Judul: Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan, penulis: Riyana Rizki, penerbit: Buku Mojok, jml.hlm: 156 hlm, thn. terbit: 2021, ISBN: 978-623-7284-62-8
Neswa.id-Sewaktu saya masih anak-anak, ayah selalu menceritakan dongeng tentang perempuan. Seperti Cinderella dan Putri Salju. Kehidupan perempuan dalam dongeng tersebut selalu berakhir indah. Para tokoh utama perempuan itu juga digambarkan dengan fisik yang sempurna. Sebenarnya, kehadiran tokoh tersebut justru terkesan menina bobokkan perempuan. Penggambaran tokoh tersebut adalah bukti bahwa perempuan tidak mandiri dan hanya hidup dengan modal menunggu keajaiban semesta.
Namun, saat menapak dewasa saya tahu dongeng itu hanya untuk menghibur saja. Kenyataannya, hidup perempuan tak pernah semudah itu. Bahkan beberapa perempuan dari kelas bawah yang tidak memiliki privilege, kehidupannya lebih sulit dari yang dibayangkan. Jangankan bermimpi menjadi seperti Cinderella atau Putri Salju, bisa bertahan hidup dari hari ke hari saja sudah cukup.
Membaca buku ini rasanya seperti dihadapkan dengan masalah-masalah yang kerap dihadapi perempuan di dunia nyata. Tulisan ini termasuk berani menampilkan masalah tergelap yang mengungkung perempuan.
Buku ini terdiri atas empat belas cerita. Segala problem perempuan sebagai makhluk kelas kedua tergambar dalam setiap cerita dalam buku ini. Misalnya pada judul pertama, penulis menghadirkan kisah bagaimana sesaknya perempuan dengan beban stigmatisasi yang ia hadapi.
Ketika hidup tak memberinya banyak pilihan, perempuan jatuh pada kondisi terburuk yang sebenarnya tak ia inginkan. Jangankan berhasil memilih, masih waras hingga esok hari saja rasanya sudah baik. Sayangnya, dalam keadaan yang begitu terpuruk, ia justru jadi pergunjingan masyarakat. Berbagai stigma miring mengiringi setiap langkahnya. Bagi masyarakat di sekitarnya ia dianggap tidak lagi bernilai.
Kekerasan seksual yang jadi hantu sebagian besar perempuan digambarkan dengan apik pada judul ketiga dengan kehadiran sosok May. Sudah jadi korban pelecehan, masih saja perempuan yang disalahkan. Ia dituduh sengaja menggoda. Bahkan ada yang pura-pura tidak tahu padahal ia menjadi saksi mata.
Persis seperti apa yang dihadapi korban pelecehan di dunia nyata. Justru korban yang disalahkan karena dianggap memakai make up terlalu tebal, memakai baju terbuka, dan mau saja keluar malam.
Tidak adanya perlawanan dari korban juga membuat orang menuduhnya bersedia dilecehkan. Padahal, ada momen ketika tubuh korban memang hanya bisa membeku, terdiam, dan kaku dan tidak bisa melakukan perlawanan apapun. Meskipun sebenarnya, ia ingin sekali memberontak.
Dalam bagian lain, diceritakan pula betapa tertindasnya perempuan dalam suatu relasi. Suaranya tak didengar. Ia juga tak bisa memilih mau menikah dengan orang seperti apa. Bapaknya yang merasa memilikinya memaksanya untuk menikahi seorang laki-laki yang sudah beristri dua. Dalam perjalanan selanjutnya, bahkan suaminya ingin menikah lagi dengan gadis muda. Sungguh menyedihkan. Sebegitu terpuruknya memang nasib perempuan yang tak punya privilege pengetahuan dan support sistem. Hidup yang ia jalani bukan lagi miliknya.
Cerita-cerita dalam buku ini memang getir. Tapi sewaktu membacanya saya seolah ingin berteriak, “Yes! Akhirnya ada juga penulis perempuan yang berperspektif ramah perempuan!” batinku.
Biasanya, di media cetak maupun online sering sekali kita menemui cerita yang sangat tidak adil kepada perempuan. Dalam cerita-cerita tersebut, bukannya menghadirkan dukungan dan ruang aman bagi perempuan. Yang ada justru melanggengkan stigmatisasi bagi para perempuan. Tak jarang, cerita-cerita itu menggunakan istilah perawan tua, janda muda, pelakor, dan lain sebagainya.
Tak sedikit pula cerita yang justru mengobjektifikasi perempuan. Menggambarkan perempuan sebagai makhluk seksual yang perannya hanya untuk memuaskan laki-laki. Ada juga yang mengglorifikasi perempuan penurut tanpa ada kesempatan untuk menyampaikan pendapat adalah sebaik-baiknya istri.
Ketika membaca cerita-cerita sejenis itu, saya merasa muak. Seolah-olah kami perempuan digiring pada tujuan untuk memuaskan persepsi publik tentang perempuan. Perempuan ada hanya untuk menyenangkan orang lain. Bukan untuk dirinya sendiri.
Cerita-cerita yang dibawakan oleh Riyana Rizki terasa kuat. Hal itu karena cerita yang membawakan problem tentang perempuan dituliskan oleh seorang penulis perempuan yang berperspektif ramah perempuan pula. Itulah mengapa ketika saya menemukan buku ini saya bersorak dalam hati.
Tak ada salahnya dengan cerita-cerita yang cenderung gelap dalam buku ini. Justru lewat buku inilah publik bisa membuka mata. Bahwa jalan terjal yang dilalui perempuan itu selalu ada. Lewat buku inilah, para perempuan yang terpinggirkan, menjadi korban pelecehan seksual, manipulasi, perdagangan manusia, menjadi terwakilkan suaranya.
Sungguh, kita perlu buku-buku cerita yang seperti ini. Buku cerita yang tidak hanya menampilkan keindahan sekaligus kebohongan dalam diri perempuan. Akan tetapi tulisan yang berani menampilkan cerita betapa terjalnya jalan yang dilalui perempuan. (IM)
Leave a Reply