,

KDRT, Pilihan Hukum dan Advokasi; Tentang Kasus Lesti (Bag I)

/
/


Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota lain yang menyebabkan penderitaan dalam beberapa bentuk, yaitu fisik, psikis, seksual, dan penelantaran (secara ekonomi).

Kekerasan fisik (pemukulan dan sejenisnya terutama oleh laki-laki/suami terhadap perempuan/istri) yang merupakan salah satu tindakan kekerasan domestik yang diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT No. 23/2004) merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak dilakukan dan mudah diidentifikasi. UU PKDRT mengatur bahwa pelaku tindakan kekerasan dalam berbagai bentuknya tersebut diberi sanksi baik melalui pelaporan korban atau pihak lain yang berkepentingan maupun melalui pemrosesan secara langsung tanpa pengaduan.

Kaitannya dengan ini, perlu dijelaskan bahwa KDRT termasuk delik aduan, yang proses pemidanaannya berdasarkan pada pelaporan korban dan juga bisa menjadi delik biasa, di mana proses pemidanaan tidak berdasarkan pada pelaporan dan di mana tidak ada bagi pelapor celah untuk tindakan pencabutan. Hal ini dijelaskan dalam pasal 51- 53 UU PKDRT, bahwa, tindak pidana KDRT yang termasuk delik aduan meliputi;

Pertama, tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari;

Kedua, tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari;

Ketiga, tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya. Selain ketiganya, tindak KDRT yang lain termasuk dalam delik biasa.


Meskipun ketentuan jelas, memang mungkin masih perlu ditegaskan siapa yang menentukan sifat-sifat tindakan kekerasan kaitannya dengan dampak yang ditimbulkan dan dengan pengkategorian jenis deliknya.  

Secara perdata, kekerasan fisik yang merupakan bentuk KDRT ini dapat secara hukum menjadi alasan pengajuan perceraian. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam mencantumkan ‘kekejaman dan penganiayaan yang membahayakan’ dan ‘perselisihan terus menerus’ sebagai alasan perceraian. Faktanya, para hakim mengakomodir alasan ini dan banyak putusan perceraian yang menggambarkan kekerasan dijadikan alasan oleh penggugat, istri.

Dengan demikian, semua tindakan kekerasan termasuk kekerasan fisik berupa pemukulan dan sejenisnya yang mengarah pada penganiayaan dapat dijadikan oleh korban alasan perceraian atau dapat diadukan ke polisi yang kemudian diproses Pengadilan Negeri sebagai tindakan yang membawa pelakunya dipidana. Artinya, ada dua pilihan hukum yang bisa diambil oleh korban, dan korban dapat memilih keduanya dengan prosedur sesuai ketentuan atau memilih salah satunya. Advokasi terkait kedua pilihan hukum ini harus dilakukan kepada semua pihak supaya tindakan kekerasan dapat dihindarikan dan keadilan dalam keluarga dapat terwujud ketika tindakan dilakukan dalam hubungan keluarga tersebut.

Pilihan Hukum Perdata dan Kepentingan Personal dalam Praktik

Dalam praktik, kebanyakan korban yang dalam hal ini perempuan atau istri, mengambil pilihan hukum perdata, beberapa mengambil pilihan hukum pidana. Pilihan hukum perdata dengan mengajukan perceraian dengan alasan penganiayaan diambil oleh korban untuk mereka bisa keluar dari pernikahan yang sudah terganggu oleh tindakan kekerasan suami mereka.

Mereka melawan tindakan kekerasan secara mandiri dan menyampaikannya kepada hakim pengadilan untuk dijadikan pertimbangan para hakim memenuhi gugatan perceraian mereka. Mereka tidak concerned dengan dampak hukum yang harus diterima pihak suami kaitannya dengan tindakan kekerasan yang suami-suami mereka lakukan. Para istri hanya concerned dengan nasib buruk mereka yang harus mereka selamatkan. Mereka ingin keluar, menyelamatkan diri mereka dan meyakini bahwa anak-anak mereka akan memahami sikap dan pilihan hukum ini.

Tidak mengambil pilihan hukum pidana, para korban perempuan mempertimbangkan perasaan anak-anak mereka; mereka hawatir bahwa anak-anak merasa malu dan trauma melihat ayah mereka terpidanakan. Terlebih mereka sendiri menganggap taboo untuk membuka aib dan keburukan pasangan mereka.

Namun, meskipun demikian, belakangan korban perempuan mulai mempertimbangkan untuk memutuskan mengambil pilihan pidana, mengadukan pelaku suami pada polisi dan diselesaikan kemudian di PN. Berbeda dengan pilihan perdata melalui perceraian di Pengadilan Agama, pilihan pidana ini diambil untuk memberikan dampak secara luas dan menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dalam berbagai bentuknya harus dilawan secara tuntas.

Ia juga diambil untuk bukan hanya mengeluarkan diri korban dari kekerasan yang dilakukan suami tetapi memberi jera pada suami untuk tidak lagi melakukannya pada pasangan mereka di pernikahan berikutnya atau bahkan memberikan rasa takut bagi pelaku bahwa mungkin tidak ada lagi perempuan yang bisa menerima mereka untuk membangun keluarga setelah pemidanaan. Dalam kata lain, kebaikan atau kemaslahatan yang diraih dari pilihan hukum ini berjangka panjang dan luas, karena isu menjadi konsumsi publik. Dan sekali lagi ini berbeda dengan dampak pilihan hukum perdata yang berjangka pendek dan berskala sempit.

*Bersambung Bagian II



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *