,

Kekerasan Seksual di Pesantren (lagi)

/
/


Pesantren bukan sekedar tempat belajar, ia adalah rumah bagi para santri. Hampir 24 jam para santri menempati lingkungan pesantren. Antara santri satu dengan lainnya adalah teman, sahabat, saudara—bahkan terkadang memiliki ikatan melebihi saudara sedarah. Sebagai lembaga pendidikan—ruang belajar dan bertumbuh-kembang, sudah semestinya pesantren menghadirkan ruang aman bagi penghuninya, terutama bagi para santri. Ruang aman yang bebas dari segala bentuk kekerasan—kekerasan verbal, non verbal, serta kekerasan seksual.

            Kasus kekerasan seksual—pelecehan, pencabulan, pemerkosaan di salah satu pesantren tahfiz Jawa Barat dan salah satu pesantren di Jombang yang viral, adalah puncak gunung es dari kasus-kasus kekerasan seksual lainnya yang demikian banyak dan sebenarnya lebih kompleks nan dalam. Barangkali masih banyak kasus lain yang korban takut melapor menimbang segala risikonya—trauma yang masih mencekam, dianggap tidak lagi suci oleh masyarakat, atau relasi kuasa pelaku.

            Kasus kekerasan seksual di pesantren menjadi menarik karena pelaku merupakan pengasuh pesantren dan menjerat korban yang merupakan santrinya. Pelaku menggunakan kekuasaanya dan menggunakan dalil-dalil agama agar perbuatan biadabnya tampak suci nan mulia. Bertopeng pada dalih murid harus menaati guru. Memanfaatkan masyarakat yang mengkultuskannya. Memanfaatkan sempitnya akses korban dengan dunia luar dan keluarganya.

            Lalu, apa langkah pesantren selanjutnya mengenai ada hal yang tidak beres dalam tubuhnya? Dengan penuh takzim, berikut saran saya:

Pertama, mendeklarasikan Pesantren Anti Kekerasan Seksual. Beberapa orang khawatir marwah pesantren akan jatuh karena kasus ini. Takut kepercayaan masyarakat menurun terhadap pesantren. Ketakutan ini semakin membesar ketika munculnya kasus di pesantren Jombang dengan ribuan pengikutnya. Ketakutan ini malah menimbulkan komentar “jangan dibesar-besarkan kasus ini”. Padahal awalnya, kasus ini tidak terlalu tersorot, hanya saja ketika berkas telah lengkap, penangkapan pelaku teramat sulit sejak 2019.

Memang jauh lebih banyak pesantren yang berupaya menjaga dan memberikan yang terbaik untuk para santrinya. Maka sikap agar marwah pesantren tidak jatuh, jangan malah menampiknya, namun mengevaluasianya. Sebaiknya, sebagai langkah awal, seluruh pesantren melakukan seremoni, deklarasi, komitmen, janji bahwa pesantren adalah ruang aman dan ramah bagi santrinya—anti kekerasan seksual. Sebagimana ada Hari Santri Nasional yang menyuarakan harmoni keagamaan dan nasionalisme untuk merespons kemunculan gerakan keislaman yang menentang NKRI, deklarasi pesantren anti kekerasan seksual juga merespons konteksnya.

Kedua, pendidikan Seksual bagi Santri. Sudah saatnya pendidikan seksual diajarkan pada semua kalangan, termasuk santri. Selain pengetahuan kesehatan reproduksi, gender, dan hak asasi manusia—pendidikan seksual juga meliputi pengenalan dan penanganan kekerasan seksual. Di sini santri perlu ditekankan, tidak ada perbuatan cabul, pelecehan, pemerkosaan yang barokah dan mendatangkan pahala. Santri juga perlu mewaspadai kekerasan seksual berbasis gender dan berbasis kuasa.

Saya rasa perlu para ulama menyusun buku pendidikan seksual berdasar khazanah agama Islam secara kontekstual. Selanjutnya, disebarkan melalui pengajian, seminar, dan kelas di pesantren-pesantren. Di sini perlu peran pemerintah untuk mengawasi para pemimpin pondok agar mendukung program tersebut.

Semoga masyarakat semakin sadar akan kekerasan seksual. Tidak menjadi pelaku, tidak diam ketika menjadi korban, dan tidak merundung korban. Manusia adalah sebaik-baik ciptaan Tuhan. Jangan sampai merasa berkuasa atas manusia lain, atau menyalahgunakan kuasa sehingga melakukan kekerasan. Nafsu yang rakus, jika tidak diruwat, maka akan menggonggong, menggigit kita, menjerumuskan kita pada perbuatan tercela.

Wallahu a’lam



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *