“Jadi perempuan, khususnya Ibu itu harus banyak tirakat. Sudah tirakatnya di rumah saja, ngaji, ndidik anak dan ngurus suami. Insyaallah sesuai fitrah perempuan dan ridlo Gusti Allah“.
Dalam hidup saya, kata-kata, wejangan atau nasehat seperti di atas sangatlah sering saya dengar. Redaksinya persis, jika ingin mendapat ridho Allah jadi perempuan dan istri itu sebaiknya mengamalkan tirakat dan tirakatnya cukup dilakukan di rumah, bukan di masjid, langgar atau di zawiyah-zawiyah tempat di mana biasanya para sufi melakukan ‘uzlah. Tirakat dengan ibadah sekaligus ngurus anak dan keluarga itu adalah surga. Sudah titik, tak perlu dibantah.
Yah, kesannya memang ideal apalagi bagi kalangan pesantren yang mana tradisi ini sangat kuat dan menjadi pengetahuan umum bahwa menjadi perempuan memang haruslah salehah, atau relijius. Wanita salehah idealnya juga tidak banyak berkegiatan di ruang publik, apalagi bekerja. Itu seperti menyalahi aturan kesalehan. Ibaratnya, meskipun anda salehah tapi kalau bekerja di luar rumah dan meninggalkan anak-anak, kesalehan anda belumlah dikatakan sempurna. Apalagi jika suami juga sudah bekerja. Embel-embelnya bisa panjang. Ribet.
Kesalehan ini tentu saja diilhami oleh perempuan perempuan hebat seperti para nyai, sufi, ahli tarekat, dan ulama-ulama perempuan yang telah berkiprah di dunia pesantren atau yang mengabdikan hidupnya untuk mendalami ilmu agama dan kemudian menyebarkannya. Namun bagi kalangan di luar pesantren, tuntutan kesalehan tentu saja salah satunya berawal dari potret kesalehan yang terdapat ruang-ruang publik terlebih di media sosial. Ekspresi kesalehan yang semakin berkembang di kalangan umat Muslim hari ini merupakan fenomena yang tak terlalu baru sebenarnya namun cukup membuat pergeseran wacana muslimah hari ini menjadi signifikan dan tak jarang menjadi perdebatan publik. Salah satunya yang berkaitan dengan konsep kesalehan dan domistifikasi perempuan.
Perempuan dianggap menjadi agensi moral dan kesalehan keluarga dan masyarakat yang tercermin dari dirinya dan keluarganya. Oh tentu saja, ini adalah tugas yang terlalu berat Cassandra. Bayangkan jika dalam suatu keluarga, terdapat anggota keluarga yang katakanlah menyalahi norma sosial agama masyarakat setempat, Ibu selalu saja jadi pelaku utama yang harus, seringkali dan sebaiknya disalahkan karena tidak bisa mendidik anak dengan baik, tidak dapat menjaga hubungan baik dengan suami, atau dianggap tidak becus mengurus anggota keluarga.
Prototype ideal dari potret kesalehan perempuan hari ini adalah mereka yang dapat bertanggung jawab sepenuhnya terhadap dirinya, dan keluarganya. Jika pun harus bekerja, ia haruslah tetap bekerja di rumah, jualan online misalnya, yang penting menghasilkan. Karena jika perempuan bekerja di luar rumah, masalah keluarga pasti akan terjadi. Begitu asumsinya.
“Memang jadi perempuan apalagi Ibu tuh idealnya tidak bekerja kantoran dll, karena pasti keluarganya akan terbengkalai. Lagian ngapain seh ambisius seperti itu, apa ga kepikiran anak-anaknya. Nanti kalau keluarganya berantakan baru nyesel. Fitrah terbaik kita sebagai muslimah salehah itu memang di rumah“. Begitulah respon beberapa kawan saya terkait domestifikasi perempuan yang selalu dihubungkan dengan kesalehan seseorang.
Sayangnya ekspresi kesalehan yang berkembang belakangan ini juga diwarnai dengan pemahaman keagamaan yang literal, konservatif dan eksklusif. Menjadi saleh kerapkali dihubung-hubungkan dengan ideologi tertentu yang justru menutup wacana dan pesan pesan pembebasan perempuan. Hal inilah yang membedakan bentuk kesalehan perempuan hari ini dengan misalnya sufi sufi perempuan abad pertengahan Islam. Meskipun tentu saja bentuk kesalehan keduanya sangatlah berbeda terkait dengan sejarah, tradisi dan nilai-nilai yang dianut. Meskipun secara sekilas kedua tradisi ini mempunyai kesamaan yang seringkali tidak mampu dibedakan oleh publik secara umum.
Seperti yang diungkapkan oleh Thibon Jean-Jacques dalam Women Mystics in Medieval Islam: Practice and Transmission ketika membahas tentang beberapa sufi perempuan yang saleh dan alim dalam sejarah Islam. Jacques mengangkat hikayat dan beberapa profil sufi perempuan abad pertengahan Islam yang dinilai cukup signifikan dan mempunyai karakter baik spiritual dan individual yang kokoh. Sufi sufi perempuan ini merupakan penyambung sekaligus penyemai pengetahuan dan tradisi sufisme yang justru memperlihatkan kegigihannya sebagai perempuan yang berdaya baik di ruang-ruang publik sekaligus domestik. Tingkat spiritualitas yang mampu dicapai para sufi ini tidak lantas membuatnya menarik diri dari aktivitas publik.
Fatimah al Nishapur (d. 223/838) adalah salah satu tokoh yang diangkat dalam artikel tersebut. Ia dikenal sebagai sufi perempuan yang paling masyhur di Khurasan yang hidup pada abad 9 M. As-Sulami, seorang master sufi kenamaan bahkan menyebutnya sebagai seorang Gnostik yang agung, bahkan dikisahkan Fatimah al- Nishapur sering dikunjungi oleh Syeikh ternama sufi Abu Yazid Al-Bistami (d. 260/874) dan juga sufi kenamaan Mesir Syeikh Dzul Nun Al-Misri (d. 245/859). Kedua sufi besar ini menyebut Fatimah sebagai perempuan suci utusan Tuhan dan dianggap sebagai guru dalam perjalanan spiritual mereka.
Fatimah al Nishapur dikenal seringkali melakukan perjalanan spiritualnya sendiri ke berbagai kota. Sesuai pengakuan Dzul Nun Al-Misri, Fatimah kerapkali melakukan perjalanan spiritual ke berbagai kota untuk berguru kepada para guru-guru sufi ternama di kota tersebut. Dzul Nun Al-Misri pernah menjumpainya saat ia melakukan perjalanannya (siyāha) sendiri di Jerussalem. Tak hanya berguru, Fatimah juga melakukan perjumpaan dengan masyarakat-masyarakat kurang beruntung di kota kota yang ia kunjungi untuk mengajarkan praktek dan nilai sufisme.
Siyāha merupakan pengembaraan yang dilakukan oleh seorang sufi ke berbagai wilayah yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan, praktek ini dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan perjalanan spiritualitas. Sufi-sufi perempuan saat itu lazim melakukan siyāha dalam waktu yang panjang dan sendirian di tengah keganasan alam dan juga ancaman yang berbahaya.
Sebuah pengakuan dari Al-Sulami juga mengabadikan cerita Umm al-Fadl, seorang sufi perempuan, yang datang ke Nishapur pada pertengahan abad ke sepuluh. Umm al-Fadl sedang melakukan pengembaraan dari kota ke kota untuk memperoleh pengetahuan dari para guru guru sufi ternama di kota tersebut yang kemudian ia transmisikan kepada murid-muridnya di tempat asal Umm al-Fadl.
Fatimah dan Umm al-Fadl adalah dua di antara banyaknya tokoh-tokoh sufi perempuan lainnya yang disebutkan Jacques tentang peran dan partisipasi mereka di ruang-ruang publik. Banyak di antaranya juga memiliki murid baik laki-laki dan perempuan, berperan aktif di sosial masyarakat, mendirikan lembaga pendidikan dan keilmuan, bahkan harus melakukan pengembaraan sendiri untuk mencapai level spiritualitas tinggi sebagai syeikhah. Saya kira fenomena perempuan saleh dan bepergian sendiri belakangan tentu tidaklah populer seiring dengan perkembangan dan pergeseran nilai yang ada di masyarakat Islam saat ini.
Kisah ini tentu saja menandakan beberapa hal terkait bahwa perempuan mampu memberikan keseimbangan porsi dalam kehidupannya dan memiliki ruang gerak yang sama dengan lelaki. Mereka memiliki ruang baik di dalam maupun di luar rumah. Namun sayang sekali, nama-nama sufi perempuan setelah abad 10 tak banyak lagi dituliskan dan dicatat. Kisah-kisah mereka masih ada, namun tak dapat lagi terdeteksi nama dan juga identitas perempuan-perempuan saleh yang menjadi kiblat keilmuan para guru guru sufi ternama.
Bahkan Ibn Arabi dalam perkataannya mengatakan bahwa maskulinitas dan feminitas adalah sebuah kecelakaan yang membedakan satu kesatuan alami manusia. Siapapun yang hendak menuju kesempurnaan sangat terbuka baik bagi perempuan dan laki-laki. Pernyataan ini bukanlah sebuah bentuk doktrin yang tanpa alasan, karena bagaimanapun Ibn Arabi dalam biografinya menjelaskan dengan tegas peran perempuan dalam perjalanan spiritualnya dan juga dalam tulisan tulisannya. Bagi syeikh al-akbar (Ibn Arabi) wujud sempurna kontemplasi Tuhan yang dapat dialami laki-laki adalah melalui figur spiritual yang menjelma menjadi Malāmatiyya yang diambil dari sosok Maryam binti Imran, sesuai apa yang dikisahkan dalam alqur’an.
Membicarakan tentang konsep kesalehan individu tentulah berbeda dari waktu ke waktu. Jika dalam pengertian dan tradisi sufisme abad pertengahan menjadi sufi perempuan atau menjadi perempuan saleh tak lantas membuatnya terputus dari relasi sosial masyarakat, sebaliknya kini menjadi perempuan saleh acapkali harus dihadapkan dengan hal-hal domestik. Sufi perempuan dahulu aktif mengajar tidak hanya perempuan namun juga laki-laki, menjalani uzlah, siyāha, dan praktek-praktek spiritual lain yang dilakukan oleh sufi laki-laki. Tak ada pembeda maupun doktrin kesalehan yang justru menekankan pada domestifikasi perempuan seperti halnya yang marak terjadi belakangan ini oleh pemahaman tekstualis dan konservatif yang kerapkali mempengaruhi gerakan keagamaan terkini.
Wallahu a’lam
Leave a Reply