Keterangan buku
Judul : Perempuan yang Berhenti Membaca
Penulis : Ratna Ayu Budhiarti
Penerbit : Langgam Pustaka
Tahun : 2020
Tebal : xii+176 halaman
ISBN : 978-623-7461-36-4
Membicarakan perempuan tidak akan ada habisnya. Beberapa hari ini saja trending topik di linimasa media sosial dipenuhi perbincangan tentang selebriti perempuan dengan segala kasusnya. Dari yang buka jilbab, cerai, pertengkaran dengan kekasih, sampai pelecehan. Baru-baru ini, Uni Emirat Arab juga mengumumkan tentang keberhasilan misi antariksanya mendaratkan wahananya ke Planet Mars. Hebatnya, misi ini dipimpin ilmuan bernama Sarah Al-Amiri, seorang perempuan. Apa pun topiknya jika menyangkut perempuan selalu menarik untuk diperbincangkan.
Banyak kisah heroik yang menceritakan tentang perempuan. Namun, bukan berarti hal sederhana tidak layak untuk diperbincangkan. Perempuan memang unik, sederhana, dan rumit dalam satu waktu. Namun, saya sepakat tidak perlu ndakik-ndakik untuk menjadi perempuan yang hebat. Hal ini yang saya dapat ketika membaca kumpulan cerpen Perempuan yang Berhenti Membaca karya Ratna Ayu Budhiarti. Saya sempat mempunyai dugaan awal bahwa buku ini akan berisi cerita perempuan hebat dengan cerita yang sulit saya gapai atau mengawang-awang mengingat penulisnya adalah perempuan sekaligus penyair yang sering berbicara tentang perempuan dalam karyanya. Ternyata dugaan saya keliru, di buku ini, cerita-cerita yang disajikan jauh dari ndakik-ndakik meski memang ada beberapa cerita yang absurd dan surealis. Ini membuktikan bahwa cerita sederhana bukan berarti tidak menarik untuk membicarakan perempuan. Perempuan juga bersedih, perempuan menangis, perempuan tidak harus trengginas saat itu juga untuk menghadapi situasi yang tidak memihak dirinya. Perempuan juga manusia. Dan itu tidak apa-apa.
Kita bisa melihat dalam cerpen Ironi Kereta Api bagaimana perempuan harus berjuang menghadapi hidup yang tidak memihak kepadanya. Kokom, seorang perempuan yang bertahan hidup dengan menjual gorengan di kereta. Ah saya jadi teringat suasana kereta sebelum ditertibkan seperti sekarang. Gerbong kereta yang penuh dengan pedagang asongan silih berganti. Pedagang yang harus kucing-kucingan dengan petugas dan tak jarang juga berkejar-kejaran. Saya bisa membayangkan ketegangan itu ketika membaca kalimat ini:
Kokom sedang berada di dalam gerbong kedua dan melayani pembelinya ketika tiba-tiba para pedagang asongan lain panik dan saling berbisik, kemudian sampai ke telinga Kokom, “Ada petugas, cepat sembunyikan dagangannya!”…. (halaman 7)
Cerita di dalam cerpen Ironi Kereta Api juga ingin membalikkan stereotype bahwa perempuan adalah makhluk yang selalu tidak logis. Suami Kokom, Maman, adalah laki-laki yang lebih mementingkan burung peliharaannya daripada menafkahi keluarga. Adakah hal yang menjelaskan kalau itu logis?
Ketidaklogisan laki-laki juga digambarkan dalam cerpen Pilbub Putaran Kedua. Dadang, suami yang selalu diomeli Neneng, istrinya, karena sibuk menjadi tim sukses pasangan calon Bupati. Harta yang ia kumpulkan dihabiskan untuk modal pasangan Bupati itu sampai akhirnya ia menggadaikan keluarganya sendiri. Apakah berjudi untuk seseorang yang belum tentu peduli kepada kita sampai menggadaikan keluarga adalah hal yang logis? Kedua cerpen itu juga menggambarkan dominasi laki-laki dalam keluarga, suami yang tidak mau disalahkan. Hal sama yang akan kita dapatkan ketika membaca cerpen Cincin Kawin. Suami yang melakukan kekerasan dan menuduh istrinya mandul lalu menceraikannya karena ia tidak mau mengakui bahwa ia memang bermasalah. Sedihnya, peristiwa tersebut sudah menjadi makanan kita sehari-hari. Baik mendengar langsung maupun membaca berita di internet.
Perempuan maupun laki-laki adalah manusia yang juga bisa tertawan oleh kenangan. Saya sangat menikmati membaca cerpen Handuk Belang Ibu. Seorang perempuan yang menyimpan kenangan tentang almarhum suaminya yang baik (ya, tidak semua laki-laki itu jahat) dalam sebuah handuk. Handuk yang dipakai suaminya semasa ia masih hidup. Tokoh anak di sini jengkel dengan ibunya yang tidak mau mengganti handuknya, padahal handuk tersebut sudah kumal.
“Kan masih ada yang biru, yang hijau, atau yang gambar apel, Bu. Yang itu sajalah. Apa ibu tidak bosan pakai handuk yang itu-itu saja? Neng aja bosan lihatnya,” tukasku menangkis alasan ibu.
“Ah sudahlah, pokoknya ibu mau pakai handuk ini lagi nanti sore, titik!” (halaman 29)
Kita akan mendapat jawabannya di halaman 32
Handuk ini bukan handuk sembarangan, Neng. Meskipun harganya kalah jauh dengan yang di supermarket itu, handuk ini benar-benar membuat ibu selalu eling, untuk tidak takabur dan mengingatkan ibu akan kasih sayang Gusti Allah kepada bapakmu, kepada ibu, juga kepada kamu, Neng.
Kenangan lain juga sangat saya nikmati ketika membaca cerpen Perempuan Lain di Hati Papa. Dari judulnya, saya pikir ini adalah cerpen tentang perempuan perebut suami orang yang lebih populer disebut pelakor (tentu saja saya tidak sepakat dengan istilah itu). Tapi tidak, ini adalah cerita tentang laki-laki yang masih memendam kenangan dengan cinta pertamanya yang terpisah. Ia adalah laki-laki yang bertanggung jawab pada keluarganya. Ia hanya laki-laki yang masih memendam kenangan dengan kekasih lamanya melalui sepenggal lagu. Saya suka dengan respon tokoh anak yang legawa bahkan membantu ayahnya mencari cinta pertamanya sebelum ayahnya meninggal. Walau hal itu tidak terlaksana karena ajal telanjur menjemput sang ayah. Ah sungguh cerita yang nggrantes.
Warung Padang Tetangga adalah cerpen yang sangat sederhana namun penggarapannya sungguh apik. Bercerita tentang seseorang yang penasaran atau kepo dengan resep masakan padang yang aromanya selalu menggoda tiap harinya. Hal yang sangat nyambung dengan kehidupan saya sebagai anak kost yang punya tetangga doyan masak. Tentu saja saya juga pernah melakukan hal yang dilakukan si tokoh dalam cerpen, yaitu mengintip kegiatan masak tetangga yang berujung dengan kegagalan. Cerita sederhana yang membuat tertawa walau sebenarnya ceritanya tidak lucu. Cerpen ini juga bercerita tentang hal mutakhir, seperti tokoh yang memakai masker, warung yang ditutup karena pandemi. Hal yang mengingatkan kita kalau pandemi belum enyah dari negara kita.
Masih banyak cerpen yang menarik seperti Berita Nirmala, cerita tentang pembunuhan anak perempuan, Gadis Penakluk, tentang perempuan yang mendobrak dominasi laki-laki, cerita yang absurd dalam Perempuan yang Berhenti Membaca, Seamiatanasan dan Kepala-Kepala Lainnya, isu kesehatan mental dalam Lorazepam Terakhir, dan beberapa cerpen lain yang semuanya bercerita tentang perempuan. Tidak hanya cerpen, buku ini juga berisi cerita mini (cermin) yang juga bercerita tentang perempuan.
Yang saya suka dari kumcer ini adalah penggambaran perempuan sebagai manusia yang bisa bereaksi apa saja. Tidak ndakik-ndakik harus menjadi pahlawan dan tidak harus selalu berakhir bahagia. Sewajarnya menghadapi hidup yang sering mengajak bercanda. Seperti yang tergambar dalam sampul buku ini, seorang perempuan dengan buku-bukunya yang berserakan. Ketidakberaturan yang malah membuat wajar dan menarik, apalagi digambar oleh gadis cilik Khanza, putri dari penulis buku ini. Kesan infantil yang ditimbulkan sungguh membuat penasaran untuk membuka dan membaca buku ini. Tabik.
Gondangrejo, 11 Februari 2021
Leave a Reply