,

Ketika Tafsir Klasik Memastikan Keadilan untuk Perempuan

/
/


Hadia Mubarak dalam artikelnya “Classical Qur’anic Exegesis and Women” memberikan kritik terhadap pandangan yang mengatakan bahwa tafsir era pertengahan misoginis dan mengaburkan pesan egalitarian Alquran, utamanya sebagaimana disampaikan oleh generasi pertama tafsir feminis. Pandangan kelompok pertama ini, menurutnya, memaksakan standar modern pada masa lalu atau bersifat anakronistik. Mubarak menyatakan, benar tafsir abad pertengahan memang dilahirkan dalam konteks di mana hirarki sosial dan hirarki gender adalah norma. Akan tetapi, bukan berarti dalam sistem sosial yang semacam ini, tidak ada bentuk keadilan terhadap perempuan, meskipun konsep keadilannya tentu berbeda dengan saat ini. Penafsiran era ini tetap meneruskan misi yang dicanangkan Alquran sebagaimana rasa yang kita dapatkan ketika membaca Surah Al-Nisā atau Al-Nūr misalnya, yakni memastikan keadilan dan pemenuhan hak perempuan.

Mubarak kemudian menyuguhkan penafsiran beberapa mufassir era ini atas Surah 4:3, 4:34, dan 4:128 tentang nusyūz laki-laki dan perempuan. Yang perlu dicatat karakter tafsir era ini adalah polivalen; mufassir menghadirkan beragam pendapat. Selain itu, analisis yang dilakukan tentu saja filologis. Terkait Surah 4:3 misalnya, salah satu pertanyaan yang menjadi pusat dari penafsiran ayat ini adalah hubungan jawab syarat. Yakni, mengapa kekhawatiran tidak bisa adil terhadap anak yatim dihubungkan dengan pernikahan lebih dari satu?

Al-Ṭabarī, dalam hal ini, memaparkan tiga pandangan: Pertama, hubungan jawab syarat ini bermakna larangan menikahi anak yatim karena kamu akan cenderung memberi mahar yang tidak sesuai standar dan karenanya menikahi mereka menghadirkan potensi ketidakadilan. Karena itu, menikahi perempuan lain saja, dan hanya empat. Penafsiran ini disokoh oleh sebuah hadis yang diriwayatkan ‘Aisyah.

Kedua, hubungan jawab syarat ini menunjukkan kebiasaan bangsa Arab yang menggunakan harta anak yatim yang berada dalam pertanggungjawabannya untuk biaya pernikahan. Maksud ayat ini adalah melarang praktik semacam ini.

Ketiga, hubungan jawab syarat ini bermakna demikian; sebagaimana kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, takutlah kamu berbuat tidak adil kepada istrimu. Jangan sampai rasa takut tidak bisa berbuat adil itu hanya kamu miliki terhadap anak yatim dan tidak terhadap istrimu. Karena itu, menikahlah empat saja, jangan lebih dari itu. Kalau bisa malah menikahlah satu saja, atau budak yang kamu miliki.

Al-Ṭūsī, al-Zamakhsyarī, dan al-Rāzī juga memberikan tafsir yang senada. Kesimpulannya, yang menyatukan semua mufassir ini adalah pemahaman bahwa semangat ayat ini adalah membatasi dan memastikan keadilan untuk perempuan dan anak yatim. Yang menarik, fokus penafsiran para muffasir era ini berbeda dengan fokus yang dilekatkan beberapa tafsir di era modern. Di era modern, kewajaran pernikahan adalah monogami. Karenanya, fokus tafsir bergeser dari Tuhan membatasi ke Tuhan membolehkan. Kita perlu melihat lebih jauh bagaimana sebagian mufassir modern ini membangun hubungan jawab syarat dalam ayat ini. Kembali ke poin awal, karena fokusnya adalah mengatakan bahwa Allah membolehkan poligami, sebagian mufassir ini memberikan data pseudo-saintifik untuk menyokong pemaknaan ini; bahwa populasi perempuan lebih banyak, bahwa laki-laki memiliki libido yang lebih besar, dan seterusnya.

Mari kita melihat ayat lain, Surah 4:34, terutama di bagian kedua dari ayat ini yang tentang nusyūz. Frase waḍribūhunna ini, kalau mau jujur, begitu memusingkan para ulama. Tidak hanya ulama modern tetapi juga ulama klasik. Bagaimana mungkin Allah membolehkan memukul istri. Apa ini maksud Allah? Dalam membaca ayat ini, ulama modern menawarkan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan tradisional, di mana mereka melihat tiga solusi yang ditawarkan ayat ini dalam urutan. Kalau misalnya harus memukul harus tanpa rasa sakit. Apakah istri benar-benar melakukan nusyūz pun perlu dipastikan terlebih dahulu. Kedua, Pendekatan modernis menawarkan terjemah lain dari term ini, bukan memukul tetapi memisahkan ranjang. Ketiga, pendekatan mengajak untuk melampaui perdebatan terkait makna ayat ini tetapi fokus pada panggilan etis masing-masing (Wadud, El-Fadl, Silvers, Esack, Moosa). El-Fadl misalnya mengatakan bahwa Tuhan menuntut keindahan. Dengan melampaui perdebatan ini, fokusnya lebih mengutamakan metode-metode yang lebih baik.

Mubarak menunjukkan bahwa kegelisahan dalam menghadapi ayat ini tidak hanya dirasakan ulama modern, tetapi ulama dari era klasik juga. Pandangan yang penting lahir dari ‘Aṭā’ dan al-Syāfi’ī. Yang terakhir mengenalkan konsep memukul tanpa menyakiti, ghayr mubarrih. Tidak berhenti di situ, ia mengatakan bahwa tidak memukul lebih baik. Pandangan ini yang kemudian digunakan oleh Ibn al-‘Arabiī dan al-Rāzī kemudian.

Dalam Misquoting Muhammad, Jonathan Brown juga memberikan catatan menarik mengenai kasus ayat ini. Dewasa ini, ayat ini sering digunakan oleh sebagian orang untuk menegaskan bahwa Islam membenarkan tindak kekerasan terhadap istri. Brown ingin menunjukkan bahwa dalam sejarah, meskipun ada ayat ini, bukan berarti tindak kekerasan terhadap istri dibenarkan oleh pengadilan. Dia menunjukkan cacatan sejarah di mana ketika istri mengadukan kasus kekerasan suami, pengadilan hampir selalu berpihak kepada istri.

Pembahasan dilanjutkan dengan Surah 4:128 tentang nusyūz laki-laki. Pertanyaannya, mengapa di ayat ini perempuan tidak punya hak yang sama dengan laki-laki dalam hal mendisiplinkan sebagai dalam Surah 4:34. Laki-laki pada sistem sosial saat itu adalah patron. Perempuan tidak punya kuasa. Dalam konteks semacam ini, solusi yang ditawarkan Alquran adalah perempuan merelakan sebagian hartanya untuk bernegosiasi dengan suaminya supaya dia tidak nusyūz. Solusi ini mungkin terkesan tidak adil. Akan tetapi, kalau dipahami dalam konteks masa itu, dan sebagaimana disampaikan para mufassir, berada dalam ikatan pernikahan lebih menguntungkan perempuan, di mana ia bisa mendapatkan jaminan sosial dan finansial. Sudah pun demikian, Alquran masih menegaskan di ayat berikutnya, Surah 4:129, bahwa jika perceraian terpaksa diambil, jangan khawatir, Tuhan Maha Kaya.

Singkat kata, para mufassir ini memang hidup dalam masyarakat yang mengenal hirarki gender. Akan tetapi, semangat mereka dalam konteks ini adalah melanjutkan semangat Alquran untuk memastikan keadilan dan pemenuhan hak perempuan. Sistem yang mengenal hirarki gender bisa mempunyai konsep keadilannya sendiri, meski berbeda dengan saat ini.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *