Judul : Layla Majnun
Penulis : Syekh Nizami
Penyadur : Umu Kusnawati dan Lathifatul Izzah
Penerbit : Diva Press
Terbit : Maret 2020
Tebal : 224 Halaman
ISBN : 978-602-391-900-0
Siapa yang tak mengenal Layla dan Majnun? Kendati tak tahu persis keseluruhan jalan cerita mereka, kiranya hampir semua orang tak asing dengan dua nama itu. Kisah yang menceritakan sejoli Qays dan Majnun itu sedemikian fenomenal, dibaca sepanjang zaman, dan dikenang sebagai kisah roman yang, boleh dianggap, bersisian dengan kisah Romeo and Juliet.
Memang, kedua karya ini tidak datang di satu masa yang sama, bahkan mereka lahir di tanah dan oleh tangan yang sama sekali berbeda. Kisah Layla dan Majnun karya Syekh Nizami, lahir sebagai buah kesusastraan Persia, dan diperkirakan ditulis pada abad ke-12. Sementara Romeo and Juliet karya William Shakespeare, kita tahu, adalah kisah termoncer dalam kesusastraan Inggris, dan ditulis dalam kisaran waktu abad ke-17.
Namun begitu, ada anggapan yang mengatakan bahwa Shakespeare, sewaktu menuliskan dramanya tersebut, sempat terinspirasi oleh kisah Layla dan Majnun ini. Terlepas benar atau tidaknya hal itu, yang pasti, kedua kisah ini memang memiliki ciri yang hampir serupa, yaitu menunjukkan kisah tragis akibat hubungan asmara.
Namun, keduanya jelas memiliki perbedaan, sebab di dalam Layla dan Majnun, cinta diwartakan dalam sebuah obsesi tingkat tinggi yang tarafnya setara dengan kegilaan. Berlandaskan cinta, batas-batas nalar dan rasionalitas manusia ditembus serta diabaikan. Di tangan Syekh Nizami, cinta mencapai tingkat rasa yang puncaknya tak bisa diterima dengan akal sehat.
Kegilaan itu, sebenarnya, bermula dari kesederhanaan saja: Keengganan untuk mengutarakan perasaan. Saling memendam perasaan inilah yang membuat segalanya menjadi runyam. Bila saja Qays sejak bertemu Layla di madrasah itu percaya diri mengutarakannya, tentu ia tak bakal tenggelam dalam lubang cinta yang menjadikannya lupa akan segala hal. Qays datang dari keluarga kabilah yang cukup terpandang, begitu pun dengan Layla. Orang tua mereka memiliki kekayaan dan pengaruh yang bisa dibilang sama-sama kuat.
Namun, karena cinta Qays kepada Layla tak ditunjukkan dengan jalan yang lazim bagi masyarakat kala itu—melamar. Sebaliknya ia mengabadikan cintanya dalam syair-syair yang kerap ia lantunkan seorang diri. Masyarakat sekitar termasuk orang tua Layla, terlanjur menganggap Qays orang yang gila dimabuk cinta. Bagi orang tua Layla, ia sama sekali tak rela menyerahkan putrinya itu kepada Qays.
Dari situ, kepelikan hubungan keduanya menemukan titik mulanya. Qays yang hanya peduli dengan cintanya kepada Layla, kemudian jadi mengabaikan hidupnya. Terlebih, sesaat mengetahui penolakan secara tak langsung orang tua Layla kepadanya.
Syekh Mizami menggambarkan, “Maka, ia pun mengembara untuk mencari obat hati, sembari bibirnya melantunkan syair-syair. Syair-syair tersebut keluar dari jiwanya yang sedang terluka. Syair yang terangkai hendak menceritakan kepada dunia, pada malam-malam nan hening, pada rembulan dan bintang-bintang tentang jiwanya yang sedang tercabik-tercabik. Pada mereka semua ia kabarkan bagaimana jeruji cinta telah mengekangnya dan bagaimana kerinduan telah memadamkan harap dan mimpinya (Hlm 21).”
Atas apa yang Qays lakukan itu, orang-orang pun lantas menjulukinya Majnun, atau Si Gila. Sebab tindakan Qasy memang di luar akal sehat manusia. Cinta Qays adalah manifestasi keluhuran perasaan sekaligus kegilaan yang mendapat tempat di waktu yang bersamaan. Bagi yang mengerti perasaan itu, mereka bakal kagum akan betapa luhurnya rasa cinta Qays yang meruntuhkan soal hal lain menyangkut kehidupan. Ia seperti sufi yang begitu mendamba dan mencintai pujaan hati-Nya sampai menanggalkan segala hal keduniawian. Dan sebaliknya, di mata orang-orang awam, perasaan Qays tak lebih sebagai buah obsesi berlebihan yang merusak jaringan otaknya.
Lantas, bagaimana dengan Layla? Sesungguhnya, ia pun tak kalah dalam hal cinta dengan kekasihnya, Qays. Seturut perasaan pemuda itu, Layla mencintai Qays lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, akibat tatanan masyarakat kala itu yang masih menjunjung tinggi nilai patriarki, Layla hanya dapat mengikuti kondratnya sebagai kaum kelas dua.
Sebagai perempuan, ia hanya bisa menurut perintah ayahnya. Sebagai perempuan, ia tak diperbolehkan mengelak dari tuntunan perkawinan yang tak dikehendakinya. Dan sebagai perempuan, ia tak lebih dari seekor burung dalam sangkar yang boleh keluar apabila mendapat izin dan ada dalam jangkauan pengawasan.
Sungguh, cinta kedua insan ini adalah representasi hubungan yang tersekat dalam banyak batasan. Namun, dari keduanya, sesungguhnya kita bisa belajar banyak hal terkait cinta. Dari syair-syair Qays dan Layla, kita beroleh pengetahuan literatur tingkat tinggi yang pernah hidup di tanah Persia. Bahwa cinta seolah berdiri di atas segalanya dan itu begitu tergambarkan dalam kisah ini. Syair-syair itu terus mengalir dalam sungai waktu yang seolah tak menemukan muaranya. Sejak berabad-abad yang lampau, sekian zaman dan peradaban mengenal kisah ini, dan tetap saja, ia tak menemukan waktu usangnya. Kisah ini seperti cinta Qays kepada Layla sendiri, tak menemukan titik akhir walau kematian hendak bertandang.
Leave a Reply