Ini malam terakhir kamu di kotaku, makan malam ini seharusnya kita habiskan dengan cara-cara membahagiakan. Bukan untuk memperdebatkan hal yang sama tanpa ada ujungnya.
“Ibu”, aku menatapmu. Mata kita bertemu. “Mama masih punya Papa dan kedua adikmu. Sedangkan ibuku?” Kamu tahu betul bagaimana perasaanku setiap kali menyebut nama .bu dalam perbincangan kita.
***
Di rumah, aku hanya berdua dengan ibu. Setiap kali ibu bercerita tentang Bu Siti, tetanggaku yang sudah tua dan sakit-sakitan tapi tidak ada satu pun anaknya di sampingnya, mata ibu berkaca-kaca. Aku orang pertama yang menyaksikan kesedihan itu. Ketika ibu nonton TV, ada orang tua hidup sendiri dalam kepayahan tanpa satu pun anak atau saudara, mata ibu basah. Aku juga orang pertama yang menyaksikan kesedihan itu.
Kegelisahan ibu tampak begitu nyata ketika mengetahui anak tunggalnya—aku—memiliki hubungan khusus dengan laki-laki jauh di luar kota sana—kamu. Tidak mudah bagiku bercerita tentang hubungan kita kepada ibu. Aku harus siap menatap matanya yang sebenarnya sedih tapi disembunyikan. Meski demikian, ibu tidak menolakmu. Jika kamu yakin orangnya adalah dia, melangkahlah, begitu kata ibu. Ibu tidak menahanku. Ibu juga tidak tergesa-gesa bertanya nantinya aku akan tinggal di mana.
Jauh sebelum aku mengenalmu, ibu memintaku kalau bisa menikahlah dengan laki-laki yang satu kota saja. Ya, tiga kali aku menjalin hubungan dengan laki-laki sekotaku dan tiga kali pula gagal. Kehendak Tuhan sangat mengejutkan. Saat semua terasa cocok sesuai yang diidamkan, kenyataan terjadi berkebalikan.
Prediksi-prediksi kita memang sungguh rapuh. Tidak ada yang paling pantas ditertawakan, dengan lantang atau diam-diam, kecuali kehidupan kita sendiri.
Setelah putus dengan laki-laki ketiga itu, sebenarnya hari-hariku berat. Kalau ada yang mengatakan putus cinta rasanya biasa saja aku bisa menjamin orang itu tidak pernah benar-benar jatuh cinta. Aktivitasku berantakan, hidupku tiada tujuan. Datar. Lalu kamu datang. Entah kamu atau aku yang datang. Kita bertemu di kesempatan yang biasa saja, tapi aku tak pernah menduga kita akan saling jatuh cinta.
Waktu itu, dua tahun lalu, ketika aku ditugaskan workshop ke kampus tempatmu bekerja, aku mengkritik habis-habisan panitia yang menyelenggarakan acara. Bagaimana tidak, acara harus dimulai pukul delapan tapi pukul sepuluh baru dimulai. Kata panitia, acara itu tidak bisa dimulai karena kamu belum datang. Kamu pengisi materi waktu itu. Pemateri payah, kataku pada panitia.
Malamnya ada nomor asing mengirim pesan menyebalkan ke nomorku. Ternyata kamu. Entah dari siapa, kamu tahu aku membuat keributan dengan panitia. Orang sibuk macam kamu bagaimana bisa ikut campur dengan urusan panitia? Seluang itukah waktumu menanggapi protesku? Malam itu sungguh kamu merusak mood-ku.
Besoknya kamu mengirim pesan lagi. Ya, debat terjadi lagi. Seharusnya sikap tidak peduli menjadi jalan perdamaian untukku. Tapi jika boleh jujur, aku menikmati perdebatan kita. Haha.
Aku mulai khawatir dengan diriku sendiri ketika waktu demi waktu aku menemukan sesuatu yang lain, yang menarik dari dirimu. Aku tidak beres, pikirku. Itukah awal Tuhan menemukan titik temu?
Dalam dua tahun hubungan kita, kamu yang lebih sering bertanya bagaimana kabar ibu sebelum aku menceritakannya. Tahukah kamu, aku selalu bahagia dengan pertanyaanmu tentang ibu. Lalu aku ganti yang bertanya bagaimana kabar Mama dan Papamu. Lalu kamu menjawab Mama dan Papa sudah tak sabar mengunjungi calon menantunya di Kudus. Aku tertawa, kamu tertawa. Semua indah begitu saja.
Setelah itu, ketika kamu mengatakan sudah yakin denganku dan memintaku untuk menjadi pendamping hidupmu, kita mulai sering bertengkar. Apa-apa yang kusampaikan rasanya membuatmu keberatan.
“Setelah kita menikah nanti, bagaimana kalau kita tinggal di Jakarta?”
“Maksudmu apa?” Batinku tidak karuan.
Dua tahun hubungan kita kamu masih mempertanyakan kita tinggal di mana? Beberapa hal terjadi di dunia ini memang untuk sia-sia. Seperti telingamu yang selama ini menyimak semua ceritaku dengan saksama, seperti juga kalimat-kalimat menenteramkan dari mulutmu yang keluar begitu derasnya, untuk sia-sia.
Kamu seharusnya orang yang paling tahu aku tidak bisa jauh dari ibu. Kamu seharusnya orang yang paling mengerti bahwa mendampingi ibu di hari tuanya dan memastikan ibu baik-baik saja adalah prioritasku.
Kamu orang yang paling kuharapkan untuk meyakinkan bahwa prioritasku pada ibu dan pada kamu tidak berbenturan. Aku yakin kamu laki-laki berwawasan terbuka dan demokratis. Kamu bukan laki-laki yang suka berteriak, kewajiban istri begini, begini, dan begini. Tidak boleh begitu, begitu, dan begitu. Tidak. Kamu bukan lelaki yang akan menjudge aku sebagai istri yang berdosa karena tidak bisa mengikutimu tinggal di Jakarta, tapi kamu lelaki yang menyukai diskusi, menyukai kesepakatan, menghargai pendapat, dan keadaanku sebagai istrimu kelak. Aku yakin. Namun kenapa sekarang jadinya begini?
Mama. Mama menyukaiku, katamu. Namun restu Mama menjadi tidak utuh karena keberatan kamu meninggalkan Jakarta? Jika kamu jadi aku, aku harus bagaimana?
***
Suasana cafe lebih sepi dibanding tadi, tapi gemuruh dalam dadaku makin riuh. Aku ingin malam ini kita mengakhiri percakapan dengan kesepakatan-kesepakatan. Jalan kita belum benar-benar buntu, kan?
Kamu meremas rambutmu berkali-kali sejak tadi.
“Rambutmu tidak rapi. Sudah saatnya dipotong.” Kalimatku keluar jauh dari topik pembahasan kita. Aku jenuh.
Kamu tersenyum. Senyum itu yang tidak mampu aku lihat jauh-jauh. Aku ingin kita selalu dekat begini.
“Aku ingin selalu tidak rapi biar bisa diingatkan kamu setiap waktu,” katamu dengan tatapan mata yang paling erat mengikat pandangan mataku.
“Bagaimana caranya aku mengingatkanmu setiap waktu sedangkan kita jauh?”
Kamu tidak menjawab. Beberapa jam lagi kamu pulang ke kotamu. Bagaimana kita selanjutnya? Jalan mana yang terbaik untuk kita?
“Jadi sebenarnya, karena Mama?” tanyaku.
Apakah kamu pernah dengar, seorang ibu adalah kekuatan juga kelemahan bagi anaknya? Ujian kita sama. Perbedaannya cuma satu. Mamamu meminta terang-terangan sedangkan ibuku memilih menyimpannya dalam-dalam.
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk kita.”
“Apa yang terbaik?”
Kamu diam. Aku menyaksikan ketegasan di matamu meredup.
“Kita tidak bisa menikah.” Aku mengucapkan kalimat itu dengan perasaan sakit yang teramat.
“Maksudmu? Kamu ngomong apa? Kita akan tetap menikah.” Benarkah matamu sekarang berkaca-kaca?
“Aku tidak bisa tinggal di Jakarta, Mas. Aku juga tidak bisa menikah jika restu Mama setengah-setengah. Kalau Mama meminta kita tinggal di Jakarta, sepertinya memang lebih baik aku mundur. Kalau di awal pernikahan kita harus jarak jauh karena tanggung jawabmu di kampus, aku bisa menunggu sampai urusan mutasimu selesai. Tapi kalau permasalahan ini berkaitan dengan Mama kenapa aku tidak yakin? Kita butuh waktu berapa lama lagi membahas ini?”
Cafe makin lengang. Lagu Sampai Jadi Debu Banda Neira mengalun pelan tapi menyayat. Satu jam lebih kita di sini. Pembahasan kita belum juga menemukan titik terang. Air di mataku makin menggenang.
“Apa kamu pikir aku egois?”
Kamu menggeleng. Sekali lagi kamu menggeleng. “Satu syarat itu, kamu memang berhak mengatakannya.”
Jawabanmu bijak, tapi dadaku sesak.
“Beri aku waktu untuk memberi pengertian pada Mama, lalu mengurus kepindahan juga tugas-tugasku yang belum selesai. Aku akan melakukan yang terbaik untuk kita. Doakan. Aku akan tinggal di sini. Jika memang di awal pernikahan kita harus jarak jauh, aku pastikan sesering mungkin pulang ke Kudus.”
“Iya.”
“Doakan kita.”
“Iya.”
“Kita bisa.”
“Semoga.”
Udara semakin dingin. Di luar sana orang-orang mengatakan hubungan jarak jauh adalah cara terhebat merawat rindu. Namun kenyataan tidak sepuitis itu.
Kamu harus pulang. Tugas kita selanjutnya merindu lagi dan lagi. Untuk jalan jauh yang akan kita tempuh, kepada Tuhan yang menumbuhkan rindu kita bersimpuh.
Leave a Reply