,

Ketika FIFA “Mengajari” Qatar Soal Kesetaraan Gender

/
/

Sepak bola dan perempuan

Neswa.id-Minggu lalu, Qatar menjadi saksi momen bersejarah dalam dunia sepak bola ketika FIFA menunjuk Stephanie Frappart menjadi juru adil lapangan di Piala Dunia 2022. Wanita asal Prancis itu beraksi sebagai wasit perempuan pertama dalam sejarah piala dunia ketika mempimpin salah satu laga di Grup E, Kosta Rika vs Jerman, di Stadiun Al-Bayt pada Jumat (2/12). Di pertandingan yang pada akhirnya dimenangkan Jerman dengan skor 4-2 itu, Frappart tak sendiri, ia didamping oleh asisten wasit, Neuza Back asal Brasil dan Karen Diaz Medina dari Meksiko.

Keputusan FIFA ini menarik sekaligus memantik pertanyaan, bagaimana bisa FIFA berani mengambil dobrakan di negara yang masih konservatif terhadap hak-hak perempuan. Ya, Qatar memang negara yang masih gagap terhadap prinsip kesetaraan gender. Memang, Qatar tidak seperti Afghanistan di bawah rezim Taliban yang sangat represif terhadap perempuan. Namun, Qatar pada kenyataannya tetap meletakkan perempuan sebagai pihak yang marginal dan tidak berdaulat.

Dalam peta internasional, Qatar telah masyhur dikenal sebagai salah satu episentrum bisnis dan investasi dunia. Qatar menjadi semacam ruang pertemuan besar bagi para pebisnis besar dari penjuru dunia. Di satu sisi, Qatar menjadi tuan rumah bagi tamu-tamu dari negara adidaya, baik dari Eropa maupun Amerika. Di sisi lain, Qatar sangat menjunjung tinggi norma-norma Islam. Sebagai agama resmi negara, Islam menjadi basis justifikasi Qatar dalam merumuskan undang-undang negara. Hal ini menjadikan Qatar sebagai negara yang berada di persimpangan antara modernisasi dan tradisi.

Dalam peringkat global ketidaksetaraan gender, Qatar berada di urutan ke-44. Negara ini secara eksplisit memang telah menyatakan komitmennya terhadap kesetaraan gender. Namun, dalam perumusan undang-undang, bias gender itu nyatanya masih sangat bisa dirasakan.

Undang-undang perwalian, misalnya. Dalam sebuah laporan tahun 2021, Human Rights Watch mencatat bagaimana undang-undang dan kebijakan Qatar mewajibkan perempuan untuk mendapatkan izin wali laki-laki untuk menikah, belajar dengan beasiswa pemerintah, bekerja di banyak pekerjaan pemerintah, bepergian ke luar negeri, bahkan hanya untuk menyetir sekalipun. Laki-laki, di sisi lain, tidak memerlukan izin seperti itu setelah mereka berusia 18 tahun. Banyak dari peraturan ini tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan konstitusi Qatar sendiri yang menjamin kesetaraan perempuan di depan hukum.

Kebijakan semacam itu tentu hanya memperkuat otoritas laki-laki atas perempuan yang justru dapat digunakan untuk menyangkal hak-hak perempuan dan bahkan memeras mereka. Human Rights Watch melaporkan bahwa beberapa perempuan mengaku tentang bagaimana pria menyalahgunakan posisi kekuasaan mereka. Um Qahtan, 44 tahun, misalnya, mengatakan bahwa suaminya mengancamnya bahwa jika dia meninggalkannya, dia akan mencegah empat anak mereka bepergian bersamanya, dan memindahkan anak-anak dari sekolah internasional ke sekolah negeri. Dan benar saja, setelah dia meninggalkannya, dia merealisasikan kedua ancaman itu.

Undang-undang Qatar juga mewajibkan perempuan untuk memiliki izin wali laki-laki untuk menikah tanpa memandang usia atau status perkawinan sebelumnya. Sebaliknya, pria dapat menikahi hingga empat wanita sekaligus tanpa memerlukan izin dari wali atau bahkan dari istri atau istri mereka saat ini.

Ketika seorang wanita menikah, otoritas perwalian berpindah dari ayahnya ke suaminya. Hukum Keluarga Qatar menetapkan bahwa seorang istri dapat dianggap “tidak patuh” jika dia tidak mendapatkan izin suaminya sebelum bekerja, bepergian, atau jika dia meninggalkan rumahnya atau menolak berhubungan seks dengan suaminya, tanpa alasan yang “sah”.

Sekali lagi, perwalian laki-laki hanya memperkuat kekuasaan, superioritas, dan kendali mereka atas kehidupan dan pilihan perempuan. Kurangnya undang-undang kekerasan dalam rumah tangga membuat perempuan semakin rentan terhadap pelecehan oleh keluarga dan suami mereka.

Melalui Piala Dunia 2022, para perempuan Qatar menggantungkan harapan bahwa ajang ini bisa menjadi satu trajectory yang baik bagi kehidupan wanita di Qatar. Piala Dunia membuat Qatar menjadi sorotan publik dunia sehingga Qatar tidak memiliki tempat lagi untuk bersembunyi dari pengawasan, terutama dalam hal perlakuan terhadap perempuan.

 “Football does not recognize gender”, begitu kata istilah. Di Eropa, sepak bola wanita sudah cukup maju dan efektif. Meskipun supporter-nya tidak se-“militan” sepak bola pria, setidaknya otoritas sepak bola Eropa (UEFA) dan sepak bola dunia (FIFA) telah merealisasikan prinsip sepak bola sebagai olahraga yang tidak mengenal jenis kelamin.

Qatar setidaknya bisa terinspirasi dari prinsip sepak bola tersebut. Apalagi, Qatar sedang menjadi tuan rumah turnamen sepak bola terbesar di jagad raya. Di satu sisi, saya bersilang pendapat dengan FIFA tentang beberapa kebijakan di sepak bola. Namun, di sisi lain, kebijakan FIFA untuk membawa prinsip egaliter dalam sepak bola di Qatar patut diapresiasi. Tak lupa, dalam titik ini, Qatar juga layak mendapat pujian karena telah mendukung keputusan FIFA.

FIFA memberikan sinyal kepada Qatar bahwa wanita bisa melakukan apapun sejauh apa yang bisa diimajinasikannya tanpa ada yang menghalangi. Secara sosial, wanita mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Wanita berdaulat penuh atas dirinya sendiri, sepertinya halnya Frappert yang menjadi wasit sepak bola.

Memang, sepak bola selama ini dipahami sebagai domain yang identik dengan laki-laki. Dalam dunia wasit, terutama, para pengadil lapangan selalu diasosiasikan dengan laki-laki karena menyaratkan fisik yang kuat, ketegasan, dan kekuatan mental guna menghadapi protes para pemain di lapangan. Intensitas pertandingan yang tinggi hingga emosi para pemain yang mudah tersulut menjadi pertimbangan kalau tugas wasit harusnya diambil oleh sosok yang tegas dan karismatik, citra yang selalu dilekatkan pada laki-laki. Namun, stereotype tersebut didobrak oleh sosok seperti Frappert.

FIFA mengafirmasi bahwa perempuan juga mempunyai kapabilitas yang sama untuk menjadi juru adil lapangan. Wanita bisa tegas, karismatik, dan mampu berpikir matang.Tak hanya mengafirmasi, FIFA juga bahkan memfasilitasi dengan memberi mereka panggung di pentas besar seperti piala dunia.

Penunjukkan Stephanie Frappart oleh FIFA sebagai wasit wanita pertama di pentas piala dunia, setidaknya, menjadi momentum bagi Qatar untuk mulai memperlakukan wanita secara setara dan mengizinkan semua wanita membuat keputusan tentang kehidupan mereka sendiri. (IM)


Haris Fatwa Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *