Neswa.id-Ketika membaca novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, tentu kita menemui kisah Nyai Ontosoroh. Perempuan yang diperistri lelaki kompeni, tapi harus takluk di bawah hukum Hindia-Belanda. Tapi di dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas Nyai Ontosoroh. Ada Nyai lain di timur Jawa yang kisahnya agak berbeda sebagaimana Nyai pada umumnya.
Dialah Rabina Birnie dan Djemilah Birnie. Terkhusus untuk Djemilah, makamnya ada di Maesan, perbatasan antara Bondowoso dan Jember. Djemilah Birnie adalah perempuan pribumi. Ia diperistri Gerhard David Birnie. Cukup mudah untuk menemukan makam Djemilah sebab berada di tepi jalan, bersebelahan dengan instansi polisi Maesan. Satu-satunya kesulitan menuju makam Djemilah adalah ilalang setinggi lutut. Apalagi makamnya terletak di tengah sawah. Bila tak memicingkan mata lebar-lebar, niscaya akan terkecoh.
Kompleks makam Djemilah Birnie dikelilingi sembilan pohon kamboja tua. Ketika saya berkunjung untuk kedua kalinya, terdapat corak vandalisme yang dilakukan orang tak berpendidikan. Padahal makam Djemilah Birnie bukan sembarang makam. Ia adalah bukti keberadaan feminisme di zaman kompeni.
Sebagaimana banyaknya kisah perempuan pribumi yang diperistri lelaki kompeni, maka nasibnya berada di ambang ambiguitas. Benar ia dipanggil Nyai dan derajatnya akan dipandang lebih tinggi oleh rakyat jelata, namun dalam sudut pandang lelaki kompeni, ia sekadar properti pelengkap. Tak jarang menjadi gundik dan disetarakan dengan pelacur.
Tapi ini tidak terjadi pada Rabina dan Djemilah. Meski mengalami masa tua yang berbeda, keduanya adalah bukti dari sisi lain lelaki kompeni pada zamannya.
Rabina Birnie dan Masa Tua di Eropa
Pada saat itu, Jember masih berada di bawah naungan Afdeeling Bondowoso. Pemerintah Hindia-Belanda sedang gencar-gencarnya mengembangkan perkebunan terutama menanam tembakau. Mereka mendatangkan pekerja dari wilayah lain, entah dari Madura atau wilayah Jawa Timur lainnya.
Agaknya, George Birnie menaruh hati pada Rabina. Ia menikahi perempuan asal Madura itu secara sah. Padahal zaman itu, perempuan pribumi kerap dijadikan gundik. Namun, George Birnie berani melawan hukum gereja sekaligus melawan kebiasaan lelaki Hindia-Belanda.
Dari pernikahan itu, George Birnie dan Rabina memiliki 8 orang anak. Awalnya, anak-anak mereka disekolahkan di Eropa sebelum akhirnya kembali lagi ke Hindia-Belanda. Pada tahun 1859, George Birnie mendirikan perusahaan tembakau paling luas pada masanya yang bernama Landbouw Maatschapij Oud Djember (LMOD). Konon, perusahaan LMOD bukanlah perusahaan tembakau pertama di Jember, tetapi ia diakui sebagai perusahaan terbesar.
Komoditas utama LMOD adalah tembakau bahan cerutu. Pasang surut telah dilalui George Birnie dalam mengembangkan usaha sebelum akhirnya ia kembali ke Eropa pada tahun 1873. Tentu Rabina turut serta diboyong. Ia pergi ke Eropa dan menjalani masa tua di sana. Cukup gemetar saya membayangkan kehidupan Rabina.
Bukan apa-apa. Rabina bukan perempuan Eropa. Sedikit banyak kemungkinan mengalami sikap diskriminasi. Belum lagi bahasa yang menjadi kendala. Belum lagi George Birnie yang wafat pada 20 Mei 1904. Lelakinya yang setia, rupanya lebih dahulu meninggalkan Rabina yang berusia 60 tahun. Padahal hanya George Birnie yang memahami sulitnya beradaptasi di bumi Eropa.
Hal ini diperkuat dari tulisan cicitnya yang bernama Alfred Birney bahwa Rabina kerap berkeluh-kesah jika ia merindukan Hindia-Belanda. Terlepas dari bagaimana sejarah memandangnya, tapi inilah sosok Rabina Birnie. Perempuan pribumi yang diperistri George Birnie secara sah dan menghabiskan masa tua di Eropa.
Djemilah Birnie dan Makamnya yang Tak Terawat
Ketika George Birnie memutuskan kembali ke Eropa sebab usianya mulai renta, LMOD diserahkan kepada Gerhard David Birnie yang memang partnernya mengembangkan usaha. Dari catatan sejarah, Gerhard David Birnie disebut sebagai sepupu George Birnie.
Gerhard David Birnie mengikuti jejak George Birnie. Ia memperistri perempuan pribumi yakni Djemilah secara sah. Selain itu, ia juga mengembangkan bisnis tembakau secara besar-besaran. Ketika rel kereta api jalur Jember-Panarukan diresmikan pada tahun 1897, ia mengirim tembakau dari Jember menggunakan transportasi kereta. Nantinya, tembakau itu akan disimpan di gudang pengemasan milik Maatschappij Panaroekan, sebelum akhirnya dikirim ke Eropa melalui kapal uap yang diselenggarakan Rotterdamche Llyod of Ocean dan Stoomvaart Maatschappij Nederlands.
Tak ayal, pasangan Gerhard David Birnie dan Djemilah adalah keluarga terpandang pada masanya. Bahkan pada tahun 1905, mereka telah mengendarai mobil. Berbeda dengan Rabina yang menghabiskan masa tua di Eropa, Djemilah Birnie justru wafat di Maesan dan tempat peristirahatan inilah yang tengah saya kunjungi.
Makam Djemilah sarat akan gaya eropa. Berada di kompleks seluas 10×20 meter dikelelingi pohon kamboja. Ada 4 makam berukuran kecil tanpa penanda nisan yang mengelilingi makam utama. Ada dua hal yang menarik di epitaf nisan makam Djemilah.
Pertama, tulisan yang terpahat menggunakan bahasa Belanda yakni “Hier Rust Djemilah Birnie, Geb: 30 Juni 1845. Overl: 14 April 1906” atau kira-kira berbunyi begini, “Di sini beristirahat Djemilah Birnie yang lahir pada tanggal 30 Juni 1845 dan wafat pada tanggal 14 April 1906”. Kedua, seluruh makam di kompleks ini membujur dari utara ke selatan yang merupakan ciri khas makam orang Islam.
Meski kemegahan makam masih tersisa lekat, tapi saya amat menyayangkan aksi vandalisme di makam Djemilah. Belum lagi rumput liar setinggi lutut yang menandakan makam tak terawat. Padahal makam ini adalah bukti bahwa penjajahan Belanda memang sangat buruk, dan saya tidak membenarkan hal itu. Namun, ada sisi lain yang jarang terjamah publik.
Yakni, romansa cinta George Birnie yang menjadikan Rabina sebagai satu-satunya perempuan yang ia cintai sampai akhir hayat, dan bukti cinta Gerhard David Birnie yang membangun kompleks makam megah sebagai penghormatan terakhir untuk mendiang istrinya yang wafat terlebih dahulu, sebelum akhirnya Gerhard kembali dan meninggal di Harleem pada tahun 1931.
Akhirnya, dari tepi makam ini saya bertanya-tanya, mungkinkah dulu saat membangun kompleks makam, Gerhard telah memandang jauh ke depan bahwasannya ia ingin agar makam sang istri menjadi tempat peninggalan sejarah yang akan sering diziarahi? Ah, entahlah. Saya hanya tersenyum membayangkan masa silam Rabina dan Djemilah. Betapa keduanya adalah perempuan beruntung pada masa itu, sebab tak menjadi gundik seperti Nyai pada umumnya. (IM)
Leave a Reply