah realita kehidupan romantisme ala pesantren yang memang tumbuh subur dengan berbagai alasan dibaliknya.
Terlepas dari kekurangannya, bahwa Suhita dan Gus Biru digambarkan sebagai profil yang sangat ideal bahkan terlampaui borjuis karena sudah sejak mahasiswa pake Pajero Sport, sepertinya justru lebih realistis dengan hadirnya tokoh Rengganis. Tokoh perempuan kedua yang tak pernah memikirkan dirinya sendiri.
Novel Hati Suhita, menjadi oase di tengah hingar bingarnya media sosial yang tak sehat dan menjenuhkan. Ia hadir di waktu yang tepat, disaat literatur sastra pesantren hari ini membutuhkan penulis yang mengangkat dan mampu memberikan perspektif baru bagi realita dunia perempuan dalam pesantren.
Leave a Reply