Judul Buku : Kemanusiaan pada Masa Wabah Corona
Penulis Buku : 110 Penulis Satupena
Penerbit Buku : Balai Pustaka
Cetakan : Tahun 2020
Tebal : xx + 920 Halaman
Buku ini terbit sebagai respon terhadap munculnya wabah Covid-19 yang sangat mencemaskan masyarakat dunia. Terdiri dari esai, opini, feature, dan puisi yang ditulis oleh penulis-penulis anggota SATUPENA. Buku yang bermaksud membawa pembaca mengetahui tentang wabah Covid-19 dari sudut pandang berbeda-beda, membawa kita untuk belajar dan mengenal tentang berbagai hal.
Virus adalah sebuah makhluk tak kasat mata, tapi efeknya sangat terasa luar biasa. Ia hanya bisa hidup dengan menempel pada inangnya. Virus baru bisa diidentifikasi pada tahun 1892 oleh Dmitri Ivanovsky seorang botanis dari Rusia. Pandemi Covid-19 bukan wabah rutin, melainkan menyebar dengan cepat menjangkau seluruh dunia. Penyebabnya jenis baru yang tidak sepenuhnya baru, karena sekitar tahun 2009 di 29 negara juga terjadi hal semacam ini yang dinamai SARS-CoV-1 kemudian Covid-19 yang dinamai dengan SARS-CoV-2, diperkirakan berasal dari kelelawar.
Tak hanya wabah Covid-19 yang begitu dahsyat terjadi di bumi ini, bencana yang lain juga pernah melanda. Sekitar tahun 1000 terjadi bencana meletusnya gunung Merapi yang sangat dahsyat dan membuat kerajaan Mataram Hindu dari Yogyakarta pindah ke ujung timur pulau Jawa. Dalam arsip Belanda juga ditemukan soal wabah dan bencana, mulai dari samapar, pes, penyakit kelamin, flu Spanyol, kolera, juga ditambah meletusnya gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Dari berbagai peristiwa yang terjadi, seharusnya kita sudah bisa mengantisipasi dan tidak perlu kaget. Namun yang terjadi tidak demikian, seluruh masyarakat dunia merasa was-was dengan wabah COVID-19 ini.
Tak hanya membawa kita mengenal tentang virus, buku ini juga membawa kita mengetahui keadaan ekonomi dunia masa pandemi ini. Covid-19 membuat ekonomi dunia nyaris runtuh. Hampir semua bisnis berhenti bergerak. Hotel tak ada tamu, pesawat tak ada penumpang, mobil tak ada yang beli, kafe tak ada yang datang, taksi tak ada penumpang, ojol hanya mengandalkan pesanan makanan, pengusaha megap-megap. Begitu luar biasa efek ekonomi yang disebabkan Covid-19 ini, sampai-sampai majalah The Economic pun menyebutnya dengan Coronanomics karena Covid-19 telah menghentikan aktivitas manusia secara massif, padahal manusialah yang menggerakkan bisnis.
Begitu khawatir dan cemas, pemerintah di seluruh negara sibuk menyelamatkam ekonomi negara masing-masing dengan memberikan stimulus. Amerika mengeluarkan stimulus 30 triliun atau 11 persen PDB. Jepang tak mau kalah, negara ini mengeluarkan USS 990 miliar atau 20 persen PDB. Tak hanya itu, negara Uni Eropa juga ikut merencanakan mengeluarkan dana stimulus sebesar USS 543 miliar, disusul Indonesia dengan mengeluarkan stimulus sebesar 450 triliun.
Menurunnya roda ekonomi karena Covid-19 ini juga diberengi dengan kenaikan jumlah kemiskinan. Ini terjadi karena banyaknya perusahaan kesulitan keuangan, sementara salah satu opsi mesti ditempuh yaitu merumahkan (PHK). Belum lagi sektor informal yang rawan terimbas di mana mereka tak ada penghasilan yang akhirnya menambah bengkaknya angka kemiskinan.
Sektor formal dan pekerja harian tak kalah mengerikan. Kementerian Tenaga Kerja mencatat per 7 April 2020, dampak pandemi Covid-19 untuk sektor formal yang dirumahkan dan di-PHK sebanyak 39.977 perusahaan. Sementara jumlah pekerja, buruh, dan tenaga kerja harian yang terdampak sebanyak 1.010.579 orang. Selain itu data yang disodorkan CORE (Center of Reform on Economic) menunjukan bahwa penduduk hampir miskin atau rentan miskin mencapai 64,28 juta jiwa pada 2019.
Perlu langkah-langkah konkret agar jumlah orang miskin tidak bertambah. Pertama, mengoptimalkan alokasi dana jaring pengamanan sosial dalam dana stimulus corona. Kedua, menjaga inflasi agar tidak terjadi seperti tahun 1998. Ketiga, menjaga kurs rupiah agar tidak jatuh terlalu dalam. Keempat, jangan sampai terjadi panic buying. Kelima, perlu adanya ekonomi berbagi. Kegiatan ini sangat perlu karena jika mengandalkan pemerintah saja, penangan kasus ini memerlukan waktu yang lama. Masyarakat harus terlibat dalam hal ini, meningkatkan rasa solidaritas sesama baik lingkup nasional maupun lingkup dunia dan bergerak bersama untuk mencegah dan menanggulangi lonjakan kemiskinan akibat Covid-19.
Tak hanya mengenai tentang virus yang sangat mematikan berikut dampak ekonominya, melalui wabah Covid-19 ini kita dituntut untuk bisa survive dalam melewati masa-masa sulit. Kita harus mengubah semua kebiasaan yang kita lakukan saat keadaan normal. Bekerja dari rumah, belajar secara daring, menghindari kerumunan massa, menjaga imunitas biar tetap kuat, selalu berolahraga, menjaga kebersihan, cuci tangan, memakai masker, cek suhu tubuh, jaga jarak, dan sebagainya. Layaknya sebuah peradaban dan kebijakan baruyang mana hal demikian secara logika baru bisa terbentuk dalam jangka waktu lama, sejak adanya wabah Covid-19 peradaban itu muncul dengan sangat cepat dan menyangkut semua umat manusia penghuni bumi. Wabah ini membuat hubungan manusia berbahaya untuk manusia lain. Tradisi, tata krama, sopan santun, juga ritual ibadah dalam sekejap semua berubah total. Perilaku yang dulu dianggap ODC, sekarang menjadi perilaku yang dinilai benar. Wabah itu benar-benar memunculkan tradisi dan perilaku yang baru, cara manusia berinteraksi sosial, bahkan pola dalam berbelanja juga berubah, tidak lagi banyak dilakukan secara langsung.
Dari semua tulisan yang ada di buku tersebut, poin pentingnya adalah bagaimana nilai kemanusian sesama manusia diudarakan sebagai sesuatu yang sangat penting dilakukan oleh semua orang dalam menjalani kehidupan di masa wabah Covid-19. Berbagai macam bentuk solidaritas, yakni dengan gotong-royong, ruwat-rawat bumi, melakukan doa bersama, tolong menolong antar sesama, dan masih banyak lagi.
Buku Kemanusiaan Pada Masa Wabah Corona ini bisa menjadi referensi bagi pembaca dan masyarakat Indonesia serta kemanusiaan universal, karena ditulis oleh para penulis profesional yang bekerja sebagai ilmuwan, dosen, peneliti, ahli biografi, penulis buku anak, penyair, hingga agamawan dari berbagai usia. Selain itu, buku ini merupakan buku yang terbilang buku generasi awal yang menyinggung tentang Covid-19 dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Akan tetapi, perlu ada tulisan seri selanjutnya, karena buku ini termasuk buku yang tergolong awal dan terbit di tengah-tengah pandemi. Oleh karena, informasi yang terangkum dalam buku ini masih belum sepenuhnya mengandung informasi keseluruhan tentang Covid-19, yakni bagaimana akhir dari pandemi dunia ini membentuk sebuah dunia baru.
Leave a Reply