Selain menunjukkan sikap asli seseorang, pandemi juga menunjukkan betapa kehadiran guru secara langsung sangat dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar.
Kita tahu selama pandemi ini ada sebagian orang yang berusaha mencari keuntungan dari penderitaan orang lain dengan cara menimbun ribuan masker atau memborong ratusan hand sanitizer. Sementara itu, beberapa wali murid mulai mengeluhkan kegiatan pembelajaran jarak jauh.
Beberapa yang saya ketahui — baik dari status WhatsApp saudara saya maupun pengalaman pribadi, sebagian wali murid mengeluhkan bahwa anak-anaknya mulai kecanduan telepon genggam. Seharian penuh mereka menghadap layar.
Sebagian lagi menyatakan bahwa beberapa anak mulai jenuh dan merindukan suasana kelas sebagaimana sebelum pandemi terjadi. Mereka merindukan suasana kelas yang selalu riuh. Juga, ada beberapa yang mengeluh karena tidak bisa mengontrol anak-anaknya.
“Anak-anak lebih mendengarkan bapak/ibu daripada saya.” Demikian tutur salah seorang wali murid.
Ada pula yang membantah orang tuanya. Seorang teman yang mengajar di salah satu SD menceritakan bahwa muridnya membantah saat orang tuanya mengatakan bahwa 1+3=4. Katanya, hal itu tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh gurunya. Ternyata ketika ditelusuri sang guru pernah mengatakan kepada anak tersebut bahwa angka 4 adalah hasil dari 2+2, bukan 1+3.
Saya sendiri juga mengalami kendala saat menyampaikan materi secara daring (dalam jaringan). Akibat jaringan seluler yang belum merata ke berbagai daerah, beberapa anak terpaksa mengikuti kegiatan belajar dengan tidak maksimal.
Pada akhir tahun ajaran kemarin, saya menyelenggarakan ujian secara lisan. Di tengah-tengah ujian sambungan internet salah satu siswa terputus. Sesaat kemudian dia menghubungi saya dan mengatakan bahwa kondisi sinyalnya sedang buruk. Kami pun mencoba menyambungkannya kembali sampai beberapa kali.
Karena kondisinya benar-benar tidak memungkinkan, kami berdua menyerah. Pada akhirnya saya memberikan nilai kepada anak tersebut dengan pertimbangan lain.
Aplikasi seperti WhatsApp, Zoom, Face Time, dan Skype memang menghubungkan kita dengan orang lain. Namun, sejauh ini saya tidak menemukan ikatan yang sama seperti yang saya rasakan ketika bertemu langsung dengan para siswa.
Begitu pula dengan mesin pencari dan aplikasi Youtube yang menyediakan segudang informasi. Kita bisa saja menyelaminya tanpa batas. Tapi, tanpa kehadiran guru, kita akan kewalahan memilah dan memilih mana yang layak atau tidak untuk kita serap.
Menurut saya, baik guru maupun lembaga pendidikan bukanlah sekadar tempat berpindahnya ilmu. Lebih dari itu, sekolah dan isinya merupakan tempat bagi berkembangnya jiwa seorang anak.
Ada teladan dan perhatian yang diberikan oleh seorang guru “secara langsung” kepada para siswa dalam proses tersebut. Itulah sebabnya dalam istilah arab terdapat perbedaan yang cukup spesifik antara ta’lim, tadris, ta’dib, dan tarbiyah.
Dengan sambungan internet kita memang bisa bertatap muka dengan para siswa. Namun, agaknya hal-hal di atas bakal lebih sulit tersampaikan dan ditiru oleh mereka tinimbang saat kita bertemu langsung.
Saya sendiri menemukan teladan semacam itu sewaktu masih duduk di bangku sekolah. Kala itu saya tinggal di asrama dan kebetulan bukan seorang siswa yang rajin. Berkali-kali saya membuat masalah sehingga orangtua saya harus menghadap kepala sekolah. Jauh-jauh dari Yogyakarta menuju Jawa Tengah hanya untuk mengurusi kebandelan anaknya.
Seingat saya, salah satu pelanggaran berat yang pernah saya lakukan adalah menjadi joki hafalan bait Alfiyah (bait yang berisi penjelasan gramatika bahasa arab yang digunakan sebagai syarat kenaikan kelas) seorang teman.
Penguji mengetahui tanda tangan kami yang berbeda lantas melaporkannya kepada komite sekolah. Akhirnya kami berdua mendapatkan skors. Sekali lagi melakukan kesalahan, saya harus keluar dari sekolah.
Setelah kejadian tersebut, ibu guru saya menasehati banyak hal. Waktu itu saya tidak begitu mendengarkannya. Bahkan, kalau tidak salah ingat, saya cenderung acuh (kurang ajar sekali). Meskipun demikian, ada dua hal yang tidak bisa saya lupakan dan masih saya contoh sampai sekarang, yakni: perhatian dan kesabaran beliau ketika menghadapi kenakalan saya.
Pada penghujung tahun saya memilih untuk pindah sekolah daripada harus mempermalukan beliau dan orang tua saya lagi. Meskipun demikian hubungan kami masih terjalin dengan baik.
Bahkan setelah 13 tahun berlalu, saya tetap memperoleh kesan yang sama terhadap beliau. Ada rasa sungkan, canggung, dan senang ketika bertemu dengannya. Keteduhannya yang luar biasa itu selalu membuat saya malu.
Ibu guru saya memiliki semua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik. Mulai dari kepiawaiannya dalam menyampaikan pelajaran, kemampuannya untuk mengetahui potensi anak didik, dan kecakapannya dalam mengkondisikan kelas. Tetapi beliau lebih memilih untuk menunjukkan kesabarannya di hadapan saya. Dan justru hal itulah yang menancap kuat di kepala saya.
Sekali lagi, di sini lah pentingnya kehadiran guru dalam memberikan teladan bagi anak-anak didiknya. Beliau lah yang membuat saya yakin bahwa pertama-tama dan yang paling utama dibutuhkan oleh anak-anak adalah kesabaran dan ketelatenan dari gurunya.
Lalu, apakah dengan demikian saya menolak kehadiran sistem pembelajaran daring? Tentu saja tidak. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya tetap harus berterima kasih kepada perkembangan teknologi yang terjadi selama dua dekade terakhir ini. Hanya saja jika saya bisa memilih, saya lebih tertarik untuk menyampaikan materi secara langsung di dalam kelas.
Sebab, sebagaimana dalam kaidah ushul fiqh, apabila sesuatu tidak bisa dilakukan sepenuhnya bukan berarti hal tersebut ditinggalkan sepenuhnya. Atau dalam istilah jawanya: timbangane ora.
Leave a Reply