,

Kawin Paksa: Tuntutan Adat Hingga Trauma KDRT yang Belum Selesai

/
/

Kawin Paksa: Tuntutan Adat Hingga Trauma KDRT yang Belum Selesai

Neswa.id-Meski telah adanya pendewasaan usia pernikahan pada undang-undang pernikahan, namun praktik kawin paksa di Indonesia masih marak terjadi atas nama adat, budaya dan berbagai alasan lainnya. Padahal konsekuensinya sangat berbahaya, bahkan bisa berdampak pada keberlangsungan hidup manusia.

Salah satu cerita kelam dari pernikahan paksa terjadi pada Bu Ratna (nama samaran) yang pada awal Desember lalu berbagi cerita hidupnya sebagai penyintas kawin paksa. Ratna adalah keturunan asli dari suku Bugis. Pada adat istiadat suku bugis masih ada yang melakukan perjodohan antar ikatan saudara.

Kebiasaan ini berasal dari adat yang berlaku sejak dahulu yang masih terbawa sampai sekarang. Memang tidak semua orang masih memegang adat budaya tersebut. Tapi keluarga Ratna, khususnya ayahnya adalah salah satu yang fanatik dan tetap mempertahankan adat istiadat tersebut.

Kisah ini bermula ketika orang tua Ratna melakukan perjodohan (ketika Ratna masih kelas 2 SMP) tanpa sepengetahuan dirinya dengan anak laki-laki dari saudara sepupu ayahnya. Harapannya agar Ratna kelak memiliki hidup yang bahagia dengan lelaki pilihan ortunya yang menurutnya sudah jelas nasabnya.

Ratna di usia remaja adalah perempuan yang pandai bersosialisasi, aktif berorganisasi, juga berprestasi. Hingga suatu hari dia menjalin hubungan dekat dengan teman sekelasnya. Melihat hal itu Ayah Ratna sangat marah dan tidak setuju.

Menikah demi nama baik dan demi orang tua

Bagi ayahnya menikahkan anak berbeda suku dianggap melanggar adat dan kehormatan keluarganya akan runtuh. Tidak hanya itu, anak yang menolak dan tidak menuruti saran ortunya pun dianggap durhaka. Benar saja, ketiga kakak Ratna pun telah  menikah dengan jalan  perjodohan keluarga. Sehingga Ratna tidak ingin bernasib sama seperti kakaknya.

Akan tetapi mereka terpaksa menjalaninya karena alasan untuk menghormati orang tua. Ratna terus melakukan perlawanan, tapi tak berhasil. Hingga akhirnya diusianya yang baru 15 tahun Ratna terpaksa melangsungkan pernikahannya. Ratna putus sekolah demi menjalani kehidupan rumah tangganya.

Empat tahun menjalani rumah tangga, Ratna menyembunyikan kepedihannya. Tabiat asli suaminya pun terkuak. Suaminya adalah sosok yang tempramen, sering memukul dan berbicara kasar jika Ratna tak menuruti kemauannya.

Hampir setiap malam Ratna ketakutan dan tidak bisa tidur. Setiap hari suaminya pulang larut malam, sudah dipastikan pertengkaran terjadi. Hingga ada peristiwa pertengkaran yang membuat Ratna jatuh pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Akhirnya pada tahun ke empat pernikahan, Ratna mengajukan pereceraian ke Pengadilan Agama.

Setelah perceraiannya, Ratna pun masih harus berjuang menyembuhkan traumanya. Ratna berkonsultasi dengan psikolog hingga psikiater karena semenjak pernikahannya itu dia mengidap insomnia akut dan sering berhalusinasi karena ketakutan. Hingga kini Ratna masih harus mengkonsumi obat penenang atas rekomendasi dokternya.

Pada praktik kawin paksa ini bisa terlihat hegemoni peran orang tua dalam pemaksaan perkawinan tersebut sangat kuat. Perempuan hampir tidak memiliki hak untuk menolak perkawinan yang ditawarkan oleh orangtuanya. Kuatnya budaya dan adat yang menjadi sebuah kebiasaan bersifat patriarki inilah menjadi salah satu faktor penyebab praktik kawin paksa.

Pemaksaan Perkawinan Menurut Islam dan Negara

Berdasarkan hasil musyawarah keagamaan KUPI II terkait perlindungan bagi perempuan dari pemaksaan perkawinan, diperlukan pemahaman tentang makna pemaksaan perkawinan yang sesungguhnya. Pemaksaan perkawinan yang yang telah berlangsung sejak dulu dengan berbagai faktor penyebabnya, adalah “Tindakan seseorang kepada orang lain di bawah kuasanya atau bukan untuk melakukan perkawinan yang tidak diinginkan, baik dengan cara halus, tipu daya yang menggerakkan kepatuhan korban dan/atau mendesak korban untuk patuh dan tunduk disertai ancaman (fisik dan/ atau psikis)”.

Pada kasus ini, menikah secara paksa tentu penuh perdebatan. Praktik kawin paksa yang terjadi di masyaakat nyatanya mengakibatkan kemudharatan yang lebih besar daripada manfaatnya. Maka praktek kawin paksa adalah tidak baik. Hal ini dikarenakan keduanya bisa saja hanya mencintai secara sepihak atau bahkan tidak saling menghendaki.

Rasulullah SAW bersabda saat mengingatkan tugas seorang wali kepada putrinya yang hendak menikah yang artinya sebagai berikut, “Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419).

Hadis tersebut menegaskan bahwa pemaksaan pernikahan tidaklah sejalan dengan tuntunan Rasulullah. Setiap orang tua yang berusaha menjodohkan anak perempuannya dengan laki-laki yang tidak dikehendaki, apalagi tanpa persetujuan dari pihak yang akan dinikahkan tentu ini termasuk perbuatan yang dzalim.

Terkait pemaksaan pernikahan, negara juga telah mengatur dalam undang-undang pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa “Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bagi negara, kebebasan memilih calon untuk menentukan perkawinannya harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai sebagai bentuk terjalinnya perasaan.  Prinsip dari undang-undang tersebut ingin menegaskan, bahwa pernikahan harus berdasarkan asas sukarela sebagai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Selanjutnya pada UU TPKS juga disebutkan bahwa pemaksaan perkawinan masuk sebagai salah satu jenis tindak pidana kekerasan seksual. Pada Pasal 10 Ayat (1) UU TPKS dijelaskan, setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan.

Dampak Kawin Paksa yang Berbahaya dan Sistemik

Selanjutnya, pemaksaan perkawinan menimbulkan konsekuensi yang negatif dan menyengsarakan perempuan diantaranya trauma, depresi, konflik keluarga, stigma negatif, dikucilkan jika menolak perkawinan, perceraian bahkan dapat berakibat fatal bunuh diri. Dari sisi psikologis kawin paksa tidak dibenarkan. Konsekuensi kejiwaan muncul pertama kali pada saat peristiwa perjodohan. Karena pada saat perempuan dijodohkan dengan laki-laki yang tak dikehendaki, seketika itu timbul gejolak, pertentangan batin, perasaan shock, dan gelisah.

Pemaksaan perkawinan pada anak, juga menyebabkan korban tidak dapat melanjutkan pendidikan. Perasaan malu karena telah menikah dini membuat mereka menjadi putus harapan. Pemaksaan perkawinan yang terjadi pada masyarakat miskin dapat menyebabkan munculnya kemiskinan struktural. Hal ini juga dapat memicu konflik dan berujung pada perceraian.

Dampak lainnya seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perdagangan orang, serta pola asuh yang salah terhadap anak sehingga seluruh hak-hak anak bisa terenggut. Pada aspek kesehatan dan kesejahteraan, pemaksan perkawinan pada anak juga dapat berdampak pada terganggunya kesehatan reproduksi, hingga menyebabkan kanker serviks atau kanker leher rahim.

Pada aspek politik, perkawinan paksa telah merampas hak mendasar perempuan dan anak untuk tumbuh kembang dalam mengoptimalkan potensinya sebagai warga negara. Hak mendasar tersebut meliputi hak berpartisipasi, hak untuk didengar, hak menyampaikan pendapat, dan hak memilih pasangan.

Melihat sederet fakta yang berbahaya akibat kawin paksa ini, sudah seharusnya praktik kawin paksa dengan alasan apapun harus segera dihentikan. Mari terus aktif mengedukasi diri dan bersama-sama mengawasi regulasi terhadap implementasi peraturan undang-undang yang ada.

Terus suarakan keadilan dan hak-hak perempuan, agar banyak masyarakat yang teredukasi, serta untuk memperkuat perspektif perlindungan terhadap perempuan. Semakin banyak masyarakat yang sadar tentang pentingnya membangun norma dan budaya yang ramah serta aman bagi perempuan, diharapkan juga bisa turut berkontribusi dalam menurunkan angka pernikahan anak dan pemaksaan perkawinan. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *