Judul buku : Titip Rindu ke Tanah Suci, penulis : Aguk Irawan MN, penerbit : Republika Penerbit, tahun Terbit : Desember 2017, jumlah halaman : 366 halaman, ISBN : 978-602-0822-87-7
Neswa.id-“Sugguh tidak ada yang tahu tentang isi hati seseorang kecuali orang itu sendiri, namun mencemaskan isi hati semua orang sama artinya menderita penyakit jiwa itu sendiri!.” (hlm. 128)
Novel yang ditulis oleh Aguk Irawan bercerita tentang keinginan seorang wanita yang menghasrati agar berangkat haji ke Baitullah. Novel ini bukan satu-satunya, sebab ada karya lain yang juga senada dengan karya tersebut. Sebut saja Asma Nadia, sastrawan terkemuka yang jauh lebih awal menuliskan karyanya perihal keberangkatan haji. Lewat buku yang diberinya judul “Emak Ingin Naik Haji” itu, bahkan sudah naik tayang sebagai film. Salah satu stasiun televisi yang mencoba menayangkan sinetron dengan tema yang sama yakni “Tukang Bubur Naik Haji”.
Betapapun demikian, novel “Titip Rindu Ke Tanah Suci” ini memiiki kesimpulan cerita yang beragam. Bukan hanya sekedar perjalanan seseorang wanita yang rajin menabung untuk kemudian memesan tiket Haji ke tana suci yang mulia. Novel ini juga banyak membidik fenomena sosial yang kompleks.
Di sini, Mak Siti tidak hanya berperan sebagai seorang ibu, namun ia juga menjadi lakon lain yakni seorang mertua, nenek, tulang punggung keluarga dan tak jarang juga menjadi objek ghibahan tetangga. Sosoknya digambarkan sebagai seorang yang gigih, tabah dan taat dalam beragama.
Pada bagian awal, Mak Siti diceritakan memiliki suami dan anak bernama Intan. Mak siti dan suami saban harinya sibuk dengan bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya. Mak Siti tekun membantu suaminya bekerja dengan menjual nasi megono di stasiun. Sedangkan suaminya sebagai tukang sayur. Tokoh lain adalah Intan, anak semata wayang mereka yang tak mampu melanjutkan sekolahnya ke jenjang kuliah sehingga membantu ibunya jualan di stasiun.
Berbeda dengan suaminya yang bekerja keras seharian namun tidak sholat. Mak Siti walaupun bekerjanya mulai dari pagi hingga malam, kewajiban sholat lima waktunya tak pernah absen ia tinggalkan. Mak Siti yang sederhana dan hidup ala kadarnya itu memilki mimpi yang sangat besar. Ia bermimpi untuk dapat menunaikan Haji di Tanah Suci. Namun mimpi tersebut ia rahasiakan dari suami dan anaknya. Ia menyembunyikan mimpinya karena khawatir jika hal demikian tak mampu diwujudkan.
Namun dicerita berikutnya, suami Mak Siti yang semula tak mau menunaikan sholat di suatu hari diceritakan mau melaksanakan sholat. Sayang, hidupnya tak lama kemudian berakhir tragis. Suami Mak Siti mengalami kecelakaan bus yang mengakibatkan melayangnnya nyawa seorang pemimpin keluarga tersebut.
Mak siti kehilangan suami tercintanya. Ia kini hidup sebagai janda dengan Intan, anak satu-satunya itu. Setelah kepergian sang suami, Mak Siti membeli rumah kontrakan yang selama ini ia kontrak dari uang hasil tabungan bersama suaminya dulu dan ditambah uang hasil penjualan tanah di kampungnya yang telah lama mereka tinggalkan.
Lambat laun, Intan, anak Mak Siti tersebut tumbuh dewasa. Akhinya ia dipinang oleh salah seorang lelaki pujaan hatinya. Sebut saja Zulkarnain, seorang lelaki dewasa yang telah lama jatuh hati kepada Intan. Pernikahan mereka pun dilangsungkan dan mereka sah menjalankan rumah tangganya yang baru.
Mak Siti sangat baik dan tak pernah membuang waktunya dengan menggunjing orang lain. Namun lingkungan tempat tinggalnya berbeda. Setiap kali ada permasalah dalam hidup Mak Siti, para tetangganya selalu mengghibahinya. Tak jarang juga mereka selalu menyimpulkan yang bukan-bukan tentang kehidupan Mak Siti. Namun betul, keluarga Mak siti selalu saja ada masalah yang datang mengahampirinya. Terutama pada rumah tangga anaknya yang mulai tidak baik-baik saja.
Di sinilah mulai gejolak masalah silih berdatangan. Zulkarnain yang dikenal sebagai seorang pemuda yang sopan, tampan dan ramah terhadap siapapun itu ternyata tidak setia dengan istrinya. Tatkala istrinya hamil tua, ia malah sering keluar kota dan jarang sekali pulang. Diluar dugaan, ternyata ia main serong dengan wanita lain.
Tabungan Haji dan Mulut-Mulut yang Terbungkam
Terlepas dari kehidupan Mak Siti yang sengkarut, mulai dari kehilangannya suami hingga menantunya yang tidak setia terhadap anaknya. Mak Siti terus saja bekerja keras mencukupi kehidupannya dan selalu menyisakan uang untuk menabung
Rahasia Mak Siti soal keinginannya untuk berangkat Haji itu diketahui oleh tetangganya. Banyak mulut yang mencibirnya. Nada sinisme mendengung di telinga Mak Siti, yang dianggap terlalu berlebihan terhadap cita-citanya. Kesana-kemari Mak Siti disindir dengan sebutan bu “Hajjah”.
Tentu panggilan Bu Hajjah itu bukanlah suatu pangilan yang tepat, mengingat Mak Siti belum pernah pergi haji ke Mekkah. Meskipun panggilan itu hanyalah sindiran semata. Akan tetapi, bila dipikir-pikir panggilan tersebut lebih merupakan penghinaan dan perendahan kepadanya. Pada akhirnya mereka kelak akan terbungkam dan malu sendiri oleh sebab pembuktian Mak Siti bisa berangkat menunaikan Haji.
Segala cercaan dan hinaaan tak lantas membuat Mak Siti berkecil hati. Justru Mak Siti senantiasa memperbaiki diri dan memohon segala kekuatan dari Allah Swt. Selama luang, Mak Siti juga belajar mengaji agar bisa membaca al-Quran dengan tartil dan benar. Mak Siti belajar mengaji kepada Rizal, salah satu pemuda yang dahulu adalah seorang yang gemar mabuk-mabukan.
Pemuda-pemuda di gang rumahnnya Mak Siti dahulunya adalah para pemabuk, termasuk Rizal, salah satu pemuda di kampung tersebut. Ia bisa sampai menjadi orang yang taat bahkan diceritakan bisa menjadi ustaz dan mengajar mengaji kepada Mak Siti dan anak-anak di mushola, karena suatu saat pernah frustasi dan hampir bunuh diri karena cinta. Semenjak patah hati itu muncul, sekaligus hidayah Allah tumbuh di hatinya. Pemuda itu berubah total dan memperbaiki kehidupannya menjadi baik.
“Cinta yang patah memang meremukkan jiwanya, tetapi sekaligus melembutkannya. Hari demi hari keterpurukan jiwa itu memang menenggelamkamkannya ke dalam kekalutan dan kekacauan. Namun setapak demi setapak menerbitkan cahaya di kedalaman jiwanya.” (Halaman 68)
Bersama pemuda lainnya di gang dekat rumahnya Mak Siti, Rizal mengajak mereka semua agar taubat dan menginsafi kegiatan mabuk-mabukkanya. Lambat laun mereka mengikuti apa kata Rizal tersebut dan tak lagi mabuk-mabukkan. Mereka tetap berkawan baik dengan Rizal. Mereka pun kini memilki kegiatan yang lebih positif daripada nganggur melakukan hal yang tidak jelas.
Demikian buku ini disusun oleh segala kerunyaman yang terjadi. Di dalamnya tak hanya menghadirkan lika-liku perjuangan Mak Siti dalam menggapai mimpi sucinya, tetapi sekaligus membentangkan jalinan jiwa antar anak-anak manusia yang sederhana dalam memahami cinta, sederhana pula dalam merasakannya. (IM)
Leave a Reply