Sedari kecil tanpa terasa dan terpikirkan, saya terkungkung dalam tradisi ziarah yang patriarkis. Berkat hidup dalam lingkungan sosial yang didominasi kelompok santri, saya terbiasa untuk melakukan tradisi ziarah kubur. Pada awalnya, tradisi ini saya lakukan berkat ajakan kakek saya yang sangat rajin ziarah pada sanak keluarganya. Saya kemudian ikut-ikutan ziarah ke bapak-ibu kakek saya, saudara laki-laki dari ibu yang wafat lebih dulu, dan seterusnya. Setiap Kamis sore menjelang malam Jumat, orang-orang di desa saya (Banjar, Galis, Bangkalan), baik yang masih kecil atau baru aqil baligh dan orang dewasa, biasa berziarah ke sanak keluarga yang sudah meninggal.
Tradisi ziarah ini semakin meningkat, tidak hanya di pemakaman desa, tapi juga di kecamatan, kabupaten, bahkan antardaerah/propinsi. Saat saya SMP, saya pernah diajak ziarah ke makam beberapa wali lokal, juga ke makam para bangsawan ningrat Bangkalan―tentu saja ke makam Syaikhona Kholil bin Abdul Lathif di Mertajasah. Saya pernah dengar ada anekdot begini; hanya ada dua tempat untuk dikunjungi di Bangkalan; makam Syaikhona Kholil dan Bebek Sinjay, yang lain boleh diabaikan.
Dahulu, makam Syaikhona Kholil bersandingan dengan musala kecil yang di depannya ada sekian deret kamar santri yang menghapal Alqur’an. Di sekitarnya, masih banyak pepohonan dan rumah penduduk. Pada 2007 terjadi pembangunan besar-besaran untuk menjadikan makam Syaikhona Kholil sebagai pusat wisata religi Bangkalan. Jika sebelum renovasi dan sebelum Suramadu dibuka, kunjungan peziarah hanya berkisar 30.000 atau 40.000 pada bulan puasa, maka sekarang bisa mencapai dua kali lipatnya. Pada 2016, ada 1.476.251 peziarah, pada 2017 meningkat menjadi 1.531.322, kemudian pada 2018 ada 1.937.695 peziarah (Lutfiadi, 2019)—tentu ini sebelum pandemi melanda dunia pada 2020-2022.
Sejak nyantri di pesantren Al-Khaziny Sidoarjo pada tahun 2000, saya kemudian mulai sering berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Setidaknya, 4 kali setahun saya ziarah ke makam wali utama tanah Jawa ini. Di makam ini, ratusan bahkan mungkin ribuan orang tiap hari berziarah. Setelah itu, semacam puncak perjalanan, saya ikut rombongan santri ziarah sembilan wali, yang tersebar di pesisir Jawa Timur sampai Jawa Barat.
***
Yang perlu saya catat dari sekilas perjalanan ziarah itu, rasanya saya tidak pernah menziarahi (wali) perempuan. Terpikirkan sedikit pun tidak pernah. Hampir semua wali, para ulama yang saya ziarahi, bahkan sekian orang yang saya ziarahi semasa di desa, lebih didominasi oleh lelaki. Bahkan, setahu saya, daftar nama-nama khususon juga sangat didominasi oleh nama-nama lelaki. Hampir-hampir tidak ada nama-nama tokoh perempuan satu pun.
Bahkan, selama sekian tahun saya berziarah ke makam tokoh-tokoh ulama, saya tidak pernah terpikirkan untuk sekadar ingin tahu, misal siapa seorang ibu yang penuh keberuntungan melahirkan para wali atau ulama itu, juga siapakah istri (atau istri-istri) yang telah meladeni para wali/ulama itu yang aktivitas sehari-harinya mustahil tanpa bantuan atau pertolongan mereka khususnya dalam kerja-kerja domistik rumah tangga.
Setelah sekian tahun berziarah ke makam Sunan Ampel, baru belakangan ini saya memperhatikan; ternyata ada satu nama perempuan disanding makam Sunan Ampel. Dewi Condrowati namanya. Begitu banyak pertanyaan merasuk pikiran; siapa dan bagaimanakah sosok perempuan bernama Dewi Condrowati ini, baik dalam hal nasab, jejak pendidikan, peran sosial politik ekonomi, bagaimana akhlaknya dalam keluarga dan masyarakat, dan seterusnya.
Saya juga tak begitu kepingin tahu bagaimana jejak pendidikan ibu/istri para wali/ulama itu; apakah mereka cukup berpendidikan tinggi atau hanya berilmu secukupnya untuk beribadah, atau apa peran ibu/istri ini dalam proses pendidikan-pengajaran di lingkungan keluarga atau masyarakat, dan seterusnya. Begitu juga, bagaimana kiprah sosial-ekonomi dalam kehidupan ibu atau istri para wali/ulama; apakah mereka menjadi manusia berdaya ekonomi tinggi atau hanya manusia biasa yang memiliki ketergantungan kepada suami mereka, atau apakah para ibu/istri itu adalah makhluk sosial-ekonomi yang begitu berjasa dalam memberdayakan ekonomi masyarakat khususnya sesama perempuan? Apa dan bagaimana para wali/ulama itu memandang ibu/istri (atau istri-istri) mereka? Begitu, apa, dan bagaimana masyarakat memandang ibu atau istri (istri-istri) para wali/ulama itu?
Begitu banyak pertanyaan, begitu sedikit jawaban. Begitu banyak nama disebut dalam daftar khususon, begitu sangat sedikiti nama perempuan terselip masuk dan terucapkan untuk mendapatkan “khususon surah Al-Fatihah”. Apakah revolusi kuburan tidak cukup memberdayakan perempuan pada zaman wali-wali atau ulama-ulama itu?
***
Pada suatu masa, saya pernah cukup takjub pada penjelasan sejarawan Prancis Denys Lombard tentang kuburan. Berbeda dengan penjelasan keagamaan yang saya pahami, Denys Lombard melihat perubahan mentalitas masyarakat secara kolektif akibat pengenalan sistem penguburan bagi tiap orang, bukan penguburan yang hanya dimiliki dan dikuasai oleh segelintir elit politik atau budaya seperti raja, yakni mereka yang akan jadi calon dewa. Dalam telaah historis yang sangat menarik, sejarawan Prancis Denys Lombard menilik perubahan besar mentalitas yang terjadi di Nusantara akibat “stimulus Islam” sejak setidaknya abad ke-15, dengan membandingkan dengan ciri-ciri khas awal Renaisans Eropa.
Ada hal yang sangat signifikan dalam pengamatan Danys Lombard. Yakni, kebangkitan “pribadi” (individu) yang terlepas dari kolektivisme komunal. Di bawah kungkungan kolektivisme komunal, pemunculan individualitas seseorang (rakyat biasa, khususnya) atau ke-aku-an manusia sangat susah berkembang, terbentuk, dan bangkit menjadi pribadi. Tentu saja, secara umum, perempuan sangat jauh lebih susah untuk menjadi sesosok pribadi. Perempuan adalah ‘perempuan’ saat ia tiada atau lebur dalam dominasi kolektivisme komunal, tanpa pernah bisa menjadi sosok pribadi, apalagi yang mempunyai pengaruh besar dan diakui. Hanya segelintir perempuan yang bisa muncul, tampil, dan diakui.
Yang perlu dicatat, kata Lombard, kebangkitan pribadi itu sangat didorong oleh penghadiran emansipasi kuburan bagi semua orang; kecil, remaja, dewasa, atau sudah tua, tanpa memandang golongan atau status ekonomi, politik, atau budayanya. Semua orang berhak bahkan wajib punya kuburan masing-masing. Di atas kuburan, yang hanya perlu satu-dua batu atau apa saja sebagai penanda, individualitas seseorang diakui. Di sini, sistem kuburan menggoyahkan sistem ekslusivitas candi atau piramida yang hanya diperuntukkan bagi kelas bangsawan.
“Dalam sistem kuno, hanya beberapa orang terpilih—yaitu mereka yang merupakan calon dewa—boleh mendirikan candi untuk memperingati dirinya. Rakyat jelata kembali ke kasunyatan, tanpa meninggalkan “jejak” (bekas) sedikit pun di dunia yang fana ini. Melalui kuburan Islam “jejak” itu untuk selanjutnya dapat ditinggalkan oleh masing-masing orang. Selain itu ada aturan-aturan tegas yang dimaksudkan untuk membuat upacara pemakaman sesederhana mungkin, dengan kesamaan yang sebesar mungkin,” kata Denys Lombard (2008: 175).
Di bawah pengaruh Islam yang memunculkan kebangkitan pribadi dan emansipasi kuburan bagi semua orang, sebenarnya kita bisa cukup yakin untuk membayangkan kemunculan wali-wali perempuan di dalam masyarakat muslim. Lalu kenapa, bahkan sampai saat ini, sangat sedikit sekali pusat-pusat ziarah di mana wali perempuan adalah makam utamanya?
***
Saya percaya bahwa ilmu adalah salah satu unsur utama sosok seorang wali Allah, bukan hanya berkat sangat rajin ibadah, atau sekadar kiprah sosial-politik, apalagi sekadar berkat karomah yang melampaui hukum alam (natural law). Jika kita mengikuti dalil ini, lalu memadukannya dengan perkembangan keilmuan atau lembaga pendidikan-pengajaran Islam khususnya di Jawa atau Sumatera, barangkali kita bisa memaklumi.
Kita cukup tahu bahwa pendidikan-pengajaran Islam bagi perempuan justru baru berkembang pesat sejak awal abad ke-20. Sekian sejarawan menduga bahwa kebangkitan Islam khususnya di Jawa (lebih khusus lagi di kalangan bangsawan) justru semakin meminggirkan peran perempuan (muslimah) dalam ruang publik baik di lembaga pendidikan-pengajaran atau atau lembaga sosial-politik (Carey & Houben, 2016).
Tidak seperti di Timur Tengah yang lembaga pendidikannya sudah cukup berkembang pesat, di Indonesia kita jarang sekali mendapati kisah ulama perempuan yang menjadi guru bagi ulama-ulama besar Nusantara. Hampir secara ekslusif, para ulama berguru pada ulama sesama lelaki. Begitu juga, meskipun kerajaan Islam sudah berdiri sejak 1267 M di Samudera Pasai, Aceh, hal ini tidak dibarengi dengan perkembangan lembaga pendidikan-pengajaran yang inklusif yang memberikan kesempatan besar bagi perempuan muslimah.
Tentu saja, perempuan jauh lebih susah untuk melakukan perjalanan demi mencari ilmu. Apa yang dikenal sebagai santri lelono hampir pasti adalah kaum lelaki. Perjalanan jauh apalagi sampai ke pusat-pusat pendidikan-pengajaran Islam khususnya di Timur Tengah, baik darat atau laut, terlalu berbahaya bagi perempuan—ini juga berlaku di kawasan Timur Tengah sendiri. Jarang sekali orangtua akan memberikan izin, apalagi di zaman perbudakan manusia masih sah legal berlaku. Sejauh pembacaan saya, tak ada perempuan muslimah yang melakukan perjalanan jauh demi menuntut ilmu. Hanya di zaman globalisasi transporasi modern pergerakan perempuan ke berbagai pusat-pusat keilmuan jauh lebih massif, lebih aman, dan jauh lebih terpantau. Ketersediaan lembaga pendidikan-pengajaran (atau guru tarekat mumpuni), keamanan perjalanan menuntut ilmu, begitu juga kemampuan secara ekonomi, semua ini memberikan kesempatan atau mempersempit peluang perempuan untuk menjadi ulama, tokoh religius, atau bahkan wali Allah.
***
Pusat-pusat ziarah di Nusantara didominasi ulama/wali lelaki. Hal ini mencerminkan perkembangan (lembaga) keilmuan, berikut perangkat pendukungnya. Pusat-pusat pendidikan-pengajaran agama Islam di Indonesia belum begitu berkembang pesat untuk perempuan muslimah, sehingga kita masih langka pusat-pusat ziarah wali perempuan. Kita juga masih akan jauh lebih banyak menyebut nama-nama ulama/wali lelaki dalam begitu banyak khususon.
Dalam sebuah hadis shahih memang disebutkan bahwa belajar (ilmu agama) itu wajib lelaki atau perempuan. Namun, tentu saja, sebuah hadis tidak bisa serta merta mengubah situasi sosial-budaya seperti peminggiran posisi perempuan dalam lembaga-lembaga pendidikan-pengajaran selama sekian abad. Baru pada abad modern, generasi muda muslimah punya kesempatan yang cukup sama besar dengan anak lelaki. Kita tak tahu apakah lembaga-lembaga pendidikan-pengajaran Islam yang ada sekarang bakal mampu menghasilkan ulama atau khususnya wali Allah perempuan.
Sebelum semua itu tercapai, barangkali kita bisa memulai membacakan Al-Fatihah kepada ibu dan istri (atau istri-istri) para ulama dan wali Allah tiap kali kita berziarah ke makam mereka. Saya yakin sungguh; peran ibu/istri mereka sangat besar. [Sebutkan nama-nama mereka] Al-Fatihah…
——-
*gambar ilustrasi : dokumentasi milik penulis
Leave a Reply