Neswa.id-Buku menjadi salah satu benda yang umumnya dimiliki oleh pelajar, akan tetapi meski selalu berhadapan dengan buku tidak semua pelajar suka membaca buku. Saya sendiri seperti itu, sering malas untuk membaca buku, paling-paling kalau buku terpaksa saya baca karena ada tuntutan guru mengerjakan PR, saya sendiri tipe orang yang lebih tertarik mengamati sampul buku atau animasi yang disertakan di dalam buku.
Ketertarikan saya terhadap buku malah baru muncul ketika mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Saya ingat betul waktu itu di Kota Surabaya diadakan event tahunan bazar buku, entah karena terpapar euforia pengunjung lain atau mahasiswa lain yang membeli buku di sana, tapi saya tiba-tiba menyempatkan diri untuk berkunjung ke event tersebut. Kebetulan lokasinya dekat dengan kampus saya dan dekat dengan kos saya.
Awalnya saat akan berkunjung ke sana, saya pikir pasti nantinya cuman lihat-lihat saja, ternyata saya salah entah kenapa saya malah mulai membeli buku. Tapi, jangan berpikir kalau buku yang saya beli berkaitan dengan buku kuliah, itu salah besar. Justru buku yang saya beli adalah buku bacaan ringan soal cerita traveling salah satu orang Indonesia ke beberapa negara di ASEAN.
Keajaiban terjadi justru setelah saya pulang dari event buku tersebut. Kok, tiba-tiba saya merasa bahagia ya saat membeli buku ini? Kok, tiba-tiba saya merasa nggak bosan ya saat membaca buku ini?, batin saya. Setelah itu saya memutuskan untuk kembali lagi ke event buku tersebut sampai 3 kali. Kebetulan event buku tersebut diadakan lebih dari seminggu.
Dari beberapa buku yang saya beli, ada satu buku yang lumayan saya sukai, yakni buku bersampul warna ungu kehitaman berjudul ”MALALAI JOYA: A Woman Among Warlords”, buku ini merupakan jenis buku memoar kisah nyata seorang wanita pejuang asal Afghanistan.
Nama Malalai Joya seolah mengingatkan saya mengenai Malala Yousafzai, wanita peraih Nobel Perdamaian asal Pakistan. Ternyata selain memiliki nama yang mirip, mereka juga sama-sama memiliki kisah yang mirip.
Buku tersebut mengisahkan banyak hal. Setidaknya buku asli karangan Malalai Joya ini membuat saya tahu soal lika-liku kehidupan para masyarakat Afghanistan, terutama wanita Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban dan Presiden Karzai.
Perasaan marah, miris, terharu, kagum bercampur aduk menjadi satu saat saya membaca buku ini. Berkali-kali saya bertanya pada diri saya sendiri, kok bisa itu terjadi ya? Apa para wanita Afghanistan menderita sepahit itu? Apa hukuman yang sudah diberikan kepada ”gerombolan” penghancur Afghanistan ini? Dan lain sebagainya.
Terdapat beberapa bagian cerita di buku itu yang membuat saya merasa sangat marah, salah satunya tertulis pada Bab 8 tentang Pernikahan dan Pemilihan Umum. Di bagian ini dikisahkan sepenggal cerita seorang gadis bernama Rahellah, diceritakan apabila gadis ini ingin dinikahi secara paksa oleh salah seorang lelaki tua di lingkungannya.
Lelaki itu berpikir bahwa apabila dia berhak memperistri Rahellah meskipun gadis itu tidak mau menikah dengannya. Yang lebih gila lagi, dia tidak peduli kalaupun Rahellah akan bunuh diri dengan membakar diri jika dipaksa menikah dengannya, secara angkuh dia berkata akan membayar uang ”ganti rugi” atas apa yang dilakukan Rahellah. Mirisnya paman Rahellah yang mencoba membantunya malah terbunuh, akhirnya Rahellah dan beberapa keluarganya terpaksa harus mengamankan diri ke Iran demi menghindari lelaki tua itu.
Sosok Perempuan Tangguh
Di sisi lain, saya juga merasa kagum dengan Malalai Joya atas segala jasa yang dilakukannya kepada wanita Afghanistan. Dia tidak peduli meskipun harus mempertaruhkan nyawanya demi melaksanakan misi yang ingin dicapainya. Contohnya ketika Malalai Joya masih menjadi bagian dari sebuah LSM, dia mendapatkan tugas untuk mengajar anak-anak di Afghanistan, karena di waktu kepemimpinan Taliban para perempuan dilarang untuk mendapatkan pendidikan, Malalai Joya mengakalinya dengan mengadakan kelas dari satu rumah ke rumah lain secara sembunyi-sembunyi.
Pernah suatu ketika Malalai Joya dan semua murid yang ikut dengannya dihantui rasa takut yang luar biasa, hal itu terjadi karena tiba-tiba petugas yang bekerja di bawah perintah Taliban menggeledah rumah salah seorang warga Afghanistan yang digunakan untuk mengadakan kelas. Untungnya saat akan masuk ke dalam, pemilik rumah itu memberikan isyarat kepada Malalai Joya untuk segera mengamankan diri di ruang bawah tanah, langsung saja secara spontan Malalai Joya menyuruh semua orang untuk diam dan mematikan lampu. Syukurnya langkah itu berhasil, dan mereka tidak ketahuan. Kalau saja ketahuan sangat mungkin Malalai Joya akan mendapatkan hukuman berat bahkan bisa saja dia dijatuhi hukuman mati.
Dua kisah di atas membuat saya sadar apabila hak wanita di Afghanistan masih belum bisa direalisasikan, hidup mereka di bawah bayang-bayang kesuraman. Bahkan sampai berganti pemimpin dari jamannya Taliban ke pemerintahan demokrasi juga masih belum bisa sepenuhnya membantu kehidupan wanita Afghanistan menjadi membaik.
Berbekal pengalamannya saat bekerja di LSM, Malalai Joya mencalonkan diri dalam pemilu Afghanistan di tahun 2005, dia berstatus sebagai salah satu perwakilan dari provinsi Farah. Alasan utamanya, tak lain dan tak bukan karena dia ingin menjadi wakil rakyat yang pro dengan rakyat. Selama ini Malalai Joya sudah merasa muak dengan segala kesengsaraan yang dirasakan oleh masyarakat Afghanistan, terutama para perempuan Afghanistan.
Pada hari pemungutan suara, kebahagiaan datang kepada Malalai Joya, dan seluruh pendukungnya, secara resmi wanita yang lahir pada tahun 1978 ini sukses terpilih dalam pemilu sebagai perwakilan Provinsi Farah. Meski begitu Malalai Joya tidak bisa 100% merasa lega, sebab banyak anggota lain di parlemen Afghanistan merupakan orang yang bekerja di bawah kekuasaan para politisi yang memiliki banyak catatan hitam,baik itu karena kasus korupsi, pemerasan, pembunuhan dan lain sebagainya.
Bukan tidak mudah menjadi wakil rakyat, apalagi Malalai Joya secara getol terus menerus menyuarakan aspirasi rakyat di parlemen Afghanistan. Akibatnya cacian, fitnah, penyerangan sampai ancaman pembunuhan menjadi serangkaian hal yang biasa dia terima. Puncaknya terjadi pada suatu waktu saat dia difitnah oleh salah satu politisi Afghanistan, Malalai Joya dituduh melakukan penghinaan kepada seluruh anggota parlemen Afghanistan. Akibatnya secara paksa dia dicopot dari jabatan yang diembannya.
Tapi Malalai Joya bukanlah wanita yang suka menyerah, dia tidak lembek dan sudah terlanjur “gila” ingin untuk terus memperjuangkan hak & kesejahteraan rakyat Afghanistan, terutama perempuan Afghanistan. Selepas dicopot dari jabatannya sebagai salah satu anggota Parlemen di Afghanistan, Malalai Joya mendapatkan kesempatan untuk membagikan kisah, pengalaman dan mimpinya dengan berkunjung ke berbagai negara seperti Jerman, Italia dan Amerika. Bahkan di tahun 2006, seorang sutradara asal Denmark membuat film dokumenter khusus tentang kehidupan Malalai Joya bernama “Enemies of Happiness”
Kisah Malalai Joya bukan hanya mengenalkan saya dengan ragam realita wanita, tapi juga mengenalkan saya soal hak yang memang perlu wanita dapatkan. Di lain sisi karena Malalai Joya saya jadi semakin suka untuk mendengarkan, membaca dan mulai peduli apabila sebagai wanita kita mesti saling menjaga, mendukung dan mendoakan.
Sepertinya rasa “kagum” menjadi kata yang tepat untuk mengepreksikan pandangan saya kepada Malalai Joya, karena itu saya ingin membuat lebih banyak orang terutama para wanita, gadis, perempuan untuk mengenal dan mencontoh Malalai Joya, ini sekaligus menjadi alasan kuat yang saya ambil kenapa saya menulis karya ilmiah skripsi tentang Malalai Joya, saya juga berharap ada Malalai Joya dari Indonesia di masa sekarang dan masa depan. (IM)
Leave a Reply