Mengaku menerima tindakan kekerasan secara fisik dalam pernikahan dari suaminya Billar, Lesti (yang kemudian disinyalir bahwa yang mengajukan ayahnya) mengadukan tindakan kekerasan fisik ke Polisi. Ia diduga, seperti diakuinya, mendapatkan perlakuan kasar di beberapa bagian tubuhnya, yaitu badan, leher, dan lainnya.
Publik tersentak, tidak menyangka ia memperoleh kekerasan dari suaminya, mengingat pernikahan mereka terlihat dan tertonton penuh kemesraan dan keharmonisan. Dalam ketersentakan ini, publik menilai Lesti sebagai sosok perempuan berani; berani melawan dan perlawanannya dilakukan dengan mengambil pilihan hukun pidana. Pilihan yang tidak banyak diambil para korban ini diapresiasi oleh banyak kalangan, masyakarat secara umum, pimpinan dan anggota Komnas Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, para aktifis perempuan, pengamat hukum, para psikolog, dan lainnya yang tertarik dengan isu kekerasan dalam rumah tangga.
Sementara Lesti memperoleh perawatan dan kemudian melakukan umrah, polisi menindaklanjuti aduan dan sampai kemudian pada tahap dimana Billar ditetapkan menjadi tersangka. Entah apa yang Lesti rasakan dan apa yang ia pikirkan dan mengapa ia melakukannya, Lesti mencabut aduan pidana ini. Mendengar ini, publik tersentak kedua-kalinya. Kekaguman pada Lesti berubah menjadi kekesalan dan Lesti menuai kritik dan kecaman dari banyak pihak yang merasa kecewa dengan sikapnya mencabut aduan.
Menarik bahwa publik menilai Lesti tidak menghargai dukungan mereka dan Lesti telah membohongi mereka. Lebih dari itu publik menganggap Lesti menjadi pendukung tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Pilihan Lesti mengadukan tindakan kekerasan suaminya ke polisi merupakan tindakan luar biasa dan memang layak menuai dan memperoleh dukungan. Ia memang layak dianggap contoh yang mempu mendobrak ketidakberanian kebanyakan korban. Bahwa Lesti merupakan seorang publik figur, seorang artis atau penyanyi, dengan banyak pengikut dan penggemar dan bahwa berita terkait pengaduannya disebarkan dan dibagikan secara meluas, memberikan angin baik bagi upaya pemberantasan tindakan kekerasan.
Harapan terhadap Lesti sangat tinggi dan besar dari banyak pihak termasuk aktifis perempuan dan kelompok relevan lainnya. Dengan demikian, sikap pencabutan aduan menjadi titik balik di mana Lesti seakan layak memperoleh kritik dan kecaman. Apakah begitu?
Mencabut aduan merupakan hak setiap orang termasuk Lesti yang kebetulan merupakan publik figur. Dalam konteks Lesti, jika ia memang mengadukan tindakan kekerasan dan ternyata kekerasan yang ia peroleh dari suaminya tidak membuatnya terganggu dalam melakukan pekerjaannya, maka secara hukum ia boleh melakukannya. Perlu saya sampaikan bahwa saya memang bukan ahli hukum pidana, tetapi saya mencoba memperkuat pemahaman saya terkait isu hukum KDRT ini dengan bacaan-bacaan yang relevan.
Dengan mencabut aduan, Lesti memang telah membuat banyak pihak wajar kecewa karena harapan besar telah pupus. Bukan hanya itu secara personal masyarakat luas merasa tidak dianggap karena selama ini mereka merasa telah memberikan dukungan penuh pada sikap pengaduan Lesti. Namun, kekecewaan mereka dan kecaman serta kritik mereka seakan meletakan Lesti pada posisi di mana Lesti harus mampu mengikuti cara pandangan dan pemikiran mereka dan di mana Lesti seakan mempunyai tugas dan kewajiban untuk meng-enlighten– banyak perempuan supaya mereka melakukan tindakan atau mengambil pilihan hukum pidana seperti yang Lesti sempat ambil. Lesti didudukkan pada posisi di mana ia wajib melakukan itu dan ketika ia menarik pilihan hukum pidana ia serta merta dianggap plin-plan dan dianggap mendukung kekerasan.
Meskipun ia merupakan public figure, dalam konteks ini, Lesti, hemat saya, harus tetap didudukkan sama dengan perempuan lain, yang mempunyai kebebasan memilih. Seperti saya katakan di atas, ia memang layak diapresiasi dan harus didukung ketika ia mengambil pilihan pidana, tetapi ia tidak harus dihujat dan dikecam ketika ia menarik pilihannya. Ia tentunya mempunyai banyak pertimbangan dan masukan dari pihak-pihak yang mengitarinya.
Dalam konteks pembicaraan ini, advokasi menjadi relevan untuk disinggung. Alih-alih ia diletakan sebagai ‘penerang’ secara luas terhadap pemahaman hukum masyarakat, ia bagi saya merupakan sosok yang memerlukan advokasi yang cukup dan relevan dengan kasus dan porsinya. Perlu diingat, advokasi, dalam konteks kasus KDRT ini, merupakan tindakan pemberian pengetahuan, dalam hal ini pengetahuan hukum untuk masayrakat, terutama korban, kaitannya dengan penyelesaiaan masalahnya secara hukum yang memberikan perubahan positif dan kebaikan bagi korban.
Nampaknya, seperti perempuan lain yang mempertimbangkan untuk tidak mengambil pilihan pidana di mana perasaan anak menjadi pertimbangan salah satunya, Lesti memutuskan untuk membatalkan pilihan itu. Ketika ia mengadukan suaminya untuk diproses secara pidana, Lesti rupanya belum memikirkan dampak hukumnya dan terkejut ketika ia melihat fakta hukum bahwa suaminya dijadikan tersangka dan terancam sanksi pidana pemenjaraan. Sekali lagi, Lesti tidak mempunyai kewajiban untuk menerangi para perempuan dalam kaitannya dengan sikap hukum mereka ketika kekerasan dalam pernikahan menimpa mereka. Kekecewaan wajar muncul, tetapi hujatan dan kecaman, terlebih menyerempet hujatan secara fisik, tentu bukan merupakan sikap yang bijak dalam menanggap sikap Lesti tersebut.
Kaitannya dengan advokasi, advokasi kasus Lesti bisa dikategorikan pada advokasi hukum. Faktanya, Lesti dibantu advokat dan tentunya para advokat harus bekerja yang salah satunya merumuskan dan memilih jalan keluar. Keputusan jenis penyelesaian hukum mestinya sudah ditawarkan oleh advokat dan ia memang harus mampu menawarkan jalan keluar yang tepat supaya permasalahan serupa tidak terulang kembali. Pencabutan aduan harus dilihat juga dalam perspektif kerja advokat, bukan hanya dalam perspektif pemahaman dan kemauan Lesti.
*Bersambung ke Bagian III
Leave a Reply