Ketua RT Kami Adalah Pak Lurah

/
/


Neswa.id- Ayah saya, seorang pensiunan, kini menjabat sebagai ketua RT di lingkungan tempat tinggal kami. Uniknya, beberapa warga memanggilnya bukan dengan sapaan Pak RT, melainkan Pak Lurah.

Tidak, tidak—warga di lingkungan tempat tinggal kami bukannya tidak memahami perbedaan antara wilayah kelurahan dan RT. Rupanya, mereka memanggil ayah saya Pak Lurah karena mengenal ibu saya yang sebelumnya bekerja sebagai pelaksana tugas (plt.) lurah di kelurahan kami.

Apakah Ayah merasa terhina ketika dipanggil Pak Lurah dengan alasan ibu saya pernah menjabat sebagai plt. lurah? Rupanya tidak—Ayah justru menanggapi sapaan tersebut dengan hangat dan baik. Beliau menyampaikan kepada warga bahwa ibu saya sudah pensiun beberapa bulan lalu dan tidak lagi menjabat sebagai lurah.

Cerita itu memberikan pelajaran bagi saya bahwa seorang perempuan bisa dan mampu “berjaya” di ruang publik. Ibu menjadi contoh bahwa perempuan bisa berdaya dan sama bermanfaatnya seperti laki-laki melalui bidang karier yang ditempuhnya.

Dalam perjalanannya sebelum pensiun, Ibu telah berpuluh-puluh tahun mengabdi sebagai pegawai negeri. Perjalanan beliau tidak selalu mulus dalam kariernya. Sebagai contoh, saya ingat betul ada beberapa momen yang mengharuskan Ibu bernegosiasi dengan Ayah demi mendapatkan izin untuk datang ke sebuah acara di kantor di luar jam kerja. Pada beberapa kesempatan khusus, ibu saya pun harus merelakan waktunya mengabdi kepada masyarakat di kantor tempatnya bekerja, misalnya saat pemilu.

Hal ini tentu tidak mudah. Meski Ayah turut mengapresiasi pencapaian istrinya, tak bisa dimungkiri bahwa umumnya perempuan yang bekerja cenderung dianggap tidak perlu “terlalu maksimal”. Perempuan pekerja dinilai tidak semestinya mengeluarkan usaha sebesar yang dilakukan oleh para pegawai laki-laki.

Ketika ayah saya pensiun lebih dulu, Ibu masih bekerja. Dalam masa-masa itu, saya juga bisa mengingat beberapa momen keberatan Ayah atas aktivitas Ibu masih yang terbilang padat dengan pekerjaan di kantor. Padahal, saya tahu betul bahwa Ibu adalah pembagi waktu yang andal antara pekerjaan di rumah dan pekerjaan di kantor.

Bukan, Ayah bukan pembenci golongan perempuan yang bekerja. Hanya saja, beberapa hal berjalan tidak selalu mudah bagi Ibu dalam mengejar kemajuan di karier yang telah beliau bangun sejak lulus SMEA itu. Perempuan, bagaimanapun, masih dianggap sebagai kaum “kelas dua” dalam hal bekerja.

Keadaan ini tentu berbeda dengan Ayah yang lebih diwajarkan jika harus bekerja lembur, mengikuti perjalanan dinas, dan melakukan sejumlah rapat dalam jadwal yang ketat. Penilaian bahwa perempuan harus bekerja lebih banyak di rumah tetap mengakar di sebagian besar masyarakat.

Saya memiliki cerita yang lain. Tahukah Anda apa yang lebih berat dari pekerjaan mencuci piring? Jawabannya adalah mencuci piring seseorang yang tidak merasa perlu untuk mencuci piringnya sendiri.

Kejadian ini saya alami di awal masa pernikahan dengan suami. Perbedaan latar belakang kami langsung terlihat saat menghadapi beberapa hal di kehidupan rumah tangga.

Sejak saya kecil, saya dibiasakan untuk mencuci piring sendiri atau bergantian dengan saudara saya yang lain, baik yang perempuan maupun laki-laki. Jadi, pekerjaan domestik di keluarga saya tidak hanya menjadi tugas perempuan, tetapi juga laki-laki. Rupanya, hal ini berbanding terbalik dengan latar belakang suami saya.

Mengubah kebiasaan bukanlah hal yang mudah. Suami saya tidak lantas secara rajin mencuci piring, tetapi ia—tanpa sadar—melakukan perubahan lebih baik secara bertahap. Dulu, dia hanya meletakkan piring kotornya begitu saja di wastafel, lengkap dengan sisa-sisa makanannya. Setelah melalui komunikasi yang intens saya berikan, perlahan suami saya menyadari perlunya membuang sisa makanan ke tempat sampah sebelum meletakkan piring ke wastafel. Hingga saat ini, kami berdua masih dalam upaya mendisiplinkan diri masing-masing untuk setidaknya mencuci piring yang digunakan oleh diri sendiri.

Ini mengingatkan saya pada sebuah cerita yang dibagikan oleh warganet. Seorang perempuan pernah membagikan foto suaminya yang mencuci piring melalui fitur Story WhatsApp. Sayangnya, ia justru mendapat caci maki dari kawan-kawannya di WhatsApp—sesama perempuan. Mereka menilai bahwa warganet ini bersikap tega kepada suaminya sendiri hingga membiarkan suami mencuci piring.

Saya merasa gemas melihat betapa langgengnya pemikiran bahwa pekerjaan domestik 100% adalah milik perempuan. Ayolah, bukannya kehidupan rumah tangga dimulai dengan dua pasang tangan dan kaki? Bukankah rasanya menyenangkan jika pekerjaan kita dilakukan bersama-sama? Bukankah rasanya menyenangkan jika kebahagiaan sekaligus kelelahan kita dibagi dua?

Cerita soal jabatan ibu saya yang masih dikenang warga dan masalah cuci piring di rumah tangga saya mengajarkan saya satu hal yang lebih besar: Perempuan boleh berdaya, perempuan boleh bersuara. Tidak boleh ada stereotipe yang memberatkan perempuan dan membatasi dirinya untuk merasakan apa yang juga dirasakan oleh para lelaki.

Memberikan kepercayaan pada perempuan untuk mengembangkan diri—termasuk dalam karier—bukanlah sebuah dosa yang harus dihindari. Sama seperti manusia lain, perempuan punya potensi di balik apa yang terlihat. Dia bisa berlari, berjalan, bahkan merangkak demi mencapai apa yang dia inginkan.

Hal yang sama juga berlaku dalam urusan domestik. Laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama. Kesepakatan semacam itu tidak lantas menurunkan harga diri lelaki, kok. Jika perempuan saja boleh berdaya, laki-laki juga boleh mendekati wastafel dan dapur untuk mencuci piring, mengupas bawang, memotong daging, dan lain-lain.

Namun, hal sesederhana itu masih menjadi tugas panjang bagi kita semua. Stereotipe itu nyatanya masih ada dan berjalan hingga kini. Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Terus saja berjalan dan jangan berhenti. Saya pribadi akan memulainya dengan membuat jadwal mencuci piring di rumah. (IM)


Dwi Aprilia Kumala Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *