,

Jika sudah Setara, lantas Apa?

/
/


Begitulah kiranya yang ditanyakan seorang teman ketika kami duduk bersama di sebuah warung kopi. Ia merupakan mahasiswa yang open minded. Saat masih menginjak strata satu, ia telah banyak mengabdikan diri dalam ruang organisasi. Ia turut membela persamaan peran antara laki-laki dan perempuan. Ia mendukung adanya kesetaraan pembagian kerja, bahwa atas pekerjaan apa pun selain menyangkut sistem reproduksi, laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan hak yang sama.

Kemudian pernyataan yang ia gaungkan adalah, “Lalu, feminisme untuk apa lagi? Mengapa masih dipermasalahkan lagi dan lagi? Bukankah jika sudah setara, perempuan bisa sekolah, bisa bekerja di berbagai tempat, itu sudah selesai? Kemudian mengapa masih dibahas hal-hal yang sudah lewat kita dapatkan?” Saya hanya tersenyum mendengar berbagai hal yang ia tanyakan. Saya tatap matanya dalam. Terlihat kerisauan di dalam hatinya. Walaupun pertanyaan ini hanya bermula dari mata kuliah wajib “Gender dan Feminisme”, telah cukup mengguncang pikirannya.

Saya jadi teringat dengan gelombang feminisme yang dibahas dalam kelas sekitar 10 bulan yang lalu. Dalam sebuah presentasi disampaikan bahwa pada gelombang feminisme ketiga terjadi “postfeminisme”, di mana konsep feminisme ditinjau ulang dan direfleksikan kembali. Perempuan sudah mendapatkan haknya, sehingga tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Feminisme mulai dianggap basi dan kedaluwarsa, begitulah kira-kira.

Namun hal yang sebenarnya perlu diketahui adalah, perjuangan takkan ada habisnya, dan perlawanan takkan ada ujungnya. Kini ketika hak persamaan dibilang telah ada, apakah memang yakin sudah demikian seluruhnya?

Kita tak pernah bisa menjamin patriarki telah hilang sepenuhnya. Nyatanya, masih banyak orang yang tidak memberikan peluang perempuan keluar rumah untuk bekerja, masih banyak yang menganggap tempat perempuan nantinya adalah di rumah, juga  masih marak terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Pembelajaran tentang gender kini sudah banyak diramaikan di berbagai sektor pendidikan. Bahkan di ruang umum, baru beberapa hari lalu terlihat di sebuah stasiun di Jakarta, tepatnya di ruang tunggu penumpang, dipertontonkan video singkat larangan berbuat pelecehan seksual. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak perempuan sudah banyak dijunjung martabatnya.

Meskipun demikian, bukan berarti akhirnya gemboran kesetaraan gender harus berhenti begitu saja. Tidak bearti perjuangan feminisme untuk meraih adanya persamaan hak dan derajat dengan laki-laki lantas ditutup. Oleh karena hal ini sesungguhnya sama dengan pendidikan karakter anak dalam lingkup paling dasar, yakni keluarga. Jika anak dididik dengan pengetahuan ramah gender, maka ia akan tahu bahwa tugasnya tidak hanya perihal pekerjaan rumah, atau tidak hanya tentang pekerjaan di luar rumah. Ia akan memahami bahwa tiap pembagian kerja bisa dikompromikan bersama, bisa dilakukan dengan kerja sama, dan tolong menolong. Tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah.

Tidak ada yang selesai dengan ini. Jika memang sudah setara, bukan berarti harus berhenti di situ. Harus ada reproduksi pendidikan terhadap anak cucu agar kesetaraan ini terus terjaga. Tidak lain karakter ini dibentuk dengan pemberian pengetahuan dan internalisasi dalam pikiran dan tindakan. Tentunya statement ini telah mencoret judul di atas. Karena nyatanya jika semua sudah baik-baik saja, maka perjuangan untuk mendidik anak cucu agar memiliki pemikiran setara adalah PR bersama untuk kita semua.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *