Bagian ini kita akan membahas tentang Jima’
Melayani kebutuhan batin adalah kewajiban inti bagi istri pada suaminya. Mengapa? Sebab kebutuhan-kebutuhan lain dapat suami limpahkan pada orang lain. Seperti kebutuhan asistensi tugas-tugas kantor, urusan domestik rumah tangga dan lain-lain, kecuali kebutuhan seksual. Artinya, kebutuhan yang satu ini hanya bisa diberikan oleh istrinya.
Untuk itulah mengapa seorang istri tidak boleh menolak jika suami mengajaknya berhubungan intim, kecuali jika ada halangan syar’i seperti haid atau sakit. Bahkan ia terancam dilaknat oleh malaikat jika sampai suami murka atas penolakannya.
Bayangkan, malaikat yang sejatinya memintakan rahmat dan ampunan dari Allah, malah justru berbalik melaknatnya. Sungguh, ini bukan kewajiban main-main.
Namun jika kita perhatikan dengan kacamata hukum, kewajiban senantiasa berbanding lurus dengan hak. Ketika istri dibebani kewajiban, maka haknya pun harus dipenuhi oleh suami.
Itulah mengapa para ulama berpendapat bahwa suami yang tidak memenuhi kewajiban nafkah pada istri, maka istripun -secara hukum- tidak wajib memenuhi hak suami, yang dalam hal ini jima’ dan istimta’.
Asy-Syirazi, salah satu ulama dalam madzhab Asy-Syafii menyatakan dalam kitabnya, Al-Muhadzdzab :
إن اختارت المقام بعد الإعسار لم يلزمها التمكين من الاستمتاع ولها ان تخرج من منزله لأن التمكين في مقابلة النفقة فلا يجب مع عدمها
“Jika istri memilih bertahan (tidak meminta cerai) pada suami yang tak mampu memberinya nafkah, maka istri terlepas dari kewajiban melayani jima’. Dalam hal ini, istri juga boleh meninggalkan rumah suaminya. Sebab kewajiban tamkin (tinggal bersama suami) dibebankan pada istri karena adanya timbal balik dari nafaqah yang berhak ia terima. Maka, ketika haknya tidak diberikan, diapun tak wajib melaksanakan kewajibannya.” (Al-Muhadzdzab 4/155).
Ibnu Qudamah, dalam kitabnya Al-Mughni juga menyatakan:
إذا رضيت بالمقام مع ذلك لم يلزمها التمكين من الاستمتاع لانه لم يسلم إليها عوضه….لان في حبسها بغير نفقة اضرارا بها ولو كانت موسرة
“Apabila istri ridha untuk tetap bertahan dengan suami yang tidak menafkahinya, maka ia tidak wajib memberikan pelayanan istimta’ sebab suaminya tak memberikan apa yang menjadi haknya…dan karena menahan istri tanpa nafkah itu dapat memberikan madharat, walau istrinya adalah wanita berharta.” (Al-Mughni 11/366)
Sekilas, ketentuan fiqih dalam poin ini seperti jual beli pelayanan. Sebab hukum seringkali hitam putih dan tidak terlalu melibatkan perasaan dan etika.
Namun, syariat Islam tak hanya mengatur hukum hitam putih semata, tapi juga perintah mu’asyarah bil ma’ruf, yakni memperlakukan pasangan dengan cara yang baik dan penuh perasaan.
Jika suami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi rizki belum juga datang, tak patut isteri menolak ajakan berhubungan dari suaminya. Cukuplah suami bekerja keras di siang hari karena mengais rizki. Jangan tambah bebannya di malam hari dengan menolak hubungan intim yang sedang ia butuhkan.
Sebab dalam keterpurukannya ini, bisa saja ada wanita lain yang menawarkan kasih sayang tulus pada sang suami. Dan suami pun tergoda. Akhirnya sang istri teriak-teriak histeris “ada pelakor merebut suamiku”.
Jangan pula ada suami yang abai menafkahi keluarga, dengan alasan istrinya berpenghasilan. Suami memilih hobi rebahan dan berpangku tangan padahal mampu mencari nafkah. Istri dibiarkan banting tulang menafkahi dirinya dan anak-anak.
Istri lelah memeras keringat di siang hari, dan dipaksa pula melayani kebutuhan biologisnya di malam hari. Jika istri menolak, diancamlah istri dengan dalil ancaman neraka dan laknat malaikat. Suami seperti ini tidak patut untuk dihormati sebagaimana anjuran agama.
Surat Al-Baqarah ayat 187 memberi isyarat agar suami-istri menjadi pakaian bagi pasangannya. Saling menghangatkan di kala dingin, dan meneduhkan di kala kemarau. Saling menguatkan di kala yang lain lemah, bukan meninggalkan ketika pasangannya terpuruk.
Begitu juga dalam ayat 21 surat Ar-Rum, ada perintah untuk menjalin rumah tangga yang sakinah mawaddah warrahmah. Penuh ketentraman, cinta dan dinaungi rahmat dari Allah. Inilah mu’asyarah bil ma’ruf yang sebenarnya.
Pasutri harus saling memenuhi hak dan kewajibannya tanpa mengabaikan etika dan perasaan. Sehingga, masing-masing tidak hanya gemar menghitung-hitung hak dan kewajiban, tapi juga saling merawat cinta kasih agar selamanya sejuk dan tak pernah gersang.
**
Leave a Reply