,

“Kami Butuh Ijazah Bukan Hanya Akta Nikah”

/
/


Kalimat itulah yang sering disuarakan oleh korban pernikahan usia dini. Musri, perempuan yang dipaksa menikah di usia 14 tahun, bercerai dan kembali sekolah mengejar cita-citanya [Net 24 News], Ia menjadi saksi di depan hakim Mahkamah konstitusi untuk menceritakan pengalamannya saat harus berhenti sekolah karena terpaksa menikah di usia dini. Sejak 2015 polemik tentang batas usia perkawinan tak kunjung mendapatkan tanggapan dari DPR, bahkan MK menolak diadakannya uji coba materi tersebut [Kompas.com].

Akhir tahun 2018 Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yambise mengusulkan (lagi) usia perkawinan bagi perempuan menjadi 20 tahun. Pilihan batas usia ini didasarkan pertimbangan kesetaraan gender bagi kedua jenis kelamin (CNN Indonesia).

Mental dan psikis anak kecil tentu tidak akan siap untuk menanggung hidup orang lain, suami dan anak, akibatnya pasangan suami istri akan sulit (jika tidak mau dikatakan mustahil) mencapai tujuan utama pernikahan yaitu sakinah. Bagaimana fikih memandang polemik ini? Dan adakah batasan usia pernikahan dalam Islam?

Teks-teks dalam alquran dan hadis tidak mengatakan dengan rinci batasan usia pernikahan, bahkan dalam kitab-kitab fikih dibolehkan menikahkan anak kecil (belum baligh). Tapi kita tak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa menikah di usia dini menimbulkan banyak mafsadat, oleh karenanya hukum positif negara kita membatasi usia pernikahan demi menjaga stabilitas pendidikan dan menjaga hak-hak anak dan perempuan yaitu usia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki [UU Nomor 1 tahun 1974 dan KHI pasal 15 ayat (1)].

Pada dasarnya menikah hukumnya mubah, namun menjadi sunah jika sudah dianggap “mampu menikah”, menjadi wajib jika dikhawatirkan terjerumus dalam maksiat dan menjadi haram jika terdapat penghalang māni’ nikah. Dalam hadis dikatakan:

مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda, barang siapa memiliki kemampuan, maka segeralah untuk kawin. Karena sesungguhnya hal itu lebih menjaga pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan apabila tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa. Karena hal itu merupakan penawar bagi dirinya. [Ṣahīh al-Bukharī: 3/26]

Nabi menyuruh untuk menikah ketika sudah “mampu”. Sedangkan kemampuan seseorang bersifat elastis. Definisi “mampu menikah” di sini mempunyai beberapa kriteria yang beragam. Menurut imam ahmad al-‘Asqalānī yang dimaksud mampu menikah adalah mengerti/mampu melakukan hubungan badan (suami-istri) dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga [Fathu al-Bārī: 9/109], kata syabāb (pemuda) dipilih dalam redaksi hadis di tersebut karena pemuda adalah seseorang yang mulai mampu (استطاع الباءة) bertanggungjawab untuk itu, sedangkan Syihābu ad-Dīn al-Qasthalānī mengatakan bahwa bā-ah adalah kemampuan berhubungan badan yang dikaitkan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga [‘Umdatu al-Qārī: 20/68]. Jadi seseorang yang belum mampu memenuhi kebutuhan ekonomi maka ia dianggap tidak mampu/tidak layak berhubungan badan.

Nah, berbicara tentang usia seseorang dikategorikan dalam kata syabāb, ulama mempunyai banyak pendapat, diantara dalil yang sering dipakai dalam menentukan usia nikah adalah surat an-Nisā’ ayat 6

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ……. } [النساء: 6]

“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya….” [Q.S. An-Nisā’: 6]

Konteks ayat ini tentang harta anak yatim yang dibawah tanggung jawab wali selama anak tersebut tidak mampu mengelola hartanya sendiri. Selanjutnya jika anak tersebut sudah mampu mengelola maka ia berhak bertanggung jawab atas hartanya sendiri. Kecakapannya ini menjadi salah satu indikasi kemampuannya membangun rumah tangga. Imam Syāfi’ī mengatakan bahwa baligh adalah usia 16 tahun untuk laki-laki dan perempuan, kecuali bagi yang telah berihtilām atau haid bagi perempuan sebelum usia tersebut. sedangkan rusyd/cerdas adalah kemampuan untuk mengelola harta sesuai syariat [Al-Umm: 3/220].

Hemat saya ada beberapa pertimbangan sebelum menikah.

Pertama, kesiapan psikis pasangan dalam membina rumah tangga. Anak yang belum dewasa akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup pasangannya yang merupakan kewajibannya. Bukankah ia masih belum selesai dengan urusan pribadinya sendiri?

Kedua, mandiri dalam mengelola ekonomi. Melihat dari kehidupan sosial kita, di usia 16 tahun seorang perempuan dianggap sudah mempunyai kecakapan dalam mengurus dirinya, orang lain (suami dan anaknya) dan ekonomi keluarga.

Ketiga, terjaminnya pendidikan pasangan suami-istri yang menunjang kesuksesan mereka dalam berkeluarga. Pada usia ke-19 perempuan sudah menyelesaikan pendidikan wajib 9 tahun dan laki-laki sudah menginjak masa kedewasaan kedua.

Petimbangan selanjutnya jika pemerintah tetap melegalkan pernikahan di usia dini (16 dan 19) akan ada hal yang terabaikan yaitu pendidikan dan mental, seakan-akan terdapat diskriminasi pada kaum perempuan. Lagi-lagi dalam hal ini laki-laki memarginalkan perempuan.

Jika laki-laki diizinkan bersekolah sampai lulus tingkat SMA (19 tahun) mengapa kesempatan itu tertutup untuk perempuan? Lebih dari itu, laki-laki dipersilahkan untuk mematangkan dirinya dalam membina rumah tangga, seharusnya pintu itu juga terbuka lebar untuk perempuan. Meski tidak menutup kemungkinan seseorang bisa dewasa dan bermental matang sebelum usia tersebut. Tapi pada umumnya anak yang menikah di bawah umur berdampak pada terganggunya kesehatan dan tumbuh kembang anak, pendidikan, ketahanan keluarga, bahkan yang paling buruk adalah peningkatan angka perceraian dan angka kematian ibu.

Oleh karenanya, usia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki perlu dinaikkan agar psikis dan mental suami istri benar-benar mampu menjalin rumah tangga dan mencapai tujuan pernikahan yaitu sakinah dengan berdasarkan pada mawaddah dan rahmah antara keduanya.

Idealnya seperti itu, dengan kematangan mental, psikis dan pendidikan yang cukup pasangan suami istri akan mampu mencapai tujuan mulia pernikahan. Tapi di sisi lain, kiranya perlu menoleh pada dampak negatif yang akan muncul jika pemerintah hanya memberikan izin pada pasangan di atas 19 tahun untuk perempuan dan 21 untuk laki-laki.

Diantara kerugian itu adalah pertama, pergaulan bebas yang semakin memprihatinkan dan pada gilirannya akan mendapatkan legalisasi dari adat setempat karena hakim tak memberi izin kepada pasangan di bawah umur. Kedua, pernikahan sirrī (pernikahan di bawah tangan/ tanpa tercatat di Kantor Urusan Agama) yang kerugiannya kembali pada perempuan jua.

Simalakama kembali terjadi kepada perempuan, jika dibuka lebar pintu pernikahan bagi perempuan belia maka pendidikannya yang menjadi korban namun bila diperketat dengan usia yang ‘relatif tinggi’ maka kehormatannya sebagai perempuan justru yang harus direlakan, dengan perkawinan yang tidak tercatat di KUA maka lelaki ‘tak bertanggung jawab’ akan dengan mudah mencampakkan perempuan. Na’użubillāh min syarri żālik!.

Semoga semua pihak, mulai dari masyarakat, sekolah dan pemerintah mampu mempetimbangkan kemaslahatan terpenting tanpa harus ada yang dikorbankan dan mampu menghilangkan atau setidaknya mengurangi mafsadat dari yang terkecil sampai ke yang terbesar. Waffaqanā Allah, Amin. ()



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *